BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tahun 1997
merupakan momentum awal dimulainya era reformasi di negara Republik Indonesia.
Era reformasi menuntut perubahan yang lebih baik dalam segal aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ada tiga aspek yang menuntut perubahan yang lebih
cepat, yaitu aspek politik, ekonomi, dan hukum. Dalam bidang hukum, diarahkan
kepada pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (Law of enforcement). Tujuan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan peraturan lama
yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti dengan peraturan yang
bru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa keadilan, dan budaya
hukum masyarakat Indonesia.
Undang-undang yang dihasilkan dalam
era reformasi ini kebanyakan UU atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan
hukum yang bersifat dasar belum mendapat perhatian. Hal ini tampak dari
kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum tata negara, dan lainnya.
Oleh karena UU yang mengatur tentang
hukum perdata secara khusus di Indonesia belum ada, maka yang menjadi acuan di
dalam pengkajian dan penelaahan buku Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) ini
adalah kepada KUH Perdata, yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena itu diharapkan pada masa yang akan datang, hukum perdata yang
berlaku di Indonesia adalah gabungan dari berbagai peraturan perundang-undangan
yang bersumber dari KUH Perdata, hukum Islam, hukum adat, dan lain-lain.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini yaitu:
1.
Apa
pengertian Hukum Perdata?
2.
Bagaimanakah
keadaan Hukum Perdata di Indonesia saat ini?
3.
Apakah isi
yang ada dalam Hukum Perdata?
4.
Bagaimanakah
asas-asas yang ada dalam Hukum Perdata?
1.3 Tujuan Pembahasan
Adapun
tujuan dari pembahasan kami yaitu untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam
makalah kami, yaitu:
1.
Mengetahui pengertian hukum perdata
2.
Mengetahui keadaan hukum perdata di
Indonesia
3.
Mengetahui isi hukum perdata
4.
Mengetahui asas-asas hukum perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Hukum Perdata
Pada dasarnya hukum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata).[1]
Hukum publik merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan
umum, sedangkan hukum perdata pertama diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno
sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht pada
masa pendudukan Jepang.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata,
seperti berikut ini. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad
ke-19 adalah:
“Suatu
peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan
hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”.[2]
Definisi lain tentang pengertian
hukum perdata dikemukakan H.F.A. Vollmar dan Sudikno Mertokusumo. Vollmar
berpendapat bahwa hukum perdata adalah Aturan-aturan atau norma-norma yang
memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas.”
Pandangan Vollmar ini mempunyai
kesamaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Sudikno
Mertokusumo mengartikan hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang
mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di
dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya
diserahkan pada masing-masing pihak”.[3]
Kedua definisi yang yang terakhir ini, yaitu definisi
yang dikemukakan oleh Vollmar dan Sudikno Mertokusumo, keduanya menjadi
definisi hukum perdata dari aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya.
Perlindungan hukum itu berkaitan dengan perlindungan perorangan yang satu
dengan perorangan yang lain, sedangkan ruang lingkupnya mengatur hubungan
kekeluargaan dan didalam pergaulan masyarakat.
2.2 Keadaan Hukum
Perdata di Indonesia
Keadaan
Hukum perdata yang ada di indonesia saat ini masih majemuk yaitu beraneka ragam
(pluralistis). Faktor yang mempengaruhinya antara lain:
a.
Faktor
etnis: keanekaragaman adat di Indonesia.
b.
Faktor
historia yuridis yang membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan.
Sehingga
masing-masing golongan penduduk mempunyai hukumnya tersendiri, kecuali
bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi (penyatuan) seperti UUPA No.5
tahun 1960. Keaneka ragaman ini sebenarnya ada sejak jaman pemerintahan hindia
belanda yang menagacu pada pasal 163 indische staatsregeling (I.S), yang mana
penduduk Hindia belanda di bagi menjadi 3 golongan:
1)
Golongan Eropa ialah orang-orang
belanda, eropa, jepang dan juga keturunannya yang mana mereka tunduk pada hukum
keluarga yang azasnya sama dengan hukum keluarga belanda.
2)
Golongan bumi putera yaitu orang
indonesia asli yang tidak beralih ke golongan lain, dan orang dari golongan
lain yang membaur /tercampur/terlebur dirinya dalam golongan bumi putera.
3)
Golongan timur asing ialah orang
yang bukan golongan eropa dan bumi putera. Contohnya orang-orang tionghoa.[4]
Politik
pemerintah Hindia Belanda itu diatur dan dituangkan dalam pasal 131 I.S.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan
sistem hukum yang diberlakukan kepada mereka. Bagi golongan Eropa dan
dipersamakan dengan itu, serta golongan Timur Asing Tionghoa berlaku
keseluruhan hukum perdata Eropa sebagaimana yang tertuang dalam Stb. 1848 dan
Stb.1919. Sedangkan bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya
masing-masing. Begitu juga golongan Bumiputra berlaku hukum adat yang telah
direseptio dari hukum Islam.[5]
2.3 Isi
Hukum Perdata
Sistematika hukum perdata menurut
pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
1. Buku I :
tentang Orang (van personen).
2.
Buku II : tentang Hukum Benda (van
zaken).
3.
Buku III : tentang Perikatan (van
ferbintenissen).
4.
Buku IV :tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjaring).[6]
Dari ketentuan pembagian hukum
perdata yang tertuang dalam Buku I sampai dengan buku IV, menurut ilmu hukum
modern dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:[7]
a.
Hukum tentang diri seseorang.
