Mudzakir Foundation

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Hukum Positif

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Hukum Islam

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tips/Trik

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Breaking News

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Belanja

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday 26 April 2014

al 'adatu muhakkamah ( اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ )



اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”

Al-‘aadah muhkamah secara bahasa al-‘aadah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah ( المعاودة) yang artinya berulang (التاكر ار).
Ibnu nuzaim mendifinisikan al-‘aadah dengan
عبارة عما يستقق ر في ا لنفو س من الا مو ر المتكررة المقبولة عند الطباع الساليمة
“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri,perkara yang berulang-ulang yang biasa diterima oleh tabi’at(perangai)yang sehat.”
Menurut al-Jurjani:
العادة ا استمر النفس عليه على حكم المعقول وعا دوا اليه مرة بعد اخرى
“Al-‘aadah ialah sesuatu(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.
Para ulama mengartikan  al-‘aadah dalam pengertian yang sama dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda,misalnya al-‘urf di definisikan dengan:
العرف هو ما تعارف عليه الناس واعتاده فى اقوالهم وافعالهم حتى طار ذالك مطردا غالبا
‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”
Menurut abdul wahab khalaf:
العرف هو ما تعارفه النس وسار عليه من قول او فعل اوترك ويسمى العادة وفى لسان الشرعيين لافرق بين العرف والعادة

“al-‘urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari:perkataan,perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.hal ini dinamakan pula dengan al-‘aadah.dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘aadah.
Dari memperhatikan ta’rif-ta’rif diatas, dan juga ta’rif  yang diberikan oleh ulama-ulama, dapat di fahami bahwa al-‘urf dan al-‘aadah adalah semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan.
Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang di kerjakan oleh manusia,sehingga melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabi’at yang sejahtera.
Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’.
Akan tetapi tidaklah termasuk dalam pengertian al-‘aadah dengan al-‘urf hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi,saling menipu ,dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.
Diantara perbuatan yang hukumnya oleh rosulullah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadist:
قدالنبي صلى الله وسلم المدينة وهم يسلفون فىالسمار السنة والسنتين فقال: من سلف في شمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم ( اخرجه البجارى عن ابن عباس
“ketika nabi SAW datang dimadinah,mereka (penduduk madinah) telah biasa member uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun.”
“maka nabi bersabda:barang siapa yang memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu.”
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,  sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
كل ما ورد بهالثرع مطلقا ولا ظا بط له فيه ولا فى اللغة يرجه فيه الى العرف
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”
Seperti yang berlaku dalam jual beli, yaitu al-ihya’, menghidupkan tanah yang mati dan at-ta’rif  ,pengumuman tentang barang yang ditemukan, dan lain-lainnya.
Hal itu perlu adanya pemahaman dan pelaksanaannya juga dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku dimana kesemuanya itu terjadi.

Dasar Hukum
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).

Macam-Macam Kaidah
1)       
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا

“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2)       

اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”

Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hokum.
 Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
3)       

العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”

Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ 
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”

Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.

4)       
المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”

Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.




5)       
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”

Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.

6)       

التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”

Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.

7)       

المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
 “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”

Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.

8)       

الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik. 



9)       

الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”

Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.




al masyaqqtu tajlibut taysir ( ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ )



ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ  ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
Arti dari qaidah ini adalah “suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan”. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memudharatkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukhallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan istilah rukhsah. Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun lawan dari kata ‘usyrun)

Dasar Hukum ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ  ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
Al-Qur’an (AL-Baqarah :185)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”
Hadis yang di terima Abu Hurairah (dalam HR. Bukhari):
الدّينُ يُسرٌ اَحَبُّ الدِّ ينُ اِلَى اللهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْعَةُ
Artinya :
Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah.”
Karakter Masyaqqah
Menurut Al-Suyuthi, karakter masyaqqah dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
1.      Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban, yakni masyaqqah yang sudah menjaid tabiat dasar dan konsekuensi logis dari pekerjaan yang dilakukan. Contoh rasa lelah ketika melakukan ibadah haji, rasa capek dan takut ketika melakuan perang.
2.      Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban, yakni masyaqqah dalam malakukan kewajiban yang seandainya tidak mendapat keringanan maka akan menyebabkan timbulnya akibat fatal yang justru akan membuat kewajiban itu menjadi terbengkalai.
Sedangkan menurut Prof. H. A. Djazuli dalam bukunya Kaidah-kaidah Fikih, terdapat tiga karakter masyaqqah:
1.      Al-Masyaqqah al-‘Azimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan.
2.      Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan dan apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan maka tidak ada kemudahan di situ.
3.      Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek pada waktu wukuf dan sebagainya. Dalam hal ini ibadah lebih diutamakan daripada masyaqqah yang ringan.
 Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
a)      Sedang dalam perjalanan (al-safar)
b)      Keadaan sakit (al-mardh)
c)      Terpaksa (al-ikrab)
d)     Lupa (al-nisyan)
e)      Ketidaktahuan (al-jahl)
f)       Kebolehan (umum al-balwa)
g)      Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh)


Cabang-Cabang ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ  ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
1)       
 اِذَاضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ وَاِذَااتَّسَعَ الأَمْرُضَاقَ
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas,  sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
Maksud : Kaidah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib al- taisir”, sebab Al-Masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula
2)       
 إِذَا تَعَذَرَ الأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الَبَدلِ
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada menggantinya”
Maksud : tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harga demikian juga dengan halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran. Dalam fiqh Siasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.
3)       
 مَا لَا يُمْكِنْ التَحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوعَنهُ
Apa  yang  tidak mungkin menjaganya (menghindarakannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.


