Latar belakang
Syari’ah
merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat.
Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh dalam berbagai
situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini
kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya
merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang
melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh)
menjsutifikasi pluralotas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran
“langage games” yang berbeda.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang
ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya
ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab
permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath
(cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya
beranjak dari : a) al-Qur’an , b). al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman
Allah swt.
Berkaitan erat
dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik
Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya
mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau lengkapnya, al-qiyas
al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian
yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan
teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan
pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan
semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep
tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal
ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah).
Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak
dikalangan Mahasiswa yang masih belum memahami sumber hukum islam Qiyas. maka
penulis tertarik untuk membuat makalah tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata
kuliah Ushul Fiqih. Berikut akan Kami sampaikan secara garis besarnya saja.
Pembahasan
1. Pengertian Qiyas
2. Unsur-unsur
Qiyas
3. Qiyas Sebagai
Dalil Hukum Syara
4. Syarat-Syarat
Qiyas
5. Pembagian Qiyas
6. Tempat
Berlakunya Qiyas
7. Perbedaan Antara
Ijtihad Dengan Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Secara
etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan sesuatu
dengan semisalnya.[1]Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur
dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum
sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama
yang menyebaban hukumnya juga sama”.[2]Redaksi yang berbeda di jelaskan oleh
Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang disampaikan oleh ahli ushul
yakni:”qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan
hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa
ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.[3]
Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah hukum)
terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara
definisi-definisi tersebut yakni
1. Al-Gazali dalam
al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dan
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum’.
2. Qadhi Abu Bakar
memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan disetujui oleh
kebanyakan ulama, yaitu
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3. Abu Hasan
al-Bashri memberikan definisi:
“Menghasilkan (menetapkan)hokum ashal pada “furu” karena
keduanya sama dalam illat hokum menurut mujtahid”[4]. Dan masih banyak lagi
pendapat ulama lainnya.
B. Unsur-unsur Qiyas
Mengenai hakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun) pada
setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah atau
hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum. Ini
disebut“maqis alaihi” atau “ashal” atau “musyabah bihi”.
2. Suatu wadah atau
hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara. Ini
disebut“maqis”atau”furu”atau”musyabbah”.
3. Hukum yang
disebutkan sendiri pembuat hukum (syari) pada Ashal. Berdasarkan kesamaan ashal
itu dengan furu,dalam illatnya para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu .
ini disebut hukum ashal.
4. Illat hukum yang
terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu.[5]
C. Qiyas Sebagai
Dalil Hukum Syara
Dalam hal
penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad Abu Zahrah
membagi tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok jumhur
ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau Sunnahdan dalam ijma
ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampui
batas kewajaran.
2. Kelompok ulama
Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
Zhahiriyah juga menolak penemuan illat
atas suatu hukum Dan tidak menganggap perlu mengetahui tujuan ditetapkannya
suatu hukum syara.
3. Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi
keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah.[6]
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas
sebagai dalil syara adalah:
1. Dalil Al-Quran
a. Allah SWT
memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana terdapat dalam surat yasin ayat 78-79
Artinya:”Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa
kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang Telah hancur luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan
oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui
tentang segala makhluk.”
b. Allah menyuruh
menggunakan qiyas sebagaiman dipahami dari beberapa ayat al-Quran seperti dalam
surat al-Hasr ayat 2
c. Firman Allah
dalam surat an-Nisa ayat ayat 59
2. Dalil Sunnah
a. Hadis mengenai
percakapan Nabi dengan uadz Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi
penguasa disana.
b. Nabi member
petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara
dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.
3. Atsar Sahabat
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat
dalam penggunaan qiyas adalah;
a. Surat Umar ibn
Khatab kepada Abu Musa al-Asyari sewaktu diutus menjadi qadhi di yaman.
b. Para sahabat
Nabi banyak menetapkan pedapatnya berdasarkan qiyas. Misalnya contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat
menggangkat Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi.[7]
D. Syarat-Syarat
Qiyas
1. Maqis alaihi
(tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya
a). harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan
mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I atau syakhsi (lingkungan yang
sempit atau terbatas).
b). harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada
ashal maqis alaih itu.
2. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan
ashal)
a). illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan
illat yang terdapat pada ashal.
b). harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam
hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam
ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
c). Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
d). Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat
terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat
qiyas itu.
e). Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash
tertentu.
f). Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
3. Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah
maqis alaihi yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang
akan diberlakukan pada furu. Adapu yang menjadi syarat-syaratnya
a) Hukum ashal
itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum
syara pada furu.
b) Hukum ashal
itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
c) Hukum ashal
itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d) Hukum ashal itu
tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
e) Hukumashal itu
harus disepakati oleh ulama.
f) Dalil yang
menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
4. Illat adalah
sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a. Bentuk-bentuk
illat
1) Sifat hakiki,
yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa bergantung kepada
urf atau lainnya.
2) Sifat hissy,
yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati oleh alat indra.
3) Sifat urfi, yaitu
sifat yang tidak dapat diukur namun dapat dirasakan bersama.
4) Sifat lughawi,
yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa.
5) Sifat syar’i,
yaitu sifat yang keadaannya sebagai bentuk hukum syar’i dijadikan alasan untuk
menetapkan sesuatu hukum.
6) Sifat murakkab,
yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
b. Fungsi illat
1) Penyebab/penetap
yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap
adanya hukum, baik dengan nama mu’arif ,muassir, atau baits.
2) Penolak yaitu
illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tuidak
mencabut hukum itu seandainya ilat tersebut terdapat pada saat hukum tengah
beraku.
3) Pencabut, yaitu
illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila illat itu terjadi dalam masa
tersebut.
4) Penolak atau
pencegah, yakni illat yang hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya
suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.
c. Syarat-syarat
illat
1) Illat itu harus
mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan
sebagai kaitan hukum.
2) Illat itu adalah
suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3) Illat itu harus
dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak
tercampur dengan yang lainnya.
4) Harus ada
hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi
illat.
5) Illat itu harus
mempunyai daya rentang.
6) Tidak ada dalil
yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi illat.[8]
E. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai
berikut:
1. Pembagian qiyas
dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada ilat yang
terdapat pada ashal.
a) Qiyas awlawi,
yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum
pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
b) Qiyas musawi,
yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya dengan berlakunya
hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c) Qiyas adwan,
yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan
berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas
dari segi kejelasan illatnya
a) Qiyas jali,
yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan
hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik pembedaan
antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b) Qiyas khafi,
yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan
dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3. Pembagian qiyas
dari segi keserasian illatnya dengan hukum;
a) Qiyas muatsir,
yang diibaratkan dengan dua definisi
Pertama, qiyas
yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan nash yang syarih
atau ijma.
Kedua,qiyas yang
ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu
berpengaruh terhadap ain hukum.
b) Qiyas mulaim,
yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah
dalam bentuk munasib mulaim.
4. Pembagian qiyas
dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu
a) Qiyas ma’na atau
qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan
dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu
itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b) Qiyas illat,
yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong
bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c) Qiyas dilalah,
yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu sendiri
namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan
adanya illat.
5. Pembagian qiyas
dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu.
a) Qiyas ikhalah,
yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan
ikhalah.
b) Qiyas syabah,
yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c) Qiyas sabru,
yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa
taqsim.
d) Qiyas thard,
yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.[9]
F. Tempat Berlakunya
Qiyas
Sebagian ulama
diantara Imam Syafi’I berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syariah,
meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah
ditetapkan) dan hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila
syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya
tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum lainnya.
Ulama dari
golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud
(pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab ia termasuk batas yang telah
ditetapkan Allah yang tidak bisa diketahui illatnya oleh akal. Seperti seratus
cambukan bagi pezina. Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan
dengan kesyubhatan (ketidak jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat,
sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara dzanny bukan qat’i. Maka uqubat yang
telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’i. Adapun
soal uqubat yang tidak ditentukan bentuk pidananya, yang disebut dengan
“Ta’zir” maka qiyas dalam soal ini dapat berlaku. Demikian menurut kesepakatan
para ulama Fiqh.
