اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Al-‘aadah muhkamah secara bahasa al-‘aadah diambil dari
kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah ( المعاودة) yang artinya berulang (التاكر ار).
Ibnu nuzaim mendifinisikan al-‘aadah dengan
عبارة عما يستقق ر في ا لنفو س من الا مو ر المتكررة المقبولة عند
الطباع الساليمة
“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri,perkara yang
berulang-ulang yang biasa diterima oleh tabi’at(perangai)yang sehat.”
Menurut al-Jurjani:
العادة ا استمر النفس عليه على حكم المعقول وعا دوا اليه مرة بعد اخرى
“Al-‘aadah ialah sesuatu(perbuatan/perkataan) yang terus menerus
dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia
mengulang-ulanginya terus menerus”.
Para ulama mengartikan al-‘aadah dalam pengertian yang sama
dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang
berbeda,misalnya al-‘urf di definisikan dengan:
العرف هو ما تعارف عليه الناس واعتاده فى اقوالهم وافعالهم حتى طار
ذالك مطردا غالبا
‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya
dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku
umum.”
Menurut abdul wahab khalaf:
العرف هو ما تعارفه النس وسار عليه من قول او فعل اوترك ويسمى العادة
وفى لسان الشرعيين لافرق بين العرف والعادة
“al-‘urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan
dikerjakan oleh mereka, dari:perkataan,perbuatan atau sesuatu yang
ditinggalkan.hal ini dinamakan pula dengan al-‘aadah.dan dalam bahasa ahli
syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘aadah.
Dari memperhatikan ta’rif-ta’rif diatas, dan juga ta’rif yang
diberikan oleh ulama-ulama, dapat di fahami bahwa al-‘urf dan al-‘aadah adalah
semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan.
Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang di kerjakan oleh
manusia,sehingga melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang
sehat tabi’at yang sejahtera.
Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan syara’.
Akan tetapi tidaklah termasuk dalam pengertian al-‘aadah dengan
al-‘urf hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya
sama sekali. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi,saling menipu ,dan
sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan
mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.
Diantara perbuatan yang hukumnya oleh rosulullah SAW ditetapkan
berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadist:
قدالنبي صلى الله وسلم المدينة وهم يسلفون فىالسمار السنة والسنتين
فقال: من سلف في شمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم ( اخرجه
البجارى عن ابن عباس
“ketika nabi SAW datang dimadinah,mereka (penduduk madinah) telah
biasa member uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun
atau dua tahun.”
“maka nabi bersabda:barang siapa yang memberi uang panjar pada
buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu,
timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu.”
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli, sewa
menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah
merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara
mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’
yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
كل ما ورد بهالثرع مطلقا ولا ظا بط له فيه ولا فى اللغة يرجه فيه الى
العرف
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada
ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada
urf’.”
Seperti yang berlaku dalam jual beli, yaitu al-ihya’, menghidupkan
tanah yang mati dan at-ta’rif ,pengumuman tentang barang yang ditemukan,
dan lain-lainnya.
Hal itu perlu adanya pemahaman dan pelaksanaannya juga dikembalikan
pada kebiasaan yang berlaku dimana kesemuanya itu terjadi.
Dasar
Hukum
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh”
مَا
رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ
المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan
apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Macam-Macam
Kaidah
1)
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ
يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa
yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang
wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang
sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap
anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara
sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir
diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2)
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا
اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat
yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus
berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan
atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan
atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering
berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk
dapat dijadikan sebagai dasar hokum.
Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran
selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya,
maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
3)
العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ
لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat
yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan
yang jarang terjadi”
Ibnu
Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا
النَّادِرِ
“Hukum
itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam
perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka
ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
4)
المَعْرُوْفُ عُرْفَا
كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu
yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam
bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh
karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para
ulama membolehkannya.
5)
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ
كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu
yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara
pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata,
bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga
batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6)
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ
كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan
berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang
didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka
kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi
orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan
perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang
punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
7)
المُمْتَنَعُ عَادَةً
كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
“Sesuatu
yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila
tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak
mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang
ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana
asal-usul tanah tersebut.
8)
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ
العَادَةِ
“Arti
hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh:
Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka
berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual
batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata
naik.
9)
الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ
اللَفْظِى
“Pemberian
izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan
makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh
memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti
mempersilahkannya.
2 comments:
syukron sudah bagus, tapi kalau bisa daftar pustakanya.
terimkasih banyak ilmunya bib
Post a Comment