4)       
 الُرخْصَ لَا تُنَاطُ بِالمَعَصِى

“Keringanan  itu  tidak  dikaitkan  dengan kemaksiatan”
Makasud : Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. 
Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha yang halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5)       
 إذا تُعَذَرَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلى المَجَازِ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”

Contohnya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia .

6)       
إذا تَعٍذَرَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”

Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

7)       
يُغْتَفَرُفِي الدَّ وَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الِّإبْتِدَاءِ
 “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”

Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.

8)       
يُغْتَفَرُ فِي الّإِبْتِدَاءِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الدَّ وَامِ

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”

Dhabith  ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. 
Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. 
Contoh lain: seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan tersebut.

9)       
يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِع مَا لَا يُغْتَفَرُفِي غَيْرِهَا

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”       

Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.


Tambahan
Menurut pendapat Syeikh ‘Izz al-Din bin Abd al-Salam al-Syafi’i, jenis keringanan atau rukhsah itu ada enam. Manakala menurut ulama mazhab Hanafi sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Nujaym, rukhsahitu ada tujuh jenis yaitu[16]:

a)      تخفيف إسقاط   - keringanan dengan menggugurkan kewajiban.
Contohnya :
Ø  Tidak wajib atau gugur shalat Jumaat karena ada halangan tertentu.
Ø  Digugurkan kewajiban sholat bagi wanota yang haidh dan nifas..
Ø  Digugurkan kewajipan haji dan umrah disebabkan keuzuran,atau wanita yang tidak mendapatkan mahram.
b)      تخفيف تنقيص   - keringanan dengan mengurangkan bebanan.
Contohnya :
Ø  Memendekkan atau qasar shalat zhuhur atau asar menjadi dua rakaat ketika dalam perjalanan.
c)      تخفيف إبدال   - keringanan dengan gantian atau penukaran.
Contohnya :
Ø  Diganti ibadah dengan ibadah, seperti mengganti wudhu dan mandi dengan bertayamum ketika tidak air atu tidak mampu untuk mamakainya, mengganti puasa diwaktu lain karena tidak mampu.
Ø  Menukarkan kedudukan shalat  bagi orang sakit yang tidak berdiri dengan  duduk atau baring atau isyarat.
Ø  Menukarkan bagi orang tua yang uzur yang tidak dapat berpuasa dengan membayar fidyah.
d)     تخفيف تقديم   - keringanan dengan mendahulukan.
Contohnya :
Ø  Menyegerakan membayar zakat sebelum waktu atau haulnya.
Ø  Sembahyang jama’ taqdim.
e)      تخفيف تاخير  - keringanan dengan mengakhirkan.
Contohnya :
Ø  Menangguhkan puasa Ramadhan kerana musafir,wanita haidh, wanita nifas.
Ø  Shalat dengan  jama’ ta’khir.
Ø  Menangguhkan shalat demi menyelamatkan orang mati lemas dan terbakar.
f)       تخفيف ترخيص اضطرار)  - keringanan mendapat rukhsah kerana terdesak atau terpaksa.
Contohnya :
Ø  Minum arak karena terlalu dahaga (haus) dan karena tidak ada air.
Ø  Diharuskan makan bangkai kerana terdesak, jika tidak melakukannya maka akan menyebabkan kematian.
g)      تخفيف تغيير  - keringanan mengubah atau menukar.
Contohnya :
Ø  Menukar dan mengubah kedudukan serta cara mendirikan shalat ketika dalam keadaan ketakutan dan menghadapi musuh.

  RUKHSAH SYAR’IYYAH

Menurut ulama’  ushul fiqh, rukhsah syar’iyyah didefinisikan sebagai hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah s.w.t dengan mengambil  uzdur untuk manusia. Manakala ulama’ dalam kalangan mazhab Syafie menta’rifkannya sebagai hukum yang menyanggahi dalil kerana keuzurannya. Ulama’ mazhab Syafie membagikan  rukhsah kepada lima bahagian :
a)            Rukhsah Wajib
Contohnya memakan bangkai ketika darurat, berbuka puasa kerana terlalu lapar dan dahaga yang  membawa kepada kebinasaan diri dan minum arak untuk melunakkan  makanan yang tersekat di kerongkongan ketika tiada minuman lain. Ia wajib dilakukan bagi menjaga kelangsungan hidupnya. Hal demikian berdasarkan firman Allah s.w.t:
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ -١٩٥-
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah Menyukai orang-orang yang berbuat baik.


