BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu peristiwa
yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam memelihara kontinuitas
keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama manusia yang menjadi sebab
terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh karena itu, syariat Islam
sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang disebut al-ahwal
asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, talak,
mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah yang
menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan
dan menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan
tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta
kecintaan diantara suami dan isteri.
Nikah bisa dimanfaatkan untuk
membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, suami akan
berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara isteri
mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur penghasilan, dengan demikian
masyarakat akan menjadi benar keadaannya. Allah berfirman dalam surat al-rum
ayat 21.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “dan diantara
tanda-tanta kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu
sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di
antramu raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21)
Setiap akad pernikahan dari
berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah dapat menimbulkan
beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan akad yang agung dan
penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya akad nikah semata akan
menimbulkan beberapa pengaruh, diantaranya hak istri kepada suami. Dan
hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar.
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum
wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar
kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak
karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat
bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan
maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang
terdapat dalam akad pernikahan.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang dikemukakan diatas dapatdirumuskan rumusan masalah sebagai berikut
:
1. Pengertian
dan definisi mahar ?
2. Bagaimanakah hukum mahar prespektif islam dan hukum
positif ?
3. Bagaimanakah dasar
hukum mahar dalam Al-Qur’an dan hadits ?
4. Berapakah ukuran
mahar ?
5. Apa
sajakah benda yang bisa dijadikan mahar ?
6. Apasajakah macam-macam
mahar ?
7. Bagaimana
dengan mahar tunai dan kredit ?
8. Bagaimanakah kekuatan
dan pengaruh mahar ?
9. Bagaimana
hal-hal yang mempengaruhi mahar ?
10. Apa yang
menyebabkan kerusakan mahar ?
11. Apa Hikmah
disyariatkan mahar ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagaimana berikut :
1. Untuk
mengetahui pengertian dan definisi mahar.
2. Untuk
mengetahui hukum Mahar
prespektif Islam dan hukum positif.
3. Untuk
mengetahui hukum mahar dalam Al-Qur’an dan hadits.
4. Untuk
mengetahui ukuran mahar.
5. Untuk
mengetahui benda yang Bisa Dijadikan Mahar.
6. Untuk
mengetahui macam-macam mahar.
7. Untuk
mengetahui mahar tunai dan kredit.
8. Untuk
mengetahui bagaimana kekuatan dan pengaruh mahar.
9. Untuk
mengetahui hal-hal yang mempengaruhi mahar.
10. Untuk
mengetahui penyebabkan kerusakan mahar.
11. Untuk mengetahui
hikmah disyariatkan mahar.
1.4 Manfaat
Penulisan
1. Memberi
pengetahuan baru tentang mahar pernikahan.
2. Memberi
cakrawala baru pada pembaca perihal mahar pernikahan.
3. Memberi
pengetahuan baru kepada pembaca perihal mahar pernikahan.
4. Bagi
peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5. Bagi
pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian
lebih lanjut.
1.5 Metode
Penulisan
Dari pembuatan dan penulisan
makalah “Mahar Pernikahan” ini, penulis (kelompok) menggunakan metode studi
pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis
(makalah) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku
dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang
menarik pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Mahar
Pengertian mahar secara etimologi
berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah
pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati
calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada
calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.
Kemudian menegnai depinisi mahar
ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan mahar adalah pemberian
dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang,
uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[1]
Mahar dalam bahsa Arab Shadaq.
Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil
dari kata shidqin (benar) . dinamakan shadaq memberikan
arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau
maskawin. Pengertian menurut mahar syara’ adalah sesuatu pemberian yang wajib
sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti
menyusui dan ralat para saksi.
Mengikut Tafsiran Akta
Undang-Undang Keluarga Islam ( Wilayah Persekutuan ) 1984 menyatakan “
mas kahwin “ bererti pembayaran perkahwinan yang wajib dibayar di bawah
Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa perkahwinan diakadnikahkan,
sama ada berupa wang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan
atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’, dapat
dinilai dengan uang.
Pemberian mahar suami sebagai
lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu ianya mencerminkan kasih
sayang dan kesediaan suami hidup bersama isteri serta sanggup berkorban
demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan
seorang suami terhadap isteri.