Hukum Pribadi mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pribadi sebagai “subjek hukum”. Pribadi sebagai subjek
hukum ialah orang dalam arti hukum. Artinya, memiliki hak dan kewajiban.Hak dan
kewajiban dimiliki oleh setiap orang secara kodrati sejak dilahirkan sampai
meninggal dunia. Bahkan, menurut hukum perdata Eropa yang dinyatakan dalam
pasal 2 KUH Perdata menetapkan bahwa “Anak yang ada dalam kandungan seorang
wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak
menghendakinya. Kematian sewaktu dilahirkannya dianggaplah ia tak pernah ada”.
Maksud dari ketentuan ini walaupun merupakan fiksi hukum bahwa calon bayi sudah
dianggap ada dan memiliki hak untuk kepentingan tertentu yaitu suatu pewarisan.
Ia diperhitungkan memperoleh bagian waris dari ayahnya yang meninggal dunia
sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi kalau ia dilahirkan meninggal dunia,
maka dianggap tidak pernah ada.[8]
Menurut Subekti yang dimaksud “hukum tentang diri seseorang”, ialah
memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.[9]
Kecakapan melakukan tindakan hukum
sendiri akan dapat berwujud jika pribadi itu telah “dewasa”. Dewasa menurut
hukum perdata Eropa ditentukan pada pasal 330 KUH Perdata (Ayat 1). Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa “belum dewasa” adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin terlebih dahulu”. Berarti, usia
dewasa seseorang kalau sudah genap 21 tahun.[10]
b.
Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan. Beserta
hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian dan pengampuan (curatele).[11]
c.
Hukum Kekayaan
Hukum yang mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang.Hukum kekayaan merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai hubungan antara subjek hukum dan objek hukum dalam suatu peristiwa
hukum. Yang dimaksud dengan “objek hukum” yaitu benda yang dapat dikuasai dan
mempunyai nilai uang. Jadi, yang diperhatikan adalah hubungan antar para subjek
hukum dengan membuat suatu ikatan hukum tertentu berkenaan dengan suatu objek
hukum tertentu, sehingga hal yang dikehendaki dapat tercapai untuk memiliki
benda itu sebagai kekayaan mereka. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum
kekayaan terdiri dari hukum benda dan hukum perikatan.[12]
d.
Hukum warisan.
Hukum
waris mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu
benda-benda yang ditinggalkan seseorang.Di referensi lain mengatakan bahwa
hukum waris adalah mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang
jikalau ia meninggal.[13]
2.4 Asas-Asas
Hukum Perdata
Berdasarkan isi
dari hukum perdata yang dimana terdapat buku 1 sampai buku 4, maka dapat
disimpulkan bahwa asas hukum perdata sebagai berikut[14]:
1.
Asas
konsensualisme
Kata
konsesualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.
Sedangkan menurut pasal 1320 (1) KUHPerdata berbunyi:
“untuk
sahnya suatu perjanjian diperlulakan empat syarat:
a.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya (perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tapi cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak)
b.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
c.
Suatu
hal tertentu
d.
Suatu
sebab yang halal
2.
Asas
Pacta Sunt Servanda (kepastian hukum)
Asas
ini berhubungan dengan akibat perjanian, seperti yang dijelaskan dalam pasal
1338 (1) KUHPerdata: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang” dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda ini memiliki arti
pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan atau
tindakan formalitas lain, nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
3.
Asas
kebebasan berkontrak
Asas ini dapat dianalisis dengan pasal 1338 (1) “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka”
asas ini memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
d. Menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau
lisan)
Selain asas-asas diatas, dalam lokakarya yang
diselenggarakan oleh badan pembina hukum nasional, departemen kehakiman dari
17-19 nopember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan
nasional, yaitu:
4. Asas
Kepercayaan
Yaitu asas yang
mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan
memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari
5. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan
hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh
dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda
warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas
Keseimbangan
Adalah asas yang
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
7. Asas
Perlindungan
Mengandung
pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.
Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak
ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan
dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam
kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai
dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
8. Asas
Kepatutan
Asas ini tertuang
dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi
perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
9. Asas
Moral
Asas ini terikat
dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan
dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada
yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada
kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
10. Asas Kebiasaan
Asas ini
dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut
kebiasaan lazim diikuti.
11. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian
sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari
kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamali,Abdoel. 2008. Pengantar
Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mertokusumo, Sudikno. 2001.Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika.
Najih,Mokhammad. 2012. Pengantar
Hukum Indonesia. Malang: Setara Press.
Prodjodikoro, Wijono. 1979.Asas-asas Hukum Perdata.Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Syahrani,Riduan. 2006. Seluk-beluk
dan asas-asas hukum perdata. Bandung: PT.alumni.
Saifullah. 2011. Wawasan Hukum Perdata di Indonesia.Malang:
Fakultas Syari’ah: UIN Maliki Malang.
[1]Wijono
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1979), hlm. 11
[2]Sudikno
Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis BW(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 5
[4]Riduan
Syahrani, Seluk-beluk dan
asas-asas hukum perdata (Bandung: PT.alumni, 2006), hlm. 12
[5]Sudikno
Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis BW (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), hlm. 9
[6] Mokhammad Najih, Pengantar
Hukum Indonesia(Malang: Setara Press, 2012), hlm. 183
[7]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata(Jakarta:
Intermasa, 1989), hlm. 16
[8]Abdoel Djamali,
Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 151
[9] Subekti, Pokok-pokok
Hukum, hlm. 16
[10] Abdoel, Pengantar Hukum, hlm. 152
[11]Mokhammad, Pengantar Hukum , hlm. 183
[12]Abdoel Djamali,
Pengantar Hukum Indonesia(Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 160
[13]Subekti, Pokok-pokok
Hukum, hlm. 17
[14]Saifullah, Wawasan
Hukum Perdata di Indonesia. (Malang: Fakultas Syari’ah: UIN Maliki Malang.
2011). H. 72-73
0 comments:
Post a Comment