b)            Rukhsah Sunnah
Contohnya seperti mengqasarkan shalat ketika perjalanan dan berbuka puasa kerana sakit atau dalam perjalanan (musafir). Berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w : “Ia merupakan sedekah yang disedekahkan oleh Allah kepada kamu, maka terimalah sedekahnya”.
c)            Rukhsah harus
Seperti akad jual salambai’ al-araya, akad sewaan dan sebagainya. Ia diharuska kerana keperluan.
d)           Rukhsah khilaf al-awla
Seperti melafazkan kekufuran ketika dipaksa dalam keadaan hati tetap beriman dan berbuka puasa ketika dalam perjalanan bagi orang yang  mengalami  kesulitan atau tidak mampu menyempurnakan puasanya. Berdasarkan firman Allah s.w.t :

“Puasa yang diwajibkan itu ialah beberapa hari yang tertentu; maka sesiapa di antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain; dan wajib atas orang-orang yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan sebagainya) membayar fidyah iaitu memberi makan orang miskin. Maka sesiapa yang dengan sukarela memberikan (bayaran fidyah) lebih dari yang ditentukan itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan (walaupun demikian) berpuasa itu lebih baik bagi kamu daripada memberi fidyah), kalau kamu mengetahui”.        

e)            Rukhsah makruh
Seperti mengqasar shalat dalam perjalanan yang memakan waktu kurang dari tiga hari tiga malam.
Namun begitu, ulama mazhab Hanafi membahagikan rukhsah kepada empat jenis yaitu:
Ø  Harus melakukan yang haram ketika darurat dan  suatau kebutuhan, seperti melafazkan kata-kata kufur ketika dipaksa dalam keadaan hati tetap beriman. Ini berdasarkan kepada firman Allah s.w.t :
“Sesiapa yang kufur kepada Allah sesudah ia beriman (maka baginya kemurkaan dan azab dari Allah), kecuali orang yang dipaksa (melakukan kufur) sedang hatinya tenang tenteram dengan iman”.
Juga seperti berbuka puasa pada bulan Ramadhan, memusnahkan harta orang lain ketika dipaksa atau sebagainya. Hukum rukhsah ini harus tetapi hanya dalam  paksaan untuk melakukan kekufuran, mereka berpendapat bahawa beramal dengan ̒azimah lebih utama.
Ø  Harus meninggalkan yang wajib, seperti harus berbuka puasa pada bulan Ramadhan kerana sakit atau musafir. Ini berdasarkan firman Allah s.w.t
Ø   “Maka  bagi siapa di antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain”.
Ø  Harus melakukan akad atau urusan yang diperlukan oleh manusia walaupun pada asalnya ia bertentangan dengan kaedah umum perundangan Islam, seperti akad jual salam dan akad istisna’(tempahan).
Ø  Menghapuskan hukum yang menyulitkan yang disyariatkan dalam syariat- syariat  terdahulu seperti bunuh diri untuk bertaubat dan mengoyakkan bahagian yang terkena najis pada pakaian. Rukhsah ini adalah majazi sahaja kerana pada hakikatnya hukum tersebut tidak terpakai lagi dalam syariat Nabi Muhammad s.a.w.

Manakala bagi Imam al-Syatibi pula, rukhsah itu sendiri harus secara mutlak, tidak ada rukhsah wajib atau sunat. Bagi beliau hukum  wajib makan bangkai ketika darurat, sebenarnya ̒azimah yang sabit untuk menjaga kehidupan. Ini berdasarkan firman Allah s.w.t:
Dan janganlah kamu sengaja mencampakkan diri kamu ke dalam bahaya kebinasaan”.

Firman Allah s.w.t  :
“ Dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri’’.           
Sebagian ulama’ berpendapat bahawa rukhsah hanya merangkumi perkara-perkara yang tidak dinaskan keharusannya. Tetapi jika ada nas secara qat’irukhsah tidak berbangkit walaupun ada masyaqqah. Pendapat ini masyhur dikalangan pengikut mazhab Hanafi.
Jika seseorang itu terus beramal mengikut hukum asal sedangkan adamasyaqqah yang mengharuskan rukhsah, apakah hukum perbuatan itu? Al- Zarkashi berpendapat  sah dan gugur kewajibannya jika masyaqqahitu tidak membawa kepada kebinasaan atau dharar  yang lebih besar.
Sebaliknya kalau ditakuti akan timbul dharar yang lebih besar atau boleh membawa kepada kemusnahan, mestilah diamalkan rukhsah. Kerana itu wajib berbuka puasa ketika sangat lapar. Sekiranya puasa diteruskan juga ia dikira maksiat (ingkar).
Menurut Imam al-Ghazali, puasa itu mungkin tidak sah kerana ia mengingkari rukhsah tersebut. Ia boleh disifatkan sebagai jenazah terhadap ruh yang menjadi hak Allah s.w.t. Bagaimanapun, kata beliau ini tidak bermakna ia satu maksiat.


Pengumumam Seleksi Administrasi CPNS 2017 (Update 6 September 2017)

Hasil seleksi administrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)  dan Mahkamah A...