Mudzakir Foundation

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Hukum Positif

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Hukum Islam

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tips/Trik

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Breaking News

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Belanja

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday 27 September 2013

Hukum Perdata( PTHI )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Tahun 1997 merupakan momentum awal dimulainya era reformasi di negara Republik Indonesia. Era reformasi menuntut perubahan yang lebih baik dalam segal aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada tiga aspek yang menuntut perubahan yang lebih cepat, yaitu aspek politik, ekonomi, dan hukum. Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (Law of enforcement). Tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan peraturan lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti dengan peraturan yang bru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa keadilan, dan budaya hukum masyarakat Indonesia.
            Undang-undang yang dihasilkan dalam era reformasi ini kebanyakan UU atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum yang bersifat dasar belum mendapat perhatian. Hal ini tampak dari kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum tata negara, dan lainnya.
            Oleh karena UU yang mengatur tentang hukum perdata secara khusus di Indonesia belum ada, maka yang menjadi acuan di dalam pengkajian dan penelaahan buku Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) ini adalah kepada KUH Perdata, yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu diharapkan pada masa yang akan datang, hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah gabungan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang bersumber dari KUH Perdata, hukum Islam, hukum adat, dan lain-lain.




1.2 Rumusan Masalah
            Rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini yaitu:
           1.      Apa pengertian Hukum Perdata?
           2.      Bagaimanakah keadaan Hukum Perdata di Indonesia saat ini?
           3.      Apakah isi yang ada dalam Hukum Perdata?
           4.      Bagaimanakah asas-asas yang ada dalam Hukum Perdata?

1.3 Tujuan Pembahasan
            Adapun tujuan dari pembahasan kami yaitu untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam makalah kami, yaitu:
          1.      Mengetahui pengertian hukum perdata
          2.      Mengetahui keadaan hukum perdata di Indonesia
          3.      Mengetahui isi hukum perdata
          4.      Mengetahui asas-asas hukum perdata.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perdata

            Pada dasarnya hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata).[1] Hukum publik merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata pertama diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht pada masa pendudukan Jepang.
            Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut ini. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke-19 adalah:
“Suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”.[2]
            Definisi lain tentang pengertian hukum perdata dikemukakan H.F.A. Vollmar dan Sudikno Mertokusumo. Vollmar berpendapat bahwa hukum perdata adalah Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.”
            Pandangan Vollmar ini mempunyai kesamaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan pada masing-masing pihak”.[3]
Kedua definisi yang yang terakhir ini, yaitu definisi yang dikemukakan oleh Vollmar dan Sudikno Mertokusumo, keduanya menjadi definisi hukum perdata dari aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya. Perlindungan hukum itu berkaitan dengan perlindungan perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, sedangkan ruang lingkupnya mengatur hubungan kekeluargaan dan didalam pergaulan masyarakat.

2.2 Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
            Keadaan Hukum perdata yang ada di indonesia saat ini masih majemuk yaitu beraneka ragam (pluralistis). Faktor yang mempengaruhinya antara lain:
a.       Faktor etnis: keanekaragaman adat di Indonesia.
b.      Faktor historia yuridis yang membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan.
            Sehingga masing-masing golongan penduduk mempunyai hukumnya tersendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi (penyatuan) seperti UUPA No.5 tahun 1960. Keaneka ragaman ini sebenarnya ada sejak jaman pemerintahan hindia belanda yang menagacu pada pasal 163 indische staatsregeling (I.S), yang mana penduduk Hindia belanda di bagi menjadi 3 golongan:
1)      Golongan Eropa ialah orang-orang belanda, eropa, jepang dan juga keturunannya yang mana mereka tunduk pada hukum keluarga yang azasnya sama dengan hukum keluarga belanda.
2)      Golongan bumi putera yaitu orang indonesia asli yang tidak beralih ke golongan lain, dan orang dari golongan lain yang membaur /tercampur/terlebur dirinya dalam golongan bumi putera.
3)      Golongan timur asing ialah orang yang bukan golongan eropa dan bumi putera. Contohnya orang-orang tionghoa.[4]
            Politik pemerintah Hindia Belanda itu diatur dan dituangkan dalam pasal 131 I.S. Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan sistem hukum yang diberlakukan kepada mereka. Bagi golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu, serta golongan Timur Asing Tionghoa berlaku keseluruhan hukum perdata Eropa sebagaimana yang tertuang dalam Stb. 1848 dan Stb.1919. Sedangkan bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya masing-masing. Begitu juga golongan Bumiputra berlaku hukum adat yang telah direseptio dari hukum Islam.[5]
2.3 Isi Hukum Perdata
            Sistematika hukum perdata menurut pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
     1.      Buku I             : tentang Orang (van personen).
     2.      Buku II           : tentang Hukum Benda (van zaken).
     3.      Buku III          : tentang Perikatan (van ferbintenissen).
      4.      Buku IV          :tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjaring).[6]

