BAB I
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Maqashid Syariah
a.
Secara
Bahasa
Kata syariat
berasal darai “syara’a as-syai” dengan arti; menjelaskan sesuatu. Atau ia
diambil dari “asy-syir’ah” dan “asy-syariah” dengan arti tempat sumber air yang
tidak pernah terputus dan orang yang datang kesana tidak memerlukan adanya alat.
Dalam “mufrodat
Al-Qur’an.” Ar-Raghib Al-Asfahani menulis bahwa “Asy-syar adalah jalan yang
jelas. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari
fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan,
al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu
adalah: ali’timad: berpegang teguh, al amma:
condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
b.
Secara
Istilah
Ibnu
al-Qayyim Al Jauziyah “Menegaskan
bahawa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan
maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan
hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin
syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia”.[1]
Al
Khadimi “Berpendapat
maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta”.
Dr.
Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah
makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian
besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di
balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas
syari’at, Allah dan Rasul-Nya).[2]
Syariat adalah[3]:
hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama. Atau hukum agama yang ditetapakan dan
diperintahkan oleh Allah. Maqashid syariah” adalah tujuan yang menjadi target
teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia.
Baik berupa perintah,larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan
umat.
Maksud-maksud
juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum.
Maqashid
al-syari’ah dalam arti Maqashid al-Syari’, mengandung empat aspek. Keempat
aspek itu adalah :
a.
Tujuan
awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
b.
Syariat
sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c.
Syariat
sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan
d.
Tujuan
syariat adalah membawa ke bawah naungan hukum.
Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang
disebut dengan istilah daruriyat tersebut di atas merupakan tujuan utama
yang harus dipelihara oleh hukum islam. Kepentingan-kepentingan yang harus
dipelihara itu adalah :
A.
Perlindungan
Terhadap Agama
Perlindungan agama ini merupakan tujuan pertama hukum Islam.
Sebabnya adalah karena agam merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama
Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap
Muslin serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang Muslim. Dari sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
yang diambil dari jalur Masruq dari Abdullah, bahwasanya Rosullah bersabda:
لا يحلّ دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّي رسول الله إلاّ
بإحدى ثلا ث النّفس باالنّس والثّيّب الزّاني والمارق من الدّين التّارك للجماعة
Tidaklah
halal darah seorang muslim yang bersksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga
hal; jiwa dengan jiwa(membunuh dihukum mati), orang yang telah menikah berzina,
dan orang yang murtad dari agama (islam) karena meninggalkan sholat jamaah.
Berdasarkkan
hadits diatas sudah sangat jelas sekali bahwasanya Allah melindungi orang-orang
yang berada dalam agamaNya. Jadi orang-orang yang berada dalam agama islam
haram baginya darahnya atau haram baginya untuk membunuhnya.
Dan dilain
pihak juga islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas agama
dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya manuju agama atau
madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah keyakinannya untuk masuk
islam.
Dasar hak ini
sesuai firman Allah
لا اكراه فى الدين قد تبيّن الرّشد من الغي
Tidak ada paksaan untuk (mamasuki)
agama (islam), sesunguhnya telah jelas yang benar daripada jalan yang sesat.(QS.Al-Baqarah(2): 256).
Mengenai tafsir
ayat ini Ibnu katsir mengungkapkan,” Janganlah kalian memaksa seseorang untuk
memasuki agama islam. Sesungguhnya dalil dan bukti akan hal itu sangat jelas
dan gamblang, bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama islam.”
Asbabun nuzul ayat
ini(sebagimana dikatakan para ulama ahli tafsir) menjelaskan kepada kita suatu
sisi mengagumkan agama ini( islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
menceritakan ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada
dirinya, bahwa bila dikarunia seorang anak, dia akan menjadikannya seorang
yahudi ( hal seperti ini dilakukan oleh wanita dari kaum ashar pada masa
jahiliah), lalu ketika ,umcul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan
dari kaum ashar. Maka bapak-bapak mereka berkata,” kami tidak akan menbiarkan
anak-anak kami; memeluk agama yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini.
Atas peristiwa
yang terjadi ini, Al-qur’an tetap menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi mata
hatinya, lalau orang itu akan masuk islam dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang hatinya dibutakan,
pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya
mareka masuk islam dalam keadaan dipaksa.
2.