2.2 Hukum Mahar prespektif Islam dan Hukum
Positif
Berkata
Syaikh Abu Syujak :
( فصل:ويستحب تسميت المهر
في النكاه,فإلن لم يسم صح العقد ووجب مهر المثل بثلاثة أشياء:أن يفرضه الحاكم
أويفرضه الزوجان أويدخل بها,فيجب مهر المثل )
“Disunnahkan menyebut maskawin
(mahar) dalam nikah. Jika mahar tidak disebutkan akad tetap sah dan wajiblah
maskawin yang seimbang (mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu kalau hakim
menentukan mahar misil, atau suami istri menentukannya, atau sudah bersetubuh
(dukhul) dengannya maka wajiblah mahar misil”.
وَآتُواْالنَّسَاءصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةً.
(النساء:٤)-
“Berilah perempuan yang
kamu kawini itu suatu pemberian (maskawin)”
Dari sunnah ialah sabda Nabi
s.a.w.:
إلتمس
ولو خاتم من حديد.
“Carilah walau hanya sebentuk
cincin dari besi (yakni untuk maskawin)”.
Disunnahkan hendaknya nikah itu
tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena mengikuti jejak Rasulullah
s.a.w., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan dengan sesuatu yang
disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih menjauhkan perselisihan
di belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini dalam kitab
‘Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh)’.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa
mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada
perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Karena mahar
merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun
nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Dalam
komplikasi Hukum Islam (KHI), permasalahan mahar terdapat dalam BAB V Pasal 30
sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal sebagai tersebut :
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak;
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam;
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada
calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya;
Pasal 33
1. Penyerahan
mahar dilakukan dengan tunai;
2. Apabila
calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik
untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya
menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
1. Kewajiban
menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan;
2. Kelalaian
menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan
batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih berutang
tidak mengurangi sahnya perkawinan;
Pasal 35
1) Suami
yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah.
2) Apabila
suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi
hak penuh istrinya.
3) Apabila
perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan
jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang
senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat
mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diselesaikan ke
Pengadilan Agama.
Pasal 38
1. Apabila
mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai
wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap
lunas.
2. Apabila
istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus mengganti dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantiannya belum diserahkan, mahar
masih belum dianggap masih belum dibayar.
2.3 Dasar
Hukum Mahar dalam Al-Qur’an dan Hadits
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar danhukumnya wajib. Suami,
istri,
dan para wali tidak mempunyaikekuasaan mepersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari Al-Quran adalah firman Allah
SWT:
وَءَاُتوا
االنِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamunikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS.
An-Nisa’:4)
Demikian juga firman Allah SWT:
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
Maka istri-istri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antaramereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengansempurna),
sebagai suatu kewajiban. (QS. An-Nisa’:24)
Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW:
عن
عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين, فقالت: نعم. فأجا زه (رواه احمد و
ابن ماجه والترمذى)
“Dari ‘Amir bin Robi’ah:
Sesungguhnya seorang perempuan dariBani Fazaroh kawin atas maskawin sepasang
sandal. Rasulullah SAW.
Lalu bertanya kepada perempuan tersebut:
Apakah engkauridho dengan maskawin sepasang sandal?
Perempuan tersebutmenjawab: Ya.
Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)
Juga sabda Rasulullah
SAW:
تَزَوَّجْ
وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”.(HR. Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit.
Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan
mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib.
Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan
kewajibannya.[2]
Ibnu Abbas mengisahkan,
لَمَّا
تَزَوَّجَ عَلِّي فَاطِمِةَ قال رسول الله صلى عليه وسلم: أَعْطِهَا شَيْئًا,
فقال: مَا عِنْدِيْ
مِن شَيءٍ, قال:
اَيْنَ دِرْعُكَ الحُطَمِيَّةُ؟ قال: هِيَ عِنْدِي, قال: فَأَعْطِهَا اِيَّاهُ.
Ketika Ali
ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, Rasulullah SAW
bersabda kepadanya, “Berilah ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab:
“Aku tidak memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW bertanya:
“Mana baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”,
maka Rasulullah SAW bersabda: “Berikan itu kepadanya”. (HR.
Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalil-dalil di
atas menunjukkan bahwa mahar merupakan salahsatu rukun pernikahan. Akan
tetapi mahar itu tidak harus disebutkandalam akad nikah.