            Dari ketentuan pembagian hukum perdata yang tertuang dalam Buku I sampai dengan buku IV, menurut ilmu hukum modern dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:[7]
a.         Hukum tentang diri seseorang.
            Hukum Pribadi mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi sebagai “subjek hukum”. Pribadi sebagai subjek hukum ialah orang dalam arti hukum. Artinya, memiliki hak dan kewajiban.Hak dan kewajiban dimiliki oleh setiap orang secara kodrati sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan, menurut hukum perdata Eropa yang dinyatakan dalam pasal 2 KUH Perdata menetapkan bahwa “Anak yang ada dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Kematian sewaktu dilahirkannya dianggaplah ia tak pernah ada”. Maksud dari ketentuan ini walaupun merupakan fiksi hukum bahwa calon bayi sudah dianggap ada dan memiliki hak untuk kepentingan tertentu yaitu suatu pewarisan. Ia diperhitungkan memperoleh bagian waris dari ayahnya yang meninggal dunia sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi kalau ia dilahirkan meninggal dunia, maka dianggap tidak pernah ada.[8]
            Menurut Subekti yang dimaksud “hukum tentang diri seseorang”, ialah memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.[9]
            Kecakapan melakukan tindakan hukum sendiri akan dapat berwujud jika pribadi itu telah “dewasa”. Dewasa menurut hukum perdata Eropa ditentukan pada pasal 330 KUH Perdata (Ayat 1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “belum dewasa” adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin terlebih dahulu”. Berarti, usia dewasa seseorang kalau sudah genap 21 tahun.[10]

b.        Hukum kekeluargaan
            Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan. Beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan pengampuan (curatele).[11]


c.         Hukum Kekayaan
            Hukum yang mengatur perihal dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
n bahwa "elum dewasa kecakapa hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.Hukum kekayaan merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hubungan antara subjek hukum dan objek hukum dalam suatu peristiwa hukum. Yang dimaksud dengan “objek hukum” yaitu benda yang dapat dikuasai dan mempunyai nilai uang. Jadi, yang diperhatikan adalah hubungan antar para subjek hukum dengan membuat suatu ikatan hukum tertentu berkenaan dengan suatu objek hukum tertentu, sehingga hal yang dikehendaki dapat tercapai untuk memiliki benda itu sebagai kekayaan mereka. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum kekayaan terdiri dari hukum benda dan hukum perikatan.[12]

d.        Hukum warisan.
            Hukum waris mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan seseorang.Di referensi lain mengatakan bahwa hukum waris adalah mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jikalau ia meninggal.[13]                    