Perlindungan
Terhadap Nyawa
Pemeliharaan
ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam wajib memelihara
hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum islam
melarang pembunuhan sebagai uoaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi
berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan
hidupnya. [4]
Pada tanggal 9
Dzulhijjah tahun 10H, Nabi SAW menuju kepadang arafah, di sana beliau
berkhutbah, yang intinya bahwa islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak
empat belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia
secara komprehensif dan mendalam. Islm
mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak
tersebut. Islam membentuk masyarakatnya
di atas fondasi dan dasar yag menguatkan dan memperkokoh hak-hak asasi manusia.
Hak pertama dan
paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak
hidup. Maka tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah
sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya
dengan sumber-sumber kerusakan/ kehancuran.
Alllah berfirman,
ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah
adalah maha penyayang kepadamu (QS.An-Nisa;29)
Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Abu
Hurairah, bahwasanya Rasullah bersabda:
من تردّ من جبل فقتل نفسه فهو
في نار جهنم يتردّ فيه خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن تحسى سما فسمه في يده يتحساه في نار جهنم خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن قتل نفسه
بحديدة فحديدته في يده يجأ بها في بطنه في نار جهنم خا لدا مخلدا فيها أبدا
Artinya : barang siapa yang menjatuhkan diri dari gunung, lalu
dia mati maka di neraka jahannam dia akan mejatuhkan diri dia kekal dan
dikekalkan di dalamnya. Dan barang siapa yang minum racun, lalu dia mati maka
dia akan menghirup racun tersebut di neraka jahannam dia kekakl dan dikekalkan
didalamnya. Dan barang siapa yang bunuh diri dengan menggunakan potongan besi
maka di neraka jahannam besi itu akan berada di tangannya lalu dia akan memukul
sendiri perutnya dengan besi tersebut dia kekal dan dikekalkan di dalamnya
selamanya.
Hal ini disebabkan
karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencanut ruh manusia.
Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan, dan dia sajalah yang mematikannya.
Dialah sang pencipta kehidupan dan kematian.
Syekh Muhammad
Mutawali Asy-Sya’rawi mengatakan :
Kita tidak menyaksiakan penciptaan makhluk, namun setiap hari kita
menyaksikan kematian, dan hal ini merupakan hal yang sudah kita ketahui
bersama. Merusak segala sesuatu berarti kebalikan dari menciptakannya. Maka
bagaimana manusia diperkenankan merusak sesuatu yang dibangun (diciptakan)
Allah? Dalam penjelasannya firman Allah pada surat Q.S Asy-syura 77-82 :
فا انهم عدو لي
الا رب العالمين ۩ الذي خلقني فهو يهدين ۩ والذي هو يطعمني و يسقين۩ واذا مرضت فهو يشفين ۩ والذي يميتني ثم يحيين ۩ والذي اطمع أن يغفر لي خطئتي يوم الدين
Artinya : karena sesunggunya apa yang kamu sembah itu adalah
musuh ku kecuali dan semesta alam ( Tuhan) yang telah mencipatkan aku, maka
dialah yang menunjuk aku dan Tuhan ku, yang dia memberi makan dan minum
kepadaku dan apabila aku sakit dialah yang menyembuhkan aku dan yang akan
mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) dan yang amat aku
inginkan akan mengampuni kesalahan ku pada hari kiamat (asyura)
Ada perbedaan
anatra pembunuhan dan kematian (biasa.wajar). pembunuhan tidaklah sama dengan
kematian, karena oembunuhan berarti merusak struktur tubuh yang menyebabkan
keluarnya ruh-ruh hanya akan berada dalam tubuh yang sehat dengan
spesifikasi-spesifiaksi khusus, karena itulah
Allah berfirman mengenai Rasulullah dalam Al-Qur;an terda[at pada surat
Al-Imran :144
وما محمد الا قد
خمت من قبله الرسول أفاءين مات أو قتل انقلبتم علي أعقبكم ومن ينقلب علي عقيبيه
فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشكرين
Muhahammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguhtelah berlalu sebelumnya bebarapa orang rasul. Apakah
jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad), barang siapa
yang berbalik ke belakangm maka ia tidak dapat mendatangkanmudarat kepada Allah
sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
adapun kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh, dengan struktur
tubuh dalam keadaan sehat, dan hanya Allah-lah yang mematikan. Sedang
pembunuhan dapat dilakukan manusia dengan menggunakan alat tajam atau dengan
tembakau peluru.