Allah SWT berfirman,
لاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ
تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً....
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu
yang belum kamu sentuh (campuri)
atau belum kamu tentukanmaharnya….” (QS.
Al-Baqarah:236)
Ibnu Al-Jauzi berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa maharboleh tidak disebutkan dalam akad nikah”. Akan tetapi, demi menghindari
perbedaan pendapat dan pertikaian, mahar itu lebih baik disebutkan disaat
pelaksanaan akad nikah.[3]
Adapun ijma’ telah terjadi konsensus sejak masa kerasulan beliau sampai
sekarang atas disyariatkannya mahar dan wajib hukumnya. Kesepakatan ulama pada
mahar hukumnya wajib. Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab bercampur
intim, mereka berbeda pada dua pendapat. Pendapat yang lebih shahih adalah
sebab bercampur intim sesuai dengan lahirnya ayat.[4]
2.4
Ukuran Mahar
Fuqoha’ sepakat bahwa mahar tidak
memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran
mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai.
Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak
boleh melebihinya. Sebagaimana firman Allah :
مُّبِيناً
وَإِثْماً بُهْتَاناً أَتَأْخُذُونَهُ شَيْئاً مِنْهُ تَأْخُذُواْ
فَلاَ قِنطَاراً إِحْدَاهُنَّ وَآتَيْتُمْ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ
اسْتِبْدَالَ أَرَدتُّمُ وَإِنْ
غَلِيظاً
مِّيثَاقاً مِنكُم وَأَخَذْنَ بَعْضٍ
إِلَى بَعْضُكُمْ أَفْضَى وَقَدْ تَأْخُذُونَهُ
وَكَيْفَ
Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit
pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai
suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu.
Umar ra ketika hendak mencegah
manusia berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari 400 dirham dan
diceramahkan di hadapan manusia. Ia berkata: “Ingatlah, jngan berlebihan dalam
mahar wanita, sesungguhnya jika mereka terhormat di dunia atau takwa di sisi
Allah sungguh Rasulullah SAW orang yang paling utama di antara kalian.” Beliau
tidak memberikan mahar pada seorang wanita dari para istri beliau dan
putra-putri beliau lebih dari 12 uqiyah. Barangsiapa yang memberi mahar lebih
dari 400 dirham maka tambahan itu dimasukkan uang kas. Lantas ada seorang
wanita dari qurais berkata: “Bukan demikian hai Umar.” Sahut Umar: “Mengapa
tidak…” Wanita berkata:”Karena Allah berfirman: Sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yng banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun (QS. An-Nisa’
(4): 20).” Beliau berkata: “Allah maaf, Umar bersalah dan benar wanita ini.”
Selanjutnya beliau berkata: “Dulu aku mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk
mahar wanita, barangsiapa yang berkehendak berilah dari hartanya yang disukai.”
Sekalipun fuqoha’ sepakat bahwa
tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogianya tidak berlebihan,
khususnya di era sekarang. Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW
bersabda:
أَقَلُّهُنَّ مُهُوْرًا أَكْثَرُهُنَّ بَرَكَةً
Wanita
yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.
خَيْرُالصَّدَاقِ أَيْسَرُهُنَّ
Ulama
Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas
minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik
sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks Al-qur’an yang
menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan
banyak. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Dan berikanlah
maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang
penuh kerelaan.”(QS. An-Nisa’ (4): 4)
وَأُحِلَّ
لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ
Artinya: “Dan (diharamkan
juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan
(tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan
dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu
berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.” (QS.