2.4 Asas-Asas Hukum Perdata

Berdasarkan isi dari hukum perdata yang dimana terdapat buku 1 sampai buku 4, maka dapat disimpulkan bahwa asas hukum perdata sebagai berikut[14]:
    1.      Asas konsensualisme
Kata konsesualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Sedangkan menurut pasal 1320 (1) KUHPerdata berbunyi:
“untuk sahnya suatu perjanjian diperlulakan empat syarat:
a.       Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tapi cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak)


b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c.       Suatu hal tertentu
d.      Suatu sebab yang halal
     2.      Asas Pacta Sunt Servanda (kepastian hukum)
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanian, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1338 (1) KUHPerdata: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda ini memiliki arti pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan atau tindakan formalitas lain, nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
    3.      Asas kebebasan berkontrak
Asas ini dapat dianalisis dengan pasal 1338 (1) “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka” asas ini memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
a.       Membuat atau tidak membuat perjanjian
b.      Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c.       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
d.      Menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau lisan)
Selain asas-asas diatas, dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh badan pembina hukum nasional, departemen kehakiman dari 17-19 nopember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu:
     4.      Asas Kepercayaan
        Yaitu asas yang mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari

     5.      Asas Persamaan Hukum
        Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

    6.      Asas Keseimbangan
      Adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

   7.      Asas Perlindungan
       Mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

    8.      Asas Kepatutan
        Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
    
    9.      Asas Moral
        Asas ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
     
      10.  Asas Kebiasaan
        Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
     
      11.  Asas Kepastian Hukum

        Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Djamali,Abdoel. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo      Persada.
Mertokusumo, Sudikno. 2001.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta:    Sinar Grafika.
Najih,Mokhammad. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Setara Press.
Prodjodikoro, Wijono. 1979.Asas-asas Hukum Perdata.Jakarta: PT Raja     Grafindo Persada.
Syahrani,Riduan. 2006. Seluk-beluk dan asas-asas hukum perdata. Bandung:         PT.alumni.
Saifullah. 2011. Wawasan Hukum Perdata di Indonesia.Malang: Fakultas Syari’ah: UIN Maliki Malang.






[1]Wijono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1979), hlm. 11
[2]Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 5
[3]Sudikno, Pengantar Hukum, hal. 6
[4]Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan asas-asas hukum perdata (Bandung: PT.alumni, 2006), hlm. 12
[5]Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 9
[6] Mokhammad  Najih, Pengantar Hukum Indonesia(Malang: Setara Press, 2012), hlm. 183
[7]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata(Jakarta: Intermasa, 1989), hlm. 16

[8]Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 151
[9] Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 16
[10] Abdoel, Pengantar Hukum, hlm. 152
[11]Mokhammad, Pengantar Hukum , hlm. 183
[12]Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 160
[13]Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 17
[14]Saifullah, Wawasan Hukum Perdata di Indonesia. (Malang: Fakultas Syari’ah: UIN Maliki Malang. 2011). H. 72-73

Giro syariah dan Tabungan Bank Ssyariah

PRODUK-PRODUK PENGHIMPUN DANA PADA BANK SYARI’AH
A.      GIRO SYARI’AH
1.      Pengertian
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang memiliki simpanan giro akan memperoleh nomor rekening. Jadi, giro merupakan dana yang disimpan di bank pada rekening giro sebagai titipan yang dapat diambil sewaktu-waktu.
Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya kapan saja saat diperlukan asalkan saldonya cukup, baik untuk pembayaran maupun lainnya. Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya melalui bank lain, baik bank syari’ah maupun bank konvensional. Penarikan simpanan giro yang dilakukan melalui bank lain, disebut dengan kliring. Bank yang menerima setoran cek dan/atau bilyet giro bank lain akan menagihkan kepada bank yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro tersebut. Penagihannya dilakukan melalui lembaga kliring setempat, yaitu Bank Indonesia atau bank yang ditunjuk sebagai lembaga kliring oleh Bank Indonesia.
Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/VI/2000 yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Simpanan giro sebenarnya bukan merupakan suatu simpanan untuk mendapatkan hasil bunga, melainkan semata-mata dimanfaatkan sebagai sarana memperlancar transaksi bisnis. Oleh karena itu, pada umumnya pemilik rekening giro adalah pengusaha atau pemilik kegiatan yang membutuhkan alat pembayaran berbentuk cek.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan ketentuan tentang giro wadi’ah, diantaranya:
1)      Bersifat titipan.
Dalam hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan menggunakan dana yang dititipkan, kecuali atas izin pemiliknya.
2)      Titipan bisa diambil kapan saja.
Hal ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat menarik dananya sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap mengembalikan dana yang dititipkan.
3)      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang menitipkan (nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank, dan bank tidak berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun dananya sudah dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan athaya (bonus) kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau dituangkan dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah tidak dapat menuntut untuk diberikan.