3.
Perlindungan
terhadap Akal
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan),
sinar hidayah, cahay matahari, dan media kebahagian manusia di dunia dan
akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah disampaikan, dengannya pula
manusia berhak pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna,
mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya. Allah swt berfirman dalam surat al- Isra’
:70 :
ولقد
كرمنا بني أدم وحملنهم في البر و البحر ورزقهم من الطيبت وفضلنهم علي كثير ممن
خلقنا تفضيلا
dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kmai lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Andai tanpa akal, manusia tidak berhak mendaptkan pemuliaan
yang bisa mengangkatnya menuju barisan para malaikat. Dengan akal, manusia naik
menuju alam para malaikat yang luhur. Karena itulah, akal poros pembenahan pada diri manusia.
Dengannya, manusia akan mendapatkan pahala dan berhak mendapat siksa. Balasan
di dunia dan di akhirat berdasarkan akal dan kekuatan pengetahuan. Nikmat dalam
diri manusia ini membukakannya cakrawala kehiduoan, dia bisa menapaki penjuru
bumi dan menyelam di bawah kedalamannya, serta menungganga udara. Sebagaiman
yang telah disabdkana oleh sabda Nabi Nabi Muhammad SAW : wahai manusia,
sesungguhnya setiap sesuatu memiliki anugerah, dan anugerah seseorag adalah
akalnya. Dan orang yang paling baik petunjuk dan pengetahuannya mengani
hujjah di antara kalian adalah orang yang paling mulia amalnya.
Melalui akalnya
manusia, manusia mendapatkan petunjuk menuju malrifat kepada Tuhan dan
Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan kesempurnaan
dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat,
membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka mereka
adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan
Allah kepada mereja, membawa kabar gembira untuk mereka dengan jani, dan
membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusia mengopersikan akal mereka,
mempelajari yang hala dan yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang
baik dan buruk.
Setiap kali
manusia mengoperasikan pikiran dan aklanya, menggunakan mata hati dan
perhatiannya, maka dia akan memperoleh rasa mana, merasakan kedamaian dan
ketenagan, dan masyarakat tempat dia hidup pun akan di dominasi oleh suasana
yang penuh dengan rasa sayang, cinta, dan ketengangan. Manusia pun merasakan
aman aras harta, jiwa, kehormatan, dan kemerdekaan mereka.
Akal dinamakan عقل (ikatan) karena ia bisa
mengikat dan mencegah pemilinya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan
kemungkaran. Dinamakan demikian, karen akal pun menyerupai ikatan unta; sebuah
ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu yang sudah tidak terjendali,
sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari.karena
itulah Amir bin Abdul Qais berkata :
اذا عقلك عقلك عما لا ينيغي فأنت عاقل
Jika akal mengikat mengikatmu dari sesuatu yang tidak sempurnam
amka anda adalah orang yang berakal.
Diriwayatkan juga dari Nsbi SAW :
العقل نوؤ غي قلب يفرق به بين الحق و البطل
Akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan antara
perkara yang haq dan perkara yang
bathil.
Orang yang memerhatikan
dengan mata hati dan cahaya iman, serta merenungkan dunia saat ini, juga
peristiwa dan perubahan yang terjadi, maka dia akan mrndapati bahwa mayoritas
umat yang maju dan berperadaban adalah mereka yang membuka medan kehidupan di
depan akal, lalu melepaskannya dari semua ikatanm membuka tutup dan
penghalangnya, menyingkarkan semua rintangan dan tembok, memcahkan dan
melepaskan tali serta batasan di depan kekuatan yang sangat besar, yakni dengan
perhatian, pikran, pembahasan, dan ilmu.
4.
Perlindungan
terhadap harta benda
harta merupakan
salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di aman manusia tidak akan bisa
terpisah darinya.
المال و البنون زينة الحيوة الدنيا
harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi : 46)
manusia
termotivasi untk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah
kenikmatan materi dan religi, dia todak boleh berdiri sebagai pengahalang antar
dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat,
yaitu harta yang dikumpulkannya dengan cara yang halal, diprgunakan untuk
hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan
masyarakat tempat dia hidup.
