HARTA
WARISAN YANG TAK DIBAGI
Kronologi Kasus
Cipto Darsono seorang bapak yang
mempunyai dua istri, istri pertama sudah meninggal dunia, sedangkan istri kedua
masih hidup dan biasa dipanggil Mbok Jembleh. Dari istri pertama Cipto Darsono
memiliki seorang anak perempuan bernama Sainem. Karena dari istri kedua Cipto
tidak mempunyai anak, maka Cipto mengadopsi seorang anak laki-laki bernama
Sukirman. Jadi keluarga yang hidup serumah dengan Cipto ada tiga orang, yaitu
Mbok Jembleh, Sainem dan Sukirman.
Semasa hidup Cipto mempunyai tanah
yang banyak, diantaranya:
1.Sawah seluas 0,185 Da persil No. 80 a S IV
2.Sawah seluas 0,177 Da dan
3.Tanah pekarangan seluas 39 ubin persil No. 81, di Komplek
GOR Kel. Sidanegara, Kab. Cilacap
Kemudian oleh Cipto tanah pekarangan
seluas 39 ubin itu dihibahkan kepada Sainem seluas 20 ubin, sedang 19 ubin
sisanya diberikan kepada Sukirman anak angkat Cipto yang dirawatnya sejak masih
bayi. Penghibahan tanah pekarangan tersebut dicatatkan pada Kantor Kelurahan
setempat.
Pada tahun 1985, Cipto meninggal
dunia dengan meninggalkan tiga orang seperti yang telah disebutkan di atas. Dan
juga meninggalkan sejumlah harta warisan berupa sejumlah tanah sawah yang belum
dibagi.
Tanah warisan berupa sejumlah tanah
sawah tersebut seharusnya dibagi untuk semua ahli waris. Namun ternyata tanah
sawah tersebut dijual oleh Sainem dan Sadirman (keponakan Cipto Darsono) kepada
Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Padahal sawah yang dijual tersebut menghasilkan
gabah 4 ton/tahun yang selama ini menghidupi Cipto dan keluarganya.
Karena musyawarah tidak berhasil
menyelesaikan masalah tanah warisan Cipto almarhum, akhirnya Sukirman untuk
dirinya sendiri dan mewakili janda Mbok Jembleh, mengajukan gugatan perdata di
Pengadilan Negeri sebagai Penggugat melawan para Tergugat yaitu Sainem,
Sardiman, Wardi, Sri Mulyani dan Suroso.
Kemudian dengan pertimbangan yang
intinya bahwa memang harta warisan berupa tanah yang ditinggalkan oleh Cipto
belum dibagi, sehingga Pengadilan Negeri mengabulkan seluruh gugatan yang
diajukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keputusan Pengadilan membenarkan gugatan
yang diajukan oleh Sukirman dan Mbok jembleh bahwa tanah yang dijual harus
dikembalikan kepada orang yang berhak yaitu Mbok Jembleh.
Namun dalam hal ini pihak para
Tergugat tidak mau mengalah begitu saja, mereka kemudian mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi. Dan hasil dari Pengadilan Tinggi nampaknya tidak dapat
membuat mereka lega, karena Pengadilan Negeri menganggap bahwa alasan dan
pertimbangan Hakim Pertama yang menjadi dasar putusannya telah tepat dan benar.
Tidak berhenti sampai di situ, akhirnya mereka para tergugat mengajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sainem pribadi merasa keberatan dengan
putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, karena posisi Sainem sendiri
terhadap harta warisan tersebut merupakan salah satu ahli waris yang sah,
karena Sainem merupakan anak kandung satu-satunya. Atas pertimbangan ini Sainem
merasa bahwa tindakannya menjual sebagian tanah waris yang belum dibagi
tersebut adalah sah. Berbeda dengan Sardiman yang juga menjual sebagian tanah
waris tersebut, tindakan yang dia lakukan tersebut tidak mempunyai dasar hukum,
karena dia bukan merupakan ahli waris dari Cipto Darsono.