2.      Sarana Penarikan
a.      Cek (cheque)
Penarikan rekening giro dengan menggunakan cek, artinya penarikan dana secara tunai, oleh karena itu cek juga berfungsi sebagai alat pembayaran. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178 menjelaskan tentang cek sebagai berikut:
·         Pada cek harus tertulis kata “CEK”.
·         Berisi perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
·         Nama bank tertarik (bank yang harus membayar).
·         Disebutkan tanggal dan tempat cek dikeluarkan.
·         Tanda tangan penarik.
Jenis-jenis cek ada 5 jenis, diantaranya:
1)      Cek Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang atau badan hukum tertentu yang tertulis jelas di dalam cek tersebut. Sebagai contoh jika didalam cek tertulis perintah bayarlah kepada : Tn. Roy Akase sejumlah Rp 3.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang sejumlah Rp 1.000.000,- maka cek inilah yang disebut dengan cek atas nama, namun dengan catatan kata "atau pembawa" dibelakang nama yang diperintahkan dicoret.
2)      Cek Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan dari cek atas nama. Di dalam cek atas unjuk tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu jadi siapa saja dapat menguangkan cek atau dengan kata lain cek dapat diuangkan oleh si pembawa cek. Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa pun.
3)      Cek Silang
Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang dipojok kiri atas diberi dua tanda silang. Cek ini sengaja diberi silang, sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai atau sebagai pemindahbukuan.
4)      Cek Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal sekarang, misalnya hari ini tanggal 01 Mei 2002. Sebagai contoh. Tn. Roy Akase bermaksud mencairkan selembar cek dan di mana dalam cek tersebut tertulis tanggal 5 Mei 2002. jenis cek inilah yang disebut dengan cek mundur atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena ada kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum memiliki dana pada saat itu.
5)      Cek Kosong
Cek kosong atau blank cheque merupakan cek yang dananya tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai contoh nasabah Tn. Rahman Hakim menarik cek senilai 60 juta rupiah yang tertulis di dalam cek tersebut, akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya ada 50 juta rupiah. Ini berarti kekurangan dana sebesar 10 juta rupiah, apabila nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah dana yang ada.
b.      Bilyet Giro
Bilyet giro digunakan oleh pemilik rekening giro apabila akan melakukan penarikan secara non tunai atau pemindahbukuan. Syarat-syarat dan tata cara penggunaan bilyet giro dalam kegiatan bank syari’ah diatur oleh Bank Indonesia, di antaranya surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia SE BI No. 4/670 UPPB/PbB Tanggal 24 Januari 1972 yang disempurnakan dengan SE BI No. 28/32/UPG Tanggal 01 Juli 1995.
Di dalam bilyet giro, terdapat masa kadaluarsa, yaitu 70 hari setelah tanggal penerbitannya. Sedangkan dalam bilyet giro, terdapat tanggal penerbitan dan tanggal efektif. Tanggal efektif merupakan tanggal yang ditetapkan bahwa bilyet giro mulai efektif dan dapat dipindahbukukan. Bila pemindahbukuan dilakukan sebelum tanggal efektif, maka bank menolak permohonan pemindahbukuan.
3.        Karakteristik
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik dari giro wadi’ah, antara lain sebagai berikut:
1)      Harus dikembalikan utuh seperti semula sejumlah barang yang dititipkan sehingga tidak boleh overdraft (cerukan).
2)       Dapat dikenakan biaya titipan.
3)      Dapat diberikan syarat tertentu untuk keselamatan barang.
4)      Penarikan giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet giro sesuai ketentuan yang berlaku.
5)      Jenis dan kelompok rekening sesuai ketentuan yang berlaku dalam kegiatan usaha bank sepanjang tidak bertentangan dengan dengan syariah.
6)      Dana wadi’ah hanya dapat digunakan seizin penitip.
Selanjutnya adalah giro mudharabah, yakni giro yang berdasarkan prinsip mudharabah, diantara beberapa ketentuannya adalah:
