ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ ﻻَ ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”
Kata
yakin (يقين) merupakan isim mashdar yang
berasal dari ,يقنا – ييقن – يقن yang
bermakna الأمر (jelas dan
pasti). اليَقِيْنُ secara bahasa
adalah kemantapan hati atas sesuatu,
adapun yang dimaksud dengan اليَقِيْنُ :
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan
adanya dalil”
atau keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’i (petunjuk
pasti).
Maksud yakin di sini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu
obyek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar
pengetahuan yang mantap atau persepsi yang kuat (zhan).
Sedangkan yang dimaksud ( syak )
ialah:
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي الصواب والخطإ
دون ترجيح أحدهما على الأخر
“Sesungguhnya pertentangan antara
tetap dan tidaknya, di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran
dan kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya”.
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini
terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan
dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Mengenai keragu-raguan
ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1. Keragu-raguan
yang berasal dari haram.
2. Keragu-raguan
yang berasal dari mubah.
3. Keragu-raguan
yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh
pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat
dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah
terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk
sesuatu yang terbebankan.
kondisi hati dalam 5 (lima) bagian sebagai berikut:[10]
a. Yaqin, yakni keteguhan hati yang bersandar
pada dalil qath’i (petunjuk pasti).
b. I’tiqad, yakni keteguhan hati yang tidak
bersandar pada dalil qath’i.
c. Zhan, yakni persepsi atau asumsi hati
terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih kuat.
Maksudnya, apabila salah satu dari dua hal ada yang dapat
diunggulkan berdasarkan dalil dan dalil tersebut bisa mengantarkan kepada
kemungkinan yang lain, maka disebut zhan (dugaan). Jika dugaan
adanya kemungkinan makna lain itu hilang, sehingga tidak ada interpretasi lain,
maka disebut zhan al-ghalib (dugaan kuat).
Zhan al-ghalib (dugaan
kuat) tingkatannya sama dengan al-yakin (yakin) dalam tasyri’(pembentukan
hukum). Dengan demikian, adanya zhan al-ghalib (dugaan
kuat) disini maka seseorang bisa terlepas atau terhindar dari
adanya keragu-raguan.
d. Syak, yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa
mengunggulkan salah satu diantara keduanya.
Adapun kata الشَكُّ secara
bahasa artinya adalah bimbang atau ragu-ragu.Maksudnya adalah apabila terjadi
sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan
salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak
dinamakan dengan الشَكُّ.
Dasar Hukum
Al-Quran (Yunus :36)
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ
شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka /
dugaan saja, sesungguhnya prasangka / dugaan tidak sedikit pun berguna
menyangkut kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan.”
Adapun maksud kata (
ظن ) pada ayat di atas, zhan berarti dugaan baik
yang sangat kuat sehingga mendekati keyakinan maupun yang rapuh. Namun, pada
umumnya ia digunakan untuk menggambarkan dugaan pembenaran yang melampaui
batas syak. Kata (شك ) syak (ragu)
menggambarkan persamaan antara sisi pembenaran dan penolakan. Harus di catat
bahwa sebagian besar hukum-hukum Islam berdasarkan zhan, yakni
dugaan yang melampaui batas syak (ragu). Sedikit sekali yang
bersifat qath’i atau pasti. Allah swt. mentoleransi
hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, walaupun dalam
batas “dugaan” yang memiliki dasar. Dengan demikian, ayat di atas secara tegas
menyatakan bahwa orang lebih banyak mengikuti dugaan dan mengingatkan orang
yang ikut-ikutan tanpa argumen yang jelas, sehingga diharapkan bisa menyadari
lemahnya kepercayaan yang dimiliki.
Hadis dari
Rasulullah Saw. berbunyi:
وَجَدَاَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيأً فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخرَجَ
مِنهُ اَمْ لَا فَلَا يَحرُجَنَّ مِنَ المَسْجِدِ حَتّى يَسْمَعُ صَوْتًا
اَويَجِدَ
رِيحًا
“Apabila seseorang
di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sanksi apakah
telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid
sehingga mendapatkan baunya”.
Cabang-Cabang
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ ﻻَ ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
1)
بَقَاءُمَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ الأَصْل
“
Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa asal atau pokok dari suatu perkara yang telah berada pada
kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama
tidak ada dalil, bukti atau argumen lain yang bisa mngubahnya. Namun,
sebagian ulama memaknai kaidah ini bahwa dasar atau tolak ukur dalam memutuskan
persoalan yang baru adalah berdasarkan pada keputusan yang telah lalu. Akan
tetapi, jika putusan hukum yang telah berlaku sebelumnya bertentangan dengan
kenyataan yang sekarang atau bertentangan dengan syariat maka hukum tersebut
tidak bisa diteruskan, tetapi harus diperbaharui dengan hukum hasil ijtihad
yang baru. Misalnya, Jika pasangan suami istri sudah lama mengarungi
bahtera rumah tangga. Kemudian istri mengklaim bahwa suaminya tidak memberikan
nafkah. Maka perkataan yang dibenarkan adalah klaim istri selama tidak ada
bukti dari suaminya. Dan sang istri juga diharuskan bersumpah.