Dengan berbagai pertimbangan ulang,
maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh para
penggugat. Dan Mahkamah Agung memutuskan bahwa Wardi, Sri Mulyani dan Suroso
(pihak yang membeli tanah dari Sainem dan Sadirman) dinyatakan dihukum dengan
mengosongkan tanah yang sudah dibeli, dan Mbok Jembleh masih berhak menikmati
seluruh peninggalan harta peninggalan Cipto Darsono.[1]
Waris dalam Konsep Hukum Perdata
Konsep waris berikut ini merupakan
konsep yang diambil dari pasal-pasal KUH Perdata yang menjadi dasar analisis
kasus yang penulis angkat
Menurut K.U.H Perdata bahwa hukum
waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.[2]
Subekti mengatakan bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dalam hukum
waris juga berlaku suatu asas, bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka
seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli
warisnya. [3]
Dalam pasal 830 disebutkan bahwa
pewarisan hanya terjadi karena kematian.[4]
Jadi kematian orang yang meninggalkan harta merupakan syarat dari terjadinya
pewarisan. Dengan meninggalnya orang yang memiliki harta warisan, maka
beralihlah harta warisan itu kepada ahli waris
Adapun dalam kaitannya siapa yang
berhak menjadi ahli waris adalah sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang diatur dalam pasal 832 KUH Perdata, yaitu:
1. Para keluarga sedarah, baik sah
maupun luar kawin
2. Suami istri yang hidup terlama
ahli
waris karena hubungan darah telah ditegaskan dalam pasal 852 KUH Perdata. Ahli
waris karena karena hubungan darah ini yaitu anak atau sekalian keturunan
mereka, baik anak sah maupun luar kawin.
Menurut pasal 833 ayat I KUH Perdata
bahwa yang dapat diwariskan atau obyek kewarisan adalah segala barang yang
dimiliki si pewaris, segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris.[5]
Menurut pasal 834 BW menyebutkan
bahwa seorang ahli waris dapat menuntut apa saja yang termasuk harta
peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli
waris, si ahli waris boleh mengajukan gugatan baik untuk seluruhnya apabila ia
adalah ahli waris satu-satunya atau hanya sebagian apabila ada beberapa ahli
waris yang lain.[6]
Dalam pasal 839 disebutkan bahwa
orang yang dikecualikan dari pewarisan, wajib mengembalikan segala hasil dan
pendapatan yang telah dinikmati sejak warisan itu jatuh.[7]
Pasal 852 BW menyatakan tentang
warisan suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si suami atau istri
yang hidup terlama, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si
meninggal, maksudnya apabila perkawinan suami istri itu adalah untuk kedua kali
atau lebih, dan dari perkawinan yang dahulu ada anak-anak atau keturunannya,
maka si istri atau suami yang baru tidak akan mendapat bagian warisan yang
lebih besar dari pada bagian warisan yang akan diterima oleh anak dari hasil
perkawinan yang terdahulu. Dalam pasal ini juga disebutkan bahwa apabila
sejumlah harta warisan telah dihibahkan, maka bagian warisan ahli waris yang
ada harus dikurangi sejumlah harta yang dihibahkan.[8]
Analisis Kasus
Kasus waris merupakan kasus yang
seringkali muncul setelah pewaris meninggal. Kasus-kasus yang santer adalah
tentang perebutan harta waris antara ahli waris, sifat keserakahan mereka
muncul dengan keinginan untuk memiliki sebagian besar atau seluruh harta
warisan yang ditinggalkan.
Namun dalam kejadian ini, kasus
waris yang diangkat tidak sampai pada perebutan harta warisan, melainkan
penyalahgunaan harta warisan sebelum terlebih dahulu harta waris itu dibagi.
Kasus ini dapat memperoleh kepastian
hukum, karena dari kepastian hukum itu yang menentukan apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban khususnya yang terkait dengan kasus waris ini.
Kematian orang yang mempunyai harta
merupakan syarat terjadinya pewarisan, hal ini sesuai dengan pasal 830.