1)      Dalam transaksinya nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau sebagai pengelola dana.
2)      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3)       Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4)      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5)      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6)      Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
B.       TABUNGAN SYARI’AH
1.    Pengertian
Tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Para ahli perbankan tempo dulu memberikan pengertian tabungan merupakan simpanan sementara, maksudnya simpanan untuk menunggu apakah investasi (antara lain dalam bentuk deposito), untuk keperluan sehari-hari atau konsumsi yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam bentuk giro.
Bank syari’ah menerapkan dua akad dalam tabungan, yaitu wadhi’ah dan mudharabah.
2.    Sarana Penarikan
a.      Buku Tabungan
Buku tabungan merupakan salah satu bukti bahwa nasabah tersebut adalah nasabah penabung di bank syari’ah. setiap nasabah tabungan akan diberikan buku tabungan, yaitu merupakan buku yang menggambarkan mutasi setoran, penarikan, dan saldo atas setiap transaksi yang terjadi.
b.      Slip Penarikan
Slip penarikan merupakan formulir yang disediakan oleh bank syari’ah untuk kepentingan nasabah yang ingin melakukan penarikan tabungan melalui kantor bank syari’ah yang menerbitkan tabungan. Di dalam slip penarikan, nasabah perlu mengisi nama pemilik rekening, nomor rekening, serta jumlah penarikan, baik angka maupun huruf, kemudian menandatangani slip penarikan. Setelah menyerahkan slip penarikan dan menyerahkan buku tabungan, maka bank syari’ah akan membayarnya sebesar jumlah yang tertera dalam slip tersebut yang telah ditandatangani oleh nasabah dan diserahkan kepada teller.
c.       ATM
ATM merupakan kepanjangan dari Automated Teller Machine atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Anjungan Tunai Mandiri adalah sebuah alat elektronik yang mengizinkan nasabah bank untuk mengambil uang dan mengecek rekening tabungan nasabah tanpa perlu dilayani oleh seorang “teller” manusia. ATM sering ditempatkan di lokasi-lokasi strategis, seperti restoran, pusat perbelanjaan, bandar udara, pasar, dan kantor-kantor bank itu sendiri.
d.      Formulir Transfer
Formulir transfer merupakan sarana lain yang disediakan bank syari’ah selain sarana-sarana sebelumnya, yakni sarana pemindahbukuan yang disediakan untuk nasabah dalam melakukan transfer. Fasilitas ini diberikan oleh bank syari’ah kepada nasabah yang telah dikenal memiliki loyalitas yang tinggi kepada bank syari’ah.
  1. Karakteristik
Karakteristik Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah, yaitu:
·         Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
·         Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
·         Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
·         Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
·         Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
·         Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Sedangkan karakteristik Umum Tabungan berdasarkan Wadi’ah:
1)      Bersifat titipan.
Dalam hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan menggunakan dana yang dititipkan, kecuali atas izin pemiliknya.
2)      Titipan bisa diambil kapan saja.
Hal ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat menarik dananya sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap mengembalikan dana yang dititipkan.
1)      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang menitipkan (nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank, dan bank tidak berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun dananya sudah dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan athaya (bonus) kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau dituangkan dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah tidak dapat menuntut untuk diberikan.


Pengumumam Seleksi Administrasi CPNS 2017 (Update 6 September 2017)

Hasil seleksi administrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)  dan Mahkamah A...