Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang
kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti
aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti
al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan dalam tinjauan
terminologi
kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam
buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
اَلْقَضَايَااْلكُلِّيَةُ الَّتِىيَنْدَرِجُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍمِنْهَاحُكْمُ جُزْ
ىِٔيَّاتٍ كَثِيْرَةٍ
”Kaum yang
bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ كُلِّىٌّ
يَنْطَبِقُ عَلٰى جَمِيْعِ جُزْىِٔيَّاتِهِ
”Hukum
yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang
banyak dipahami, yaitu :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ
خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan
kepadanya kepahaman dalam agama. (روه البخارى ومسلم)
Sedangkan menurut
istilah, Fiqh
adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang
diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
A.
Sejarah Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
1. Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa perkembangan dan
ppembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga
abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarah hukum islam, dapat dibagi
menjadi tiga zaman. Nabi
muhammad SAW yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in
yang berlangsung selama
250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak
ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir
al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah
fiqh baru dibentuk dapat ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat
ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan
tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat
dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
a) Segi sumber : Ia adalah
hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung
al-Mustasnayat
b) Segi cakupan makna dan
bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas,
tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa
sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap
sebagai kaidah fiqh, yaitu : ”pajak itu disertai imbalan
jaminan”
”Tidak boleh
menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang
dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat,
sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah
fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu
mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi
turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’
tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada
generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya
yang terkenal kitab Al-Kharaj,kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki
ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta
pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima
harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak
memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh
adalah Imam Asy-Syafi’i,yang hidup pada fase kedua abad kedua
hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa
adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin
Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam
Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka
dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2.
Fase
perkembangan dan kodifikasi
sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman
ini, sebagian besar ulama
melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing.
Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa
berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad
VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan
termasyhur abad ini adalah :
a) Al-Asybah wa
al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
b) Kitab al-Qawaid, karya
al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
c) Al-Majmu’ al-Mudzhab fi
Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
d) Al-Qawaid fi al-Fiqh,
karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh,
meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh
pada zaman sesudahnya. Salah
satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin
dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah
kata-kata idznih menjadi idzn.Oleh karena itu
kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
B.
Pembagian Kaidah Fiqh
Cara
membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi fungsi,
dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena
kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal
sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
العَادَةُمُحَكَّمُةٌ
”Adat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan
marginal, diantaranya :
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ
التِجَارِكَمَالِمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
”Sesuatu yang
dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
التَّعْيِيْنُ
بِالْعُرْفِ كَمَالتَّعْيِيْنُ بِالنَّصِ
”Sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan
demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.
2. Segi mustasnayat,
dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai
pengecualian. Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi
Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
الْبَيِّنَةُعَلَى الْمُدَّعِيْ
وَاْليَمِيْنُ عَلَى مَنْ اَنْكَرَ
”Bukti
dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh
lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada
kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas,
dari segi kualitas kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu :
a)
Kaidah kunci,
kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah
fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِمُقَدِّمُ
عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan didahulukan
didahulukan daripada meraih kemaslahatan”.
Kaidah diatas
merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.
b)
Kaidah asasi,
adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh
seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
الْاُمُوْرُ
بِمَقَاصِدِهَا
”Perbuatan /
perkara itu bergantung pada niatnya”
اْليَقِيْنُ لاَيَزَالُ
بِالشَّكِّ
”Kenyakinan
tidak hilang dengan keraguan”
الْمَشَقَّةُتَجْلِبُ
التَّيْسِرَ
”Kesulitan
mendatangkan kemudahan”
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ
ﻴُﺰَﺍﻞُ
“Kesulitan harus dihilangkan”.
الْعَادَةُمُحْكَمَةٌ
”Adat dapat dijadikan
pertimbangan dalam menetapkan hukum”
c)
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni,
kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
adalah ”majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad
XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
0 comments:
Post a Comment