An-Nisa’ (4): 24)
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan berilah mahar
mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ (4): 25)
Di antara sunnah, hadis yang
diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah
menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah bertanya:
رَظِيْتِ عَنْء نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟
فَقَالَتْ : نَعَم, فَأَجَازَهُ
Apakah kamu rela dari dirimu
dan hartamu dengan sepasang dua sandal ? Wanita itu menjawab: “Ya aku rela”
maka beliau memperbolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
لَوْأَنَّ رَجُلَا أَعْطَى امْرَأَةَ صَدَاقَا
مِلْءَيَدَيْهِ طَعَامًا كَانَتْ لَهُ حَلَا لاً
Jikalau bahwa seorang
laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk makanan sepenuh dua
tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa
apa saja yang bernilai material walaupun sedikit, sah dijadikan mahar. Demikian
pula hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada seseorang yang
ingin menikah:
أُنْظُرْ وَلَوْ خَاتَمَا مِنْ حَدِيْدٍ
Lihatlah walaupun sebuah
cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teks-teks hadis di atas
menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar, tetapi
segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi mahar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau
tiga dirham perak. Karena Abdurrahman bin ‘Auf menikah atas emas seberat biji
kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut
mereka. Artinya, harta seukuran itu mempunyai arti nilai dan kehormatan
berdasarkan dipotong tangan pencurinya dan tidak dipotong di bawah ukuran itu,
maka itulah batas ukuran minimal mahar.
Ibnu Syabramah berpendapat,
uluran minimal mahar adalah 5 dirham, Said bin Jubair berpendapat bahwa minimal
50 dirham sedangkan An-Nukhai berpendapat 40 dirham. Ukuran tersebut didasarkan
pada sebagian peristiwa kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut dan
dianalogikan dengan nisab pencurian menurut masing-masing mereka.
Menurut madzhab Hanafiyah, yang
diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan
kondisi ekonomi yang berlaku, yakni 25 Qursy. Dasar mereka adalah hadis yang
diriwayatkan Jabir dari Nabi SAW bersabda :
لاَمَهْرَأَقَلَّ مِنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمِ
Tidak
ada mahar yang lebih minim dari 10 dirham.
Pendapat yang kuat menurut kita adalah pendapat Imam Asy-Syafi’I dan Ahmad,
karena hadis yang disandarkan kepadanya yang paling shahih tentang hal tersebut
menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan yang disandarkan kepada yang lain
tidak shahih.
2.5 Benda
yang Layak Dijadikan Mahar
Fuqaha’ sepakat bahwa
harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas,
perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar
karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka
sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’
tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mereka berbedda pendapat tentang
jasa atau manfaat, apakah sah jika dijadikan mahar, seperti seseorang menikahi
seorang perempuan dengan mahar talak istrinya atau diajarkan Alquran. Dalam
contoh pertama, para ulama terjadi perbedaan. Ulama Syafi’iyah[6]bersam Ulama
Hanabilah dalam suatu riwayat berpendapat bahwa sah dengan mahar tersebut
karena bolehnya mengambil pengganti. Sedangkan dalam contoh kedua, Ulama
Syafi’iyah dan Imam Hazm memperbolehkannya berdasarkan hadis: Aku
nikahkan engkau padanya dengan mahar sesuatu yang ada bersam engkau dalam
Alquran.
Dalam hal ini Asy-Syairazi berpendapat, diperbolehkan mahar dengan sesuatu
yang bermanfaat seperti pengabdian, pengajaran Al-Qur’an, dan lain-lain dari
hal-hal yang brmanfaat dan diperbolehkan berdasarkan firman Allah SWT:
قَالَ
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي
ثَمَانِيَ حِجَجٍ
Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku
bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak
perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan
tahun (QS.
Al-Qashash(28): 27).
Dalam ayat di atas pengembalaan dijadikan mahar. Nabi juga pernah
menikahkan seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada peminangnya dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafal. Mahar tidak boleh sesuatu yang haram seperti
mengajarkan Taurat dan mengerjakan Al-Qur’an kepada wanita dzimmiyah (nonmuslimah
yang patuh bernegara di negara Islam), ia mempelajarinya bukan karena cinta
Islam.
Mahar tidak senantiasa berupa
uang atau barang. Dikalangan santri, pernah terjadi pernikahan dengan maskawin
berupa kesanggupan calon suami untuk memberi pelajaran terhadap calon istrinya
membaca kitab suci al-Quran sampai tamat, dikalangan para santri lebih dikenal
dengan istilah khatam al-Quran.
Syarat-syarat dan manfaat yang
boleh dijadikan mahar menurut para ahli fikih beragam, antara lain: menurut
ulama Syafi’iyah, manfaat yang dimaksud adalah sesuatu yang dijadikan mahar
tersebut mempunyai nilai dan bisa diserahterimakan baik secara konkrit maupun
syariat. Ulama Syafi’iyah menganggap tidak sah bagi orang yang mengajarkan satu
kata atau satu ayat pendek yang mudah, apalagi diajarkan kepada orang kafir
zimmi bukan dengan tujuan masuk Islam.