Cara menghasilkan
harta tersebut adalah dengan cara bekerja dan mewaris, maka seseorang tidak
boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, karena Allah berfirman
dalam surat An-Nisa’ : 29
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أمولكم بينكم با البطل الا أن تكون
تجارة عن ترض منكم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu.
Apabila seseorang
meminjamkan hartanya kepada orang lain dalam bentuk utang, maka ia bisa memilih
salah satu di antara tiga kemungkinan berikut :
·
Meminta
kembali hartanya tanpa tambahan.
·
Apabila
tidak bisa mendapatkannya maka dia harus bersabar dan tidak membebaninya dengan
melakukan tagihan.
·
Apabila
orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, dia dapat menyedahkan
pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau payah, karena
nikmat harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi, tidak untuk
bersikap antipati.
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut
:
Pertama, memliki hak untuk di jaga dari para musuhnya, baik dari tindak
pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik
dilakukan kaum muslimin atau nonmuslim ) dengan cara yang batil, seperti
merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada
unsur mubazir atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini
tidak dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi.
Dalam islam, harta
adalah harta Allah yang dititipkan-Nya pada alam sebagai anugerah ilahi, yang
diawasi dan ditundukkan-Nya untuk manusia seluruhnya. Dan pada kenyataannya, dengan harta, jalan
dapat disatukan, dan kedudukan yang manusia raih, serta pangkat yang mereka
dapatkan dari harta, yakni harta dan hak Allah seperti yang telah ditetapkan
islam adalh hak masyarakat, bukan hak kelompok, golongan, atau starata
tertentu. Ia adalah harta Allah yang yang ditunjuk-Nya sebagai khalifah adalah
manusia.
Melindungi dan
tidak menganiaya harta serta mengambilnya dengan cara yang batil :[5]
1.
Hukum
Risywah (suap) dalam islam
Risywah
adalah memperdagangkan dan mengeksploitasi tugas atau sebuah pekerjaan untuk
mrnghasilkan harta secara batil. Perbuatan ini adalah haram dan dilarang oleh
islam, karena hal ini termasuk perkara yang dilarang.
2.
Mencuri
Mencuri
adalah mengambil harta orang lain tanpa hak dan tanpa sepengetahuan atau
persetujuan pemiliknya.
3.
Riba
Riba
adalah kelebihan harta tanpa imbalan atau ganti yang disyariatkan, yang terjadi
dalam sebuah transaksi (akad) dan hal tersebut hukumnya haram.
5.
Perlindungan
terhadap Keturunan
Maksud ini Islam mensyariatkan larangan
perzinaan, munuduh zina, terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana
bagi setiap orang yang melakukannya.[6]
Agar kemurnian
darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini
tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi,
dan larangan berzina yang terdapat dalam surat al-isra’ : 32
ولا
تقربو الزني انه كان فحسة وساء سبيلا
Dan janganlah
kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk.
Hukum
kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus
diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan.
Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini di atur lebih
rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah
agar pemeliharaan dan kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.[7]
B.
Maqashid Syari'ah Modern Ibnu 'Asyur
(pakar Maqashid dari Tunis,Tunisia)
Kebangkitan maqashid modern ini ditandai dengan dicetaknya kitab al-Muwâfaqât untuk pertama kali di Tunisia tahun 1884 M. serta perkenalan Muhammad Abduh denganya ketika beliau ke Tunisia tepat pada tahun ia dicetak (1884 M.). Pada tahun 1909 M. kembali dicetak di Kazan, salah satu kota terbesar di Rusia, kemudian di Mesir pada tahun 1922 M. dengan ta’lîq (komentar) juz 1 dan 2 oleh Syekh Khudlari Husain Ali dan juz 3 dan 4 oleh Syekh Hasanain Makhluf. Dari Mesir kitab kemudian menyebar ke penjuru Jazirah Arabia. Kemudian, sederhananya, terjadilah dialektika intens antara ulama modern di berbagai penjuru dunia dengan al-Syathibi melalui al-Muwâfaqt-nya. Dari rentetan dialektis ini lahirlah fase baru, fase kebangkitan ilmu maqâshid al-syarî’ah di era moden.
Di Tunisia sendiri, tempat al-Muâfaqât pertama kali dicetak, sebagaimana menurut Ahmad Raisuni (tokoh maqashid kontemporer asal Maroko) pengaruh kitab ini cenderung lebih besar dan cepat hingga mampu menciptalah iklim yang penuh dengan perbincangan maqashid. Iklim yang sangat terpengaruhi oleh al-Muwâfaqât dan penuh perbincangan maqashid ini yang kemudian melahirkan tokoh maqashid modern Tunisia, Muhammad Thahir bin Asyur (w. 1973 M.) dengan masterpiece-nya maqashid al-syariah al-islamiyah.
Awal perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang cantik: Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik, tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an abad ke-20 M.
Berikiutnya ia kembali mengarang kitab kecil lain dengan perhatian terhadap maqashid lebih kuat daripada kitab yang pertama. Dianatara fasal dalam kitab tersebut adalah: Maqâshi al-Syarî’ah fî Tashrîf al-Anwâl dan Hal al-Waqfu Mashlahah aw Mafsadah. Kitab ini lahir sebagai respon sekaligus defensi dari serangan-serangan pihak kolonial di berbagai belahan Dunia Islam terhadap sistem ekonomi Islam, khususnya sistem wakaf. Dalam kitab ini muncul untuk pertama kali pemikiran maqashid khâshah (khusus) yang merupakan salah satu bentuk inovasi beliau. Maqashid khusus ini—perspektifnya-- tingkatanya diatas maqashid juz’iyyah (parsial) dan lebih luas dimensinnya, namun dibawah maqashid kulliyah (universal) dan lebih sempit dimensinya.
Kematangan pemikiran maqashid beliau adalah dalam masterpiece-nya yakni Maqashid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah yang dikarang di akhir tahun 30-an dan muncul kepermukaan (red: dicetak) pada awal tahun 40-an. Dalam kitab inilah banyak ditemukan pembaharuan maqashid Ibnu Asyur semisal seperti maqashid ‘âmah (umum), dsb.
Sebagaimana dikatakan sdr. Andre bahwa kitab ini lebih sebagai basis teoritisnya sedang aplikasinya lebih banyak beliau tuangkan dalam semisal tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr-nya. Diantara faktor kematangan pemikiran maqashid beliau adalah faktor kemesraannya dengan al-Muwâfaqât yakni karena kitab Maqashid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah ini dikarang disela-sela beliau sedang mengajarkan al-Muwåfaqât di Universitas Az-Zaituna Tunisia—ia merupakan ulama pertama yang mengajarkan al-Muwafaqât dan yang pertama mengajar maqashid jenjang Universitas. Dari proses mengajar inilah beliau banyak memberikan tambahan (red: pembaharuan) pemikiran maqashid.
C.
Definisi maqashid syariah menurut Ibnu Asyur
Sebelum masuk lebih jauh ke dalam makalah rekan Andre memaparkan seputar pendefinisian maqashid. Menurutnya, mayoritas ssarjana maqashid modern sepakat bahwa pendefinisiannya secara jelas dan komprehensif-protektif (jâmi’-mâni’) baru dilakukan di tangan sarjana maqashid modern, dan Ibnu Asyur adalah yang pertama mendefinisikannya. Ibnu Asyur membagi maqshid syari’ah menjadi dua: ‘âmah (umum) dan khâshah (khusus). Dan masing-masing memiliki definisinya.
Maqashid syariah amah:
المعا
ني والحكم الملحوظة للشارع في الجميع احوال
التشريع او معظمها بحيث لا تختص ملاحظتها بالكون في نوع خاص من احكام الشريعة
“Makna-makna dan hikmah-hikmah
yang diperhatikan Tuhan dalam semua ketentuan syariat, atau sebagian besarnya
sekira tak terkhusus dalam satu macam hukum syariat.”
Maqashid
al-syariah al-khasah
الكيفيات المقصودة للشارع لتحقيق
مقاصد الناس النافعة, او لحفظ مصالحهم العامة في تصرفاتهم الخاصة
“Hal-hal yang dikehendaki Tuhan
untuk merealisasikan tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk
memelihara kemaslahatan umum mereka dalam tindakan-tindakan mereka yang khusus”
D.
Sekilas pemikiran Maqashid Ibnu
Asyur
Menurut pemakalah, dengan porsi peninjauan lebih
banyak terhadap kitab Maqâshid al-Syari’ah al-Islâmiyyah Ibnu Asyur,
bahwa metode penulisan Ibnu Asyur dalam kitab Maqâshid al-Syarî‘ah
al-Islâmiyah adalah dengan mssssembagi pembahasan dalam tiga kerangka
besar.