Qiyas juga
tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti uqubat, maka
hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal
rukhsah, sebab ia merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas
padanya.
Begitu juga
qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak berlaku pada
pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan
pada ibadah yang sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu
yang akal tidak mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi hukum maupun
bagian-bagiannya, sehingga tidak boleh mensyariatkan sesuatu ibadah yang tidak
diizinkan Allah SWT.[10]
G. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas
Ijtihad
mengenai kejadia-kejadian baik yang ada nash, tetapi dzanni wurudnya dan
dalalahnya dan yang tak ada nash. Ijtihad yang ada nash dzanni, adalah untuk
menentukan apa yang harus kita pahami dan untuk mengetahui apakah itu ‘am atau
khas. Dan kalau dia ‘am apakah dia masih tetap ‘am atau mutlaq atau mukayyad.
Ijtihad terhadap yang tidak ada nash ialah menetapkan hukumnya dengan jalan
qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ataupun dengan dalil yang lain yang
dibenarkan syara.
Bidang qiyas
ialah kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi terdapat dalam syara,
sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya. Maka qiyas adalah sesuatu sumber
ijtihad, sedang ijtihad itu lebih umum dari pada qiyas. Dan kadang pula ijtihad
dengan qiyas dipandang sama. Diantara perbedaan-perbedaan ijtihad dengan qiyas
ialah qiyas yidak dapat berlaku dalam bidang ibadah, hudud dan kafarat,
sementara ijtihad dapat dilakukan disegala bidang.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas
adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk
menggali hukum syara dalam hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan
hukumnya secara jelas. Ada dua macam
cara penggunaan ra’yu yakni penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan
penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama
secara sederhana disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat
antara hukum dan sebab.
Hal-hal
atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan
kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak
dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya
dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat
diberlakukan kepada kasus lain tersebut.
Atas dasar
keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah,maka setiap muslim
meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum
dapat dilihat secara jelas dalam nash syara namun sebagian lain tidak jelas.
Dengan konsep mumatsalahperistiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan
hukumnya dengan yang ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan
penetapan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul
dengan qiyas (analogi)
B. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi
masukan dan sumberpengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari
salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat
membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Sulaiman,Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika,2004
As Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi,Pengantar Hukum
Islam,Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997
.......................................................................,Pengantar
Ilmu Fiqh,Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997
Departemen Agama RI,
Al-quran dan Terjemahannya Al Jumanatul
Ali, Bandung; Penerbit J-ART,2004
Hallaq,Wael B.,Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk
Ushul Fiqh Mazhab Sunni,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001
Syarifuddin,Amir,Ushul Fiqh I,Jakarta: Kencana,2009
Syukur,Syarmin,Sumber-Sumber Hukum Islam,Surabaya:
Al-Ikhlas,1993
[1] Amir Syarifuddin,Ushul
Fiqh,(Jakarta:Kencana,2008),hlm.158
[2] Teungku Muhammd Hasbi Ash Sidieqy,Pengantar Hukum
Islam,(Semarang;Pustaka Rizki Putera,2001),hlm.200
[3] Sulaiman Abdullah,Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya , (Jakarta:Siinar Grafika,2004),hlm.82
[4] Syarifuddin,Ushul…,hlm.158-159
[5] Ibid,.hlm.164
[6] Ibid.,hlm.164-167
[7] Ibid.,hlm.164-172
[8] Ibid,.hlm.180-193
[9] Ibid.,hlm.219-223, dan Ash
Sidieqy,Pengantar..,hlm.203-214
[10] Syarmin Syukur,Sumber-Sumber Hukum
Islam,(Surabaya:Al-Ikhlas,1993),hlm.167-168
[11] Teungku Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar Ilmu
Fiqh,(Semarang: Pustaka Rizki utra,1997),hlm.201-202
2 comments:
Syukron atas infonya...,akhi...
izin copy latar belakang
Post a Comment