Berbeda lagi dengan ulama
Hanabilah, mereka berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud dalam mahar ini
adalah semua manfaat yang diketahui secara pasti serta dapat diambil
manfaatnya, karena manfaat disini dianggap sebagai imbalan dalam akad tukar
menukar.
Sedangkan Malikiyah memberikan
syarat bahwa, mahar berupa manfaat tersebut harus diketahui dan dari benda yang
baik. Dalam hal ini, ulama Malikiyah terbagi menjadi 3 pendapat yang berbeda,
yaitu :
Menurut pendapat ibnu Qasim tidak
boleh.
Imam Malik sendiri mengatakan
boleh tapi makruh.
Ashbagh dan Suhnun mereka
berpendapat bahwa mahar manfaat itu boleh tapi makruh.
Ulama yang keempat adalah ulama
Hanafiyah, ulama yang berpendapat bahwa manfaat yang akan dijadikan mahar harus
manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan,
menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.
Berdasarkan keterangan di atas,
syarat sah mahar adalah sebagai berikut.
1. Mahar
tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamr atau babi dan seterusnya.
2. Tidak
ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan
mahar, sperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau
sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan.
3. mahar dimiliki dengan pemikiran sempurna. Syarat
ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar
sesuatu yang dibeli dan belum diterima, pemilikan seperti ini pemilikan yang
kurang atau tidak sempurna, tidak sah dijadikan mahar.
4. mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini
mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di
awang-awang atau ikan di laut. Tidak sah hal tersebut dijadikan mahar.[7]
2.6 Macam-macam
Mahar
Adapun mengenai macam-macam
mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
A. Mahar
yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya
mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun
setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa
menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan
kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar. Ulama fikih bersepakat
bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
1. Apabila
telah senggama
2. Apabila
salah satu dari suami / istri meninggal dunia
Mahar tersembunyi dan mahar
terbuka
Ada macam mahar yang disepakati
oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan pada saat akad berbeda
dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun jenisnya. Pada
saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua mahar; pertama,pertama
mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang
disebutkan mahar tersembunyi. Kedua, mahar terubuka yang
diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak. Mana mahar yang wajib bagi
istri dalam kondisi seperti ini, apakah mahar tersembunyi atau mahar terbuka?
Ulama syafi’iyah berpendapat
bahwa mahar yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, karena akad inilah
mahar menjadi wajib. Yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, baik
sedikit maupun banyak. Jikalau mahar tersembunyi 1.000 dan mahar
yangdiumumkan 2.000, kemudian mereka mengumumkan saat akad bahwa mahar
2.000maka itulah mahar yang wajib. Apabila mengumumkan bahwa mahar 1.000,
maka mahar yang wajib bagi istri adalah 1.000.[8]
Ulama Malikiyah berpendapat, jika
kedua belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi dan dalam pengumuman
berbeda dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang disepakiti kedua
belah pihak yang tersembunyi tersebut. Yang tersembunyi itu inilah yang
wajib diberikan kepada istri dan yang disepakati dalam pengumuman tidak
diberlakukan.
Ulama Hanabillah memisahkan pada dua
kondisi, yaitu:
1. Jika
kedua belah pihak mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, kemudian
mengadakan akad lagi secara terbuka dan diumumkkan mahar yang berbeda dengan
mahar akad yang pertama. Dalam hokum kondisi seperti ini mahar yang
diambil adalah mahar yang yang lebih banyak dari keduanya dan inilah yang wajib
diberikan kepada istri.
2. Jika
kedua belah pihak bersepakatan pada mahar sebelum akad kemudian mereka
mengadakan akad setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang
disepakati. Karena penyebutan yang benar pada akad yang benar pula, mahar
yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan tidak usah
memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad seolah-olah tidak ada.
Menurut Ulama Hanafiyah, mahar
tersembunyi dan terbuka ini dibagi dlam dua kondisi:
1. Jika
kedua belah pihak ketika akad tidak mengatakan bahwa mahar dari mereka 1.000
karena ingin popular (sum’ah), mahar dalam kondisi ini adalah apa yang
disebutkan secara terbuka yaitu 2.000
2. Jika
kedua belah pihak mengatakan dalam akad 1.000 dari 2.000 karena mereka yang
secara sembunyi yakni 1.000 junaih. Ini lahirnya riwayat Abu Hanifah, yakni
pendapat dua sahabatnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah juga bahwa mahar
adalah yang diumumkan oleh mereka dalam akad, yaitu 2.000 junaih.