Pertama, pembahasan mengenai penetapan tujuan syariat (itsbât al-maqâshid al-syarî’ah), kebutuhan seorang faqîh (pakar hukum fikih) untuk mengetahui maqashid, metode-metode penetapannya dan tingkatan-tingkatannya (thurûqu itsbâtihâ wa marâtibihâ); Kedua, membahas maqashid syari’ah ‘âmah (umum); ketiga, membahas maqashid syari’ah khâshah (khusus) dengan segala macam kontekstualisasinya dalam ranah fiqih muamalat (yurisprudensi transaksi ).
Pertama, pembahasan mengenai penetapan tujuan syariat (itsbât al-maqâshid al-syarî’ah), kebutuhan seorang faqîh (pakar hukum fikih) untuk mengetahui maqashid, metode-metode penetapannya dan tingkatan-tingkatannya (thurûqu itsbâtihâ wa marâtibihâ); Kedua, membahas maqashid syari’ah ‘âmah (umum); ketiga, membahas maqashid syari’ah khâshah (khusus) dengan segala macam kontekstualisasinya dalam ranah fiqih muamalat (yurisprudensi transaksi ).
Sebelum masuk pembahasan inti Ibnu Asyur menjelaskan bahwa seorang mujtahid sebelum merumuskan maqasid harus menguasai beberapa hal diantaranya: dapat memahami teks dengan baik menggunakan perangkat linguistik; meneliti dan melacak dalil-dalil lain yang sekiranya berpotensi terjadi pertentangan (ta‘arudl); mampu melakukan qiyas; sanggup berijtihad untuk menentukan hukum permasalahan khusus yang sama sekali belum ditemui sebelumnya (kontemporer), baik dikarenakan ketiadaan dalil maupun karena sulitnya melakukan qiyas; terakhir, barulah diperkenankan menerima teks apa adanya bilamana segala upaya untuk mengetahui ratio-legis dari permasalahan tersebut dirasa mentok, maupun oleh sebab sulitnya menyingkap maqashid (tujuan) dibalik pensyariatannya. Inilah yang disebut dengan “amrun ta‘abbudi”.Dr. Ismail Hasani dalam buku Nadhariyyah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Tahâhir bin ‘Âsyur mengemukakan konsep-konsep dasar yang menjadi basis atau titik tolak teori maqashid Ibnu Asyur. Ada tiga konsep yang membasisi teori maqashidnya: Pertama, al-fithrah yang beliau sebut sebagai al-khilqah, yakni “sistem yang diciptakan oleh Allah dalam setiap makhluk”, yang dengannya ia mampu melaksanakan titah syariat. Relasi al-fithrah nantinya dengan al-samahah (toleransi), al-musâwah (egaliter) dll. Kedua, al-Mashlahah (kemaslahatan), tercermin dalam jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid. Ketiga, al-ta’lîl atau konsep tentang ‘illah atau alasan suatu hukum, yang darinya bisa tersingkap tujuan syari’at. Pemikiran maqashid Ibnu Asyru terbangun diatas prinsip ini, bahwa merupakan keharusan menerima konsep ta’lil. Sederhananya, teori maqashid Ibnu Asyur “bertolak-pijak” dari ketiga konsep dasar tersebut.
Masih berdasar penelitian Dr. Ismail Hasani bahwa ada tiga perangkat prosedural yang menjadi basis konstruk pemikiran maqashid Ibnu Asyur kaitannya dengan penetapan maqashid, baik yang ‘âmah maupun yang khâshah.Tiga perangkat prosedural ini yang berikutnya menjadi tumpuan teorinnya yang diantaranya: maqashid adakalanya bersifat qath’i (definitif), dlanniy (asumtif) dan dlanniy tapi mendekati qath’iy; maqashid ‘âmah dan khâshah, dll. Ketiga perangkat tersebut adalah: al-maqâm, al-istiqrâ’ dan membedakan antara wasilah dan tujuan dalam aplikasi hukum fikih.