Sehingga Sejak Cipto Darsono meninggal dunia, maka terjadilah pewarisan yang
dalam hal ini orang yang berhak adalah Mbok Jembleh dan Sainem. Adapun Sukirman
tidak termasuk kedalam orang yang berhak menerima warisan yang ditinggalkan
Cipto Darsono, karena Sukirman merupakan anak adopsi atau anak angkat. Akan
tetap Cipto Darsono telah menunjukkan keadilannya sebagai seorang Ayah dengan
menghibahkan sejumlah bagian tanah pekarangan. Dan menurut pasal 832 BW telah
diatur tentang siapa saja yang berhak menerima harta warisan, dan anak adopsi
tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan Mbok Jembleh merupakan orang dalam
kategori suami istri yang hidup terlama, dan Sainem merupakan orang dalam
kategori keluarga sedarah, jadi keduanya dianggap berhak menerima harta warisan
dari Cipto Darsono.
Harta yang ditinggalkan Cipto
Darsono berupa tanah sawah merupakan obyek waris, hal ini sesuai dengan pasal
833 ayat I KUH Perdata. Dalam kenyatannya, harta warisan yang ditinggalkan oleh
Cipto Darsono tidak terbagi dan tidak dilakukan pembagian setelah Cipto Darsono
meninggal. Sainem yang merasa dirinya berhak atas seluruh harta peninggalan
Ayahnya, kemudian dia bersama Sardiman (keponakan Cipto Darsono) menjual tanah
warisan tersebut tanpa sepengetahuan Mbok Jembleh kepada Wardi, Sri Mulyani dan
Suroso. Sainem menjual tanah tanpa seizin Mbok Jembleh kemungkinan karena
Sainem berfikir bahwa Mbok Jembleh bukanlah Ibu kandungnya. Namun menurut pasal
832 Mbok Jembleh termasuk sebagai orang yang berhak mendapat warisan tersebut,
jadi meski Sainem juga berhak dan ingin menjual tanah tersebut, seharusnya dia
meminta izin atau seharusnya dimusyawarahkan dengan Mbok Jembleh.
Dari kronologi kasus di atas tidak
bisa diketahui dengan jelas bahwa, apa sebenarnya motif Sainem menjual tanah
tersebut?. Kalau memang Sainem menjual tanah tersebut untuk kepentingan
pribadi, maka jelas tindakan Sainem ini akan sangat merugikan Mbok Jembleh,
karena sejak Cipto Darsono masih hidup, tanah sawah itulah yang memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya.
Namun dalam kronologis juga
dituliskan bahwa setelah Sainem menjual tanah warisan tersebut, di sana sempat
terjadi musyawarah namun tetap tidak mampu menyelesaikan masalah. Maka dapat
disimpulkan bahwa Sainem menjual tanah itu untuk keperluan pribadi, padahal dia
sudah mendapatkan hibah tanah pekarangan sewaktu Ayahnya masih hidup.
Sukirman dalam hal ini meski bukan
termasuk sebagai orang yang berhak mendapatkan warisan, dia mewakili Mbok
Jembleh untuk menuntut hak yang seharusnya didapatkan oleh Mbok Jembleh kepada
Pengadilan Negeri. Yang dilakukan Sukirman ini dibenarkan dalam BW pasal 834
mengenai kebolehan ahli waris menuntut hak waris penuh apabila dia satu-satunya
ahli waris, dan menuntut sebagian apabila ada ahli waris lain. Ternyata putusan
sidang Pengadilan Negeri pun memihak kepada Mbok Jembleh, karena memang dapat
dipastikan bahwa Mbok Jembleh berhak menikmati harta warisan tersebut selama
Mbok Jembleh belum menikah lagi atau meninggal dunia. Ketika Sainem mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi pun hasilnya tetap sama seperti putusan pada
Pengadilan Negeri. Hal-hal yang perlu dijadikan pertimbangan adalah, apakah
tanah tersebut setelah ditinggal mati oleh Cipto Darsono masih dinikmati oleh
Mbok Jembleh? Dan apakah tanah tersebut masih atas nama Cipto Darsono?. Apabila
bisa dibuktikan bahwa sebelum dijual tanah tersebut masih atas nama Cipto
Darsono, maka tiga orang tergugat (yang membeli tanah dari Sainem dan Sardiman)
tidak dapat mempertahankan tanah yang dibeli dari Sainem dan Sardiman, walaupun
mereka dapat menunjukkan bukti pembelian tanah. Akan tetapi apabila diteliti
lebih lanjut, maka tergugat yang membeli tanah tersebut berhak mendapat
perlindungan hukum, karena ketika membeli tanah tersebut mereka terlepas dari
latar belakang tanah tersebut apakah mereka membeli dari pemilik tanah yang sah
atau tidak, apabila telah terjadi transaksi maka tanah itu adalah milik mereka.
