IJMA’ DAN KEHUJJAHANNYA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. H.M. Sa’ad
Ibrahim, MA.
Disusun oleh:
Destia Rahmahidayani (12220005)
Abdul Habib Mudzakiri (
12220019)
Mitsnein Luthfie (12220022)
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................................................
vi
DAFTAR
ISI.................................................................................................................. vii
PENDAHULUAN............................................................................................................
1
POKOK
PEMBAHASAN................................................................................................
2
PEMBAHASAN.............................................................................................................. 3
PENGERTIAN DAN FUNGSI
IJMA’............................................................................. 3
RUKUN-RUKUN
IJMA’.............................................................................................. 6
SYARAT
IJMA’............................................................................................................. 7
KEHUJJAHAN IJMA
‘................................................................................................. 8
MACAM-MACAM
IJMA’........................................................................................... 11
FUNGSI
IJMA’............................................................................................................ 12
PROBLEMATIKA
IJMA’.......................................................................................... 13
KESIMPULAN............................................................................................................ 14
PENUTUP.................................................................................................................... 15
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................................. 16
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke haribaan Penguasa
Semesta yang meluapkan samudra-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
penyusunan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Ushul fiqh.
Sholawat serta salam semoga
tetap terlimpahkan kepada baginda Rosululloh SAW yang telah menyingkap tabir
kejahiliyyahan menuju era kebebasan berfikir yakni Din Al Islam. Dengan
terselesaikannya makalah ini, penulis menghaturkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini karena
itu, perkenankan penulis menyampaikan terimakasih, khususnya kapada yang
terhormat Bapak Dr. H.M. Sa’ad Ibrahim, MA. selaku pembimbing yang
telah mengarahkan kami sehingga dapat menyelesaikan tugas ini
Semoga Allah SWT
melimpahkananugrahcinta-Nya padakitasemua. Sehingga kita memiliki hati yang
senantiasa dipenuhi oleh aura cinta-Nya yang murni.
Sebagaimanusia yang takluputdarisalah.Penulis
pun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapakan saran dan kritik
konstruktif demi penyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bias bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi
mahasiswa luas secara umum, dengan izin-Nya
Malang ,12- September - 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Harus
dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap
Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada
dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia
merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal
sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai materi ijma’
yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal
untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep yang falid dalam
pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk menentukan
universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana
ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari
konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang
meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan,
atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau menerima
gagasan relatifitas atau tidak mau menerima kesepakatan darinya............................
Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua
ahli ijtihad pada suatu masa atas hukum syara’ . oleh karena itu , menurut
Hanafi , dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut :
1.
Kebulatan dapat terwujud apabila
pendapat seseorang sama dengan pendapat lain.
2.
Apabila ada yang tidak sependapat ,
tidak akan ada ijma’ tanpa kesepakatan secara keseluruhan ijma’ , tidak terjadi
, tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah
3.
Jika pendapat di suatu masa tersebut
hanya keluar dari seorang mujtahid , bukan termasuk ijma’
4.
Kebulatan pendapat harus real ,
artinya semua menyatakannya , baik dengan lisan , tulisan , atau isyarat .
5.
Kesepakatan yang dimaksudkan hanya
berlaku untuk mujtahid , bukan yang lainnya .[1]
6.
Kebulatan pendapat dari kelompok
tertentu , bukan merupakan ijma’ , sebab ijma’ disini adalah ijma’ ummah
seluruh umat bersepakat .
Terjadinya
ijma’ disebabkan oleh berbagai hal yaitu :
1.
Karena pernah terjadi , dan hal itu
diakui secara mutawatir .
2.
Pada masa awal islam , para mujtahid
masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan ijma’
dan menetapkan suatu hukum. Akan tetapi , melakukan ijma’ yang diakui
validitasnya oleh ulama ahli ushul , hanyalah ijma’ sahabat, karena jumlah
sahabat yang sedikit pada zamannya. Sahabat adalah orang yang bertemu , bergaul
dengan Nabi SAW. dan banyak menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an .
3.
Ijma’ tidak akan terjadi , tidak
akan ada dan tidak akan pernah ada , karena persoalan agama ,sejak diutusnya
nabi hingga kiamat , merupakan masalah yang disepakati .[2]
II.
Pokok Pembahasan
a.
Pengertian dan fungsi ijma’
b.
Rukun-rukun ijma’
c.
Syarat ijma’
d.
Kehujjahan ijma’
e.
Macam-macam ijma’
f.
Fungsi ijma’
g.
Problematika ijma’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan fungsi ijma’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan” atau
konsensus.[3]
Pengertian ini dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-nisa (115) :
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ
مَصِيرًاوَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
وَسَاءتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.(QS.An-Nisa’:115)"[4]
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu).
Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus,
10: 71:
... maka bulatkanlah keputusanmu dan
kumpulkanlah) sekutu-sekutumu..
Perbedaan
antara pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan
hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk
pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.[5]
Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dari beberapa rumusan atau definisi ijma’ sebagai berikut:
a) Al-Ghazali merumuskan ijma’dengan:
اتِّفَاقُ
جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أُمَّةِمُحَمَّدٍ فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ عَلَى أَمْرٍ
شَرْعِيٍّ
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat
Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad
atau umat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i
yang menetapkan ijma’ itu sebagai
kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang
terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan.
Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan
pengikutnya di kemudian hari.
b)
Al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang
berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu
kasus.
Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi ijma’
itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad, yaitu
orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai
dan pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat
Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun
lebih lanjut terlihat, bahwa al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya
orang awam dalam penetapan ijma’ dengan
ketentuan ia telah mampu berbuat hukum. Untuk maksud ini al-Amidi memberikan
alternatif definisi ijma’ sebagai
berikut:
Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada
suatu masa atas hukum suatu kasus.
Definisi yang dikemukakan ulama Ahl
al-Sunnah berkisar di sekitar definisi yang dikemukakan al-Amidi tersebut
di atas meskipun berbeda dalam perumusannya, yakni, kesepakatan orang yang
bernama ulama atau ahl as-halli wa
al-‘aqdi.
c)
Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa yang dikemukakan ulama
Syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata ‘semua”. Tetapi cukup pada
kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai wewenang dalam
menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama Syi’ah merumuskan definisi ijma’ sebagai berikut:
Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan
hukum syara’
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh
dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka kesepakatan
kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar apa yang telah
ditetapkan olah Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau
perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum
atau terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut mereka, adalah Nabi
Muhammad dan Ahlul bait (Keturunan
Nabi dari Fathimah serta Hasan dan Husen).
d) Al-Nazham (pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan
dari Mu’tazilah) mengemukakan rumusan lain tentang ijma’.
Setiap perkataan yang hujjahnya
tidak dapat dibantah.
Maksudnya: “Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai
hujjah syari’iyah, meskipun ucapan seseorang”.[6]
B.
Rukun- Rukun
Ijma’
Dalam definisi ijma telah disebutkan
bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid lah teknis hukum atau dari umat
islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan
bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’i ia tidak akan terjadi kecuali dengan
keberadaanya, adalah empat, yaitu:
Pertama: adanya sejumlah para mujtahid pada
saat terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin
dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat
sesuai dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak
terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama
sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan
terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada
masa Rosululloh SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
Kedua: adanya kesepakatan seluruh
mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau
peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan
mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri
makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid
negeri hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah,
bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu
peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’.
Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua
mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid tidak masuk
penilaian.
Ketiga: Bahwasanya kesepakatan
mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para
mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik
penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia
memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia
memberikan suatu putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka
mengemukakan pendapatnya pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat,
mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu
konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu
dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka
mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum mengenainya.
Keempat: bahwa kesepakatan dari
seluruh mujtahid atau suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan
dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’,
kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah
mujtahid yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat,
maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan
pada pihak lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi
hujjah Syar’iyah yang pasti dan meningkat.[7]
C. Syarat Ijma’
Di
samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat
ijma’, yaitu:
1) Yang
melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
2)
Kesepakatan itu muncul dari para
mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
3) Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ketiga
syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
1) Para
mujtahid itu adalah sahabat.
2)
Mujtahid itu kerabat Rasulullah,
apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
3)
Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4)
Hukum yang disepakati itu tidak ada
yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
5) Tidak
terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang
berkaitan dengan masalah yang sama.[8]
D. Kehujjahan
Ijma’
Jumhur
ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’
tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti),
wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang
mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut
para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi
berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah
al-Qur’an dan Sunnah.[9]
Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang
mengatakan bahwa ijma’ merupakan
hujjah yang qath’i dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
1. Firman Allah
swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alah dan taatilah Rasul dan uli
al-amri di antara kamu...
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh,
lafal uli al-amr dalam ayat itu
bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya). Ibn
‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini
dengan para ulama.
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur
Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat
143, Ali Imran ayat 110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali (450-505
H/1058-1111 M), mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai alasan
kehujjahan ijma’ , yaitu firman Allah
dalam surat al-Nisa ayat 115,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Menurut al-Ghazali, ayat ini
menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara
yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan
menentang Allah dan Rasul-Nya hukumnya haram.
2. Alasan
Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw.:
Umatku tidak akan melakukan
kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-Tirmidzi)
Dalam lafaz
lain disebutkan:
إِنَّ
أُمَّتِي لاَ يَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Umatku tidak akan melakukan
kesepakatan terhadap suatu kesesatan.
Dalam hadits
lain Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ باِلجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ
فَإِنََّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعُد[10]
Hendaklah kalian berjamaah dan
jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang
lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)
Lebih lanjut Rasulullah saw.
bersabda:
منْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ
رِبْقَةَ الإِسْلامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ؟ قَالَ : وَإِنْ صَلَّى وَصَامَم
Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW
bersabda:’Siapa yang meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan
ikatan Islam dari lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai
Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah
SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut Abdul
Wahhab Khalaf, menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid
sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para
mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas,
tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka
tidak ada alasan untuk menolaknya.[11]
E. Macam-macam
ijma’.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka ia ada dua macam
yaitu:
Pertama: Ijma’ Sharih, yaitu:
kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara
masing-masing dari mereka menemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa
atau putusan hukum. Maksudnya bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan
pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
Kedua: Ijma’ Sukuti, yaitu: sebagian
dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai
suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka
tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan
persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau
menentang pendapat itu.[12]
Adapun macam yang pertama yaitu
Ijma’ Sharih, maka itu ijma yang hakiki dan ini merupakan hujjah syar’iyah
dalam madzhab jumhur ulama.sedangkan macam yang kedua yaitu ijma’ syukuti, maka
ia adalah ijma I’tibari (anggapan), karena sesungguhnya orang yang dian saja
tidak ada kepastian, bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian
mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma’, dan karena inilah maka
ia masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’
sukuti bukanlah hujjah, dan bahwa ijma tersebut tidak lebih dari keadaanya
sebagai pendapat sebagian dari individu para mujtahid.
F. Fungsi
Ijma’
Yang
dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah
kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada
dasarnya ijma’ itu, menurut ulama Ahl
as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Tetapi
dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu
adalah hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam
hal ini terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat dari sudut pandangan
masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang
berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’
tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum
atas dasar taufiq Allah yang telah dianugrahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini
tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.
Dalam pandangan ulama yang
mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’
dalam bentuk nash atau qiyas,
maka ijma’ itu berfungsi untuk
meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau
zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.[13]
G.
Problematika
ijma
Kebanyakan ahli ushul menetapkan,
bahwa ijma’ menurut makna atau ta’rif yang diberikan oleh kebanyakan ahli
ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syari’at sebagai yang sudah
dijelaskan.
Akan tetapi, jika
masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah
bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah
masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka
membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang
seperti itu tidak mungkin terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal
menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat
diterima lagi karena para ulama islam telah bertebaran sampai kepelosok.
Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal
yang mudah lagi, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita
dengar bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk menyepakati
sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan
dengan arti ahli ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang
siapa mengatakan berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu
ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada yang
menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al Ashfahani
mengatakan bahwa “ para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang
(diterima) ijma’ orang dibelakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan
pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia
menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’
sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’.
Keadaan itu memungkinkan meraka berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu
pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat,
adapun sekarang sudah islam tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama,
tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara
mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh
Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa sahabat dan yang sangat luas
hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa
sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para
ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin
terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[14]
IV.
Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di
fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah,
atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak
mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus
mempunyai sandaran adalah:
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak
mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih
baik dari pada nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan
suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah.
Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui
kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak
wajib diikuti.[15]
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat
penulis paparkan, tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan tapi semoga saja
yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan
keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangan
diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan dan terima kasih kepada bapak dosen
yang telah membimbing saya semoga kita semua mendapat barokah dan
kemanfa’atan ilmunya. Amien
Haroen,
Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang:
Dita Utama, 1994
Ash Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar
Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997
Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut:
Dar Al-fikr 1996
Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia,
2008
[1] Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia,
2008. Hal. 165
[2] Ibid hal. 166
[3] DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1997. Hlm.51
[4]Qs : Yusuf ayat 15
[5]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51
[6]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1997. Hlm.113-114
[7]Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha
putra Group),1994. Hlm.57
[8]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1997. Hlm.53-54
[9]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1997. Hlm.54
[10]Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar
Al-fikr 1996. Hal. 123
[11]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1997. Hlm.56
[12]Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama
(Toha putra Group),1994. Hlm.64
[13]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1997. Hlm.133-134
[14]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Hlm.193
[15]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam.
Padang: Angkasa Raya,1993. Hlm.63
0 comments:
Post a Comment