2)
بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ الأَصْلُ
“ Hukum Asal itu bebas dari tanggungan”
Kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam
keadaan bebas, belum mempunyai tanggungan apapun, yang menandakan bahwa manusia
adalah makhluk yang suci tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa akibat
perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah sebagai konsekuensi
logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatn yang dilakukan.
Misalnya, Antara orang yang merusak dengan pemilik barang berselisih
tentang nilai barang yang dirusak. Maka yang dimenangkan adalah perkataan orang
yang merusak. Karena pada asalnya dia bebas dari tanggungan yang melebihi dari
nilai barang yang dirusak. contoh
lain :jika terjadi pertengkaran antara tertuduh dan penuduh , selama
penuduh tidak ada bukti yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh, karena pada
dasarnya ia bebas darisegala beban atau tanggung jawab.
3)
الأَصْلُ العَدَمُ
“Asal dari segala hokum adalah tidak adanya beban”
Maksud
kaidah adalah bahwa pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai belum melakukan
sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-benar wujud secara
nyata dan diyakini keberadaannya
misalnya
: terjadi perselisihan antara pembeli dengan penjual tentang barang yang cacat
yang sudah dibeli, maka kasus ini dimenangkan oleh penjual, karena waktu
pembeliannya barang itu masih baik belum ada cacatnya.
4)
الأَصْلُ فِى كُلِّ حَدِيْثٍ تُقَدِّرُهُ بِاَقْرَبِ الزَّمَانِ
“Asal dalam
setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat.”
Misalnya : seseorang wudhu
air sumur, kemudian ia shalat, setelah shalat ia melihat bangkai tikus dalam
air sumur itu, maka ia tidak wajib mengkhada shalatnya, kecuali dia yakin bahwa
shalatnya tidak sah karena berwudhu dengan air najis.
5) kaidah Imam Syafi’i
حَتَي يَدُ لَّ الدَّ لِيْلُ علي التَّحْرِيْمِ الأَصْلُ فِى الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ
“ Asal dari
sesuatu itu adalah kebolehan, sehingga terdapat bukti yang mengharamkan nya.
6) Kaidah Imam Hambali
الاِبَاحَةِ حَتَي يَدُ لَّ الدَّ لِيْلُ عليِ الأَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالتَّحْرِيْمُ
Maksud kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah
boleh. Namun, terkait dengan kaidah ini masih terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama Syafi’iyah menyatakan
bahwa hukum asal segala
sesuatu adalah halal, selama belum ada dalil yang mengharamkan (dalam hal Muamalah).
Sebaliknya, beberapa ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa hukum asal segala sesuatu adalah haram, selama tidak ada dalil
yang menghalalkan (dalam hal Ibadah). Dan
ada lagi segolongan ulama lainnya yang bersikap diam seputar masalah ini,
mereka tidak mengatakan haram atau halal. Dari ketiga
pendapat tersebut, tentu mereka memiliki argumen masing-masing baik berdasarkan
al-Qur’an dan hadits.
Misalnya : apabila ada
seorang menjual barang dan barang tersebut belum ada dalil yang mengharamkan
untuk menjual, maka barang tersebut boleh di jual. (Muamalah)
Misalnya : tidak diperbolehkan melakukan
kecuali ada perintah (jumlah rakaat shalat maghrib adalah 3 rakaat maka tidak
boleh ditambah dan juga tidak boleh dikurangi) (Ibadah )
7)
التَّحْرِيْمُ الأَصْلُ فِى الأِبْضَاءِ
“Hukum asal tentang seks adalah haram”.
Karena
itu, semua perbuatan yang
berhubungan dengan seks adalah haram, kecuali ada sebab yang memperbolehkannya,
misalnya dengan akad nikah atau milkul
yamin. Demikian seorang laki” tidak diperbolehkan nikah dengan wanita
yang belum jelas nasabnya, karena dikhawatirkan wanita itu masih termasuk
muhramnya. Umpamanya di
daerah H terdapat mahram laki-laki tetepi belum jelas siapa wanita tersebut,
maka berdasarkan dalam kampung H tersebut sebelum diketahui secara jelas siapa
wanita muhrimnya.
0 comments:
Post a Comment