Yang dimaksud maqam sendiri adalah makna konteks. Ketika teks dipahami secara tekstual maka makna yang dipahami tersebut adalah makna teks, sedang makna konteks adalah makna yang dipahami dari makna teks tersebut dengan berbagai pertimbangan seperti lingustik, sosio-kultur, dll. Maqâm terbagi menjadi dua: maqâm al-maqâl (konteks bahasa) dan maqâm al-hâl (konteks sosio-kultur). Dalam upaya memahami maqashid syari’ah seseorang tak boleh terlepas dari kedua konteks tersebut. Artinya, penetapan maqashid yang terkandung dalam teks harus melalui pertimbangan sosial politik dan budaya dimana teks itu muncul dan kekinian serta mempertimbangkan konteks bahasanya dengan melibatkan ilmu ushul fiqih, balaghah (sastra), dan lingustik.
Kedua adalah istiqrâ’ al-ushliy atau penelitian
ikduftif perpektif ulama ushul fikih, bukan perpektif mantik Aristo. Yakni
penelitian terhadap sebagian untuk digeneralisir hukumnya secara umum.
Maksudnya, penetapan maqashid harus melalu peneletian induktif tersebut
terhadap teks-teks syari’at. Tidak harus keseluruhan namun cukup meneliti
sebagian. Dari sinilah pemikiran Ibnu Asyur tentang maqashid “definitif”,
“asumtif” dan “mendekati definitif” itu lahir. Yakni, “definitif”, “asumtif”,
“mendekati defitif” dan tidaknya tergantung komprehensif/kuat dan tidaknya
penelitian tersebut. Semakin komprehensif penelitiannya maka semakin definitif
pula maqashid yang dihasilkan. Begitu pun sebaliknya.
Berdasar istirâ’ inilah kemudian Ibnu Asyur mampu menelurkan maqashi umum al-Qur’an yang ada delapan dan maqashid khusus (kedelapan maqashid umum al-Qur’an dan maqashid khusus ini telah dihimpun oleh Dr. Ismail Hasani dalam kitabnya di atas).
Berdasar istirâ’ inilah kemudian Ibnu Asyur mampu menelurkan maqashi umum al-Qur’an yang ada delapan dan maqashid khusus (kedelapan maqashid umum al-Qur’an dan maqashid khusus ini telah dihimpun oleh Dr. Ismail Hasani dalam kitabnya di atas).
E.
Maqashid syariah menurut Jamaludin
Athiyyah
1.
Menjaga jiwa
Dalam menjaga jiwa disini Islam
melarang untuk membunuh jiwa manusia dan melenyapkan nyawa mereka serta merusak
mereka, merusak dan menghancurkannya.
Dari perkara tersebut terdapat
konsekuensi yang harus ditanggung karena tindakan melukai seseorang.
Diantaranya yang kita ketahui pembunuhan diketegorikn dalam tiga hal:
a.
Pembunuhan tersalah atau Khoto’
Hal ini adalah penganiayayan dengan
sebuah tindakan tanpa ada kesengajaan atau niat.
b.
Pembunuhan semi sengaja(syibhul
amdi)
Pembunuhan semi sengaja dalam fikih
islam sama dengan pemukulan yang menyebabkan kematian dalam fikih barat.
c.
Pembunuhan secara sengaja
Tindakan menganiayaya yang dilakukan
orang lain sehingga nyawanya hilang.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah diuraikan
konsep maqashid al-syariah menurut al-syatibi adalah tujuan-tujuan
disyariatkannya hukum oleh Allah SWT. Yang berintikan kemaslahatan umat manusia
di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Setiap persyariatan hukum oleh Allah mengandung maqashid (tujuan-tujuan) yakni
kemaslahatan bagi umat manusia. Yakni tujuan persyariatan hukum dalam rangka
mewujudkan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa, keturunan,
akal dan harta. Maqashid syariah
persyariatan hukum dalam upaya memberi kemudahan kepada manusia mewujudkan lima
unsur pokok tersebut.
Perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui
kitab kecilnya yang cantik: Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab
ini, dengan pemikiran maqashid, ia mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia
Islam yang tetap mempertahankan gaya tradisionalnya yang cenderung mengajarkan
hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik, tanpa menjelaskan alasan-alasan
dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-lebih kitab ini dikarang
pada tahun 20-an abad ke-20 M.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardawi,
Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Jakarta : Pustka Al-Kaustar. 2007
Zuhri,
Saifudin. Ushul fiqih akal sebagai sumber hukum Islam.. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. 2009
Ali,
Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 2005
Jauhar,
Ahmad Al-mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta : Amzah. 2009
Bakri,
Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
1996
1 comments:
Hehehehehe
Copas makalahnya. thanks :)
Good luck to you.
Post a Comment