B. Mahar
yang Sepadan (Mitsil)
Maksud mahar mitsil adalah mahar
yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad,
ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari
keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
tunggal bapak, dan seterusnya.
Menurut ulama Syafi’iyah yang
dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah dengan melihat beberapa
wanita keluarga ashabah(sekandung atau dari bapak) perempuan untuk
mencari persamaan ukuran mahar. Yang perlu diperhatikan terhadap
wanita-wanita keluarga ashabahperempuan ketika mencari ukuran mahar
mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu
sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya. Artinya, jika saudara
perempuannya yang sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengna mahar 1.000
rupiah, maka mahar perempuan tersebut juga 1.000. jika tidak memiliki
saudara perempuan sekandung atau belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak
diketahui maharnya, mka dilihat dari saudara perempuannya tunggal bapak, putri
saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak, kemudian saudara
ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan
kandung yang satu lagi saudara perempuan bapak.
Jika tidak ditemukan
wanita-wanita ashabah perempuan di atas dalam arti tidak ada
sama sekali atau ada tetap ibelum menikah atau sudah menikah tetapi tidak
diketahui maharnya, pindah kepada wanita-wanitaarham(keluarga ibu) dari
perempuan tersebut secara tertib, yaitu ibu, nenek, bibi, putri saudara
perempuan, putri bibi. Kita tidak pindah ke satu wanita dari mereka kecuali
sebelumnya dihukumi tidak ada, atau belum nikah atau sudah nikah tetapi tidak
diketahui maharnya.
Jika tidak ditemukan wanita
keluarga arham (dari ibu) atau ada, tetapi belum menikah atau sudah menikah
tetapi tidak diketahui maharnya. Maka mahar wanita tersebut disamakan
mahar wanita-wanita yang setara dengannya. Akan tetapi lebih didahulukan
wanita-wanita dalam negerinya atau negeri-negeri didekatnya.
Pertimbangan persamaan antara dua
wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan dalam usia, kecerdasan(IQ),
kecantikan, kekayaan, kejelasan berbicara, keperawanan, karena nahar akan
berbeda sebab perbedaan sifat-sifat tersebut.
Demikian juga yang harus dipertimbangkan
adalah kondosi suami ketika menentukan ukuran mahar mitsil. Kondisi
suami seperti kaya, berilmu, memelihara haram, dan sejenisnya. Jikalau
didapatkan wanita keluarga ashabah istri yang sama
sifat-sifatnya dan kondisi suaminya juga sama, maka maharnya sama dengan wanita
tersebut. Jika tidak sama, maka tidak disamakan.
Beberapa Kondisi Wajib Mahar
Mitsil
Penulis Syarah At-Tahir telah
meringkas kondisi wajib mahar mitsildengan perkataannya;
wajib mahar mitsil pada lima tempat, yaitu: dalam nikah,
bersenggama, Khulu’, meralat dari persaksian, dan persusuan. Dalam
mbeberapa kondisi ini mahar mitsil wajib dibayar dank an kami
bahas secara perinci.
Kondisi pertama, akad
nikah sah jika memenuhi syarat dan rukunnya. Jika seorang wanita berkata
kepada walinya; “nikahkan aku tanpa mahar” kemudian wali
menikahkannya tanpa mahar atau menikahkanya tanpa menyebutkan mahar dalam akad
atau wali menikahkannya dengan mahar kurang dari mahar mitsil atau
dengan uang yang bukan dari negaranya atau ia menyebutkan mahar tertentu
kemudian rusak di tangan suami sebelum diserahterimakan, atau kedua belah pihak
mempersyaratkan syarat yang rusak seperti khamr.
Dalam bebagai contoh
diatas, mahar mitsil wajib diberikan jika telah terjadi
percampuran suami atau meninggal salah satunya. Jika suami belum
bercampur atau belum meninggal salah satunya maka wanita berhak menuntut mahar
sebelum berhubungan, berhