BAB I
PENDAHULUAN
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah
SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar
al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib
RA.
Alasan disebut dengan khulafâ’
al-râsyidîn
adalah dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfah yang
berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk.
Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti)
Rasulullah SAW yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka
melakasanakan tugas sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara
Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola
negara.
Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’
al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan
perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini
dikarenakan peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu
sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada
lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah
penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan
dibahas adalah sebagai berikut:
1. Peradilan
Islam pada periode Khalifah Abu Bakar RA.
2. Peradilan
Islam pada periode Khalifah Umar RA.
3. Peradilan
Islam pada periode Khalifah Utsman RA.
4. Peradilan
Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib RA.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan Islam Pada Masa
Khalifah Abu Bakar RA
Saidina Abu Bakar al-Shiddîq RA,
adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal
ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam
solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah SAW, hakim
dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan
kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan
menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk
menjadi gubenur dan hakim di Yaman.
Sumber hukum yang dipakai Rasulullah
SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan. Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan
para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul,
ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau
diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ
عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada
saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana
kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku
memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya:
“Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan
memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di
sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku
bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul
bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah
pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan
Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman
Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan
memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan
lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan
dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada
orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara
ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab.
Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu
eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan
yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah
menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul;
Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
(... dan pada kekhalifahan Abu
Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka
adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat
al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah
yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim
bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya
mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat
kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial
ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman
Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim
kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai
hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang
berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah
orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’,
baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian
dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab
menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang
pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat,
menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd.
Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga
kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu
permasalahan
adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah
selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada
sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW.
Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain apakah ada yang tahu
sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau
mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum
untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara
bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah
tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad
secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan
dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW menetapkan
kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas,
Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan
beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak
menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari
ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai
pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka
ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku
memohon ampun kepada Allah”.
B. Peradilan Islam Pada Masa
Khalifah Umar bin Khattab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA,
kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah
Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang
berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan
ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari
itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan
eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan
yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk
menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di
Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula
diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm
al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja,
sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah
Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan Umar
RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar
dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat
bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau
menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun
bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang
memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah
rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang
berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari
Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam
keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu
memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh
kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata
pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan
kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka
carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai
rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan
pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari
administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada
masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak
diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum
keluar di balik hati seorang hakim. Hukum acara juga
tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan.
Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai
pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya
pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA
adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi.
Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal
serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan.
Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah memiliki
dustûr al-qudlât,
yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta
dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’.
Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di
dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât
al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ
الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ ,
فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا
أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ ,
وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ
شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى
مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ
الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا
يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ
وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ
, وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ
فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا
سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ
الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ
بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ
بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى
لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى
بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ
ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ
وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ
بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ
الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ .
Dikarenakan peradilan adalah
sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara)
yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada
lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan
seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya
pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang
berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap
dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.
C. Peradilan Islam Pada Masa
Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab
RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina
Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang
yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA
atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau
adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan
saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi
pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya
bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah
Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan
kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat
muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari
kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak
dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak
dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق
فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا
أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد
فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai
Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan,
beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.
D. Peradilan Islam Pada Masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA,
Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan
perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu
merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau
bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya,
Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai
uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha
Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi
kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi
hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang
yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa
sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari
orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang
loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas,
daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah
banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang
setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah
apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami
tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas
kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi
istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang
tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
“لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam,
maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar
RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem peradilan seperti yang telah
ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.
2. Khalifah Umar bin al-Khattab RA
adalah khalifah yang pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif.
Beliau juga membuat sebuah dustûr yang dibuat pegangan bagi para hakim
agung.
3. Utsman bin Affan RA tidak banyak
melakukan perubahan sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman
adalah khalifah yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan
Islam.
4. Ali bin Abi Thalib RA memberi
instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria orang yang layak untuk
diangkat menjadi hakim
0 comments:
Post a Comment