Disamping itu tentang apa yang
dilakukan Sainem menjual tanah tersebut bisa dikatakan sah, karena Sainem
merupakan anak kandung satu-satunya Cipto Darsono. Dan juga berdasarkan pasal
852 BW, bahwa bagian istri yang hidup terlama tidak akan mendapatkan bagian
lebih besar dari pada anak kandung dari istri terdahulu. Di sini yang perlu
digaris bawahi adalah tanah yang dijual oleh Sainem bukan seluruh tanah, akan
tetapi hanya sebagian saja, dan sebagian yang lain dijual oleh Sardiman
(keponakan Cipto Darsono). Hanya saja kurang jelas bahwa apakah yang dijual
oleh Sainem adalah bagian yang lebih besar dari pada yang dijual oleh Sardiman?
Ataukah sama besarnya?.
Apabila dilihat dari pihak Sardiman,
posisi Sardiman sendiri adalah lemah. Dia tidak mempunyai dasar hukum untuk
menjual tanah warisan tersebut, karena Sardiman bukanlah ahli waris dari harta
peninggalan pamannya, sehingga ia tidak berhak menjual dan menguasai tanah
tersebut. Maka putusan yang paling tepat adalah seperti apa yang diputuskan
oleh Mahkamah Agung, juga sesuai dengan yang telah diatur dalam pasal 839 BW.
Sehingga dari keputusan ini memunculkan putusan bahwa, orang yang telah membeli
tanah dari Sardiman inilah yang harus dikembalikan, dan kemudian dikembalikan
kepada yang berhak, yaitu Mbok Jembleh.
Kesimpulan
Dalam penyelesaian masalah terkait
dengan waris di Indonesia mempunyai dua alternatif pilihan. Yang pertama
Pengadilan Negeri yang mempergunakan prinsip KUH Perdata atau hukum BW, dan
yang kedua adalah Pengadilan Agama yang menggunakan prinsip Hukum Waris Islam
yang dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam.
Hukum di Indonesia memberikan
kebebasan memilih Pengadilan mana diantara kedua badan Peradilan tersebut yang
akan dijadikan sebagai badan penyelesaian masalah kewarisan.
Sesuai dengan kronologi kasus di
atas, apabila ada ahli waris yang ingin memanfaatkan harta warisan sesuai dengan
kehendaknya, maka seharusnya para ahli waris segera mengurus pembagian harta
waris segera setelah si pemilik harta meninggal. Jika mereka ingin diselesaikan
secara agama maka pergi ke Pengadilan Agama, dan apabila ingin dilaksanakan
dengan KUH Perdata maka pergi ke Pengadilan Negeri.
Dan kasus di atas menunjukkan bahwa
para ahli waris memilih Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara waris.
Hanya saja yang disayangkan, kenapa sebelumnya tidak dilakukan pembagian
warisan agar bagian-bagian tersebut jelas, dan masing-masing ahli waris
mengetahui haknya masing-masing, agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari.
Kalaupun ada sengketa, maka akan dapat cepat diselesaikan karena pembagian
warisan telah dilaksanakan.
[1] Kronologi kasus ini dimbil dari Internet Hot Spot Matos,
tgl. 2 Januari 2008 dengan redaksi yang telah di revisi.
[4] Subekti, Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006). Hlm. 222
0 comments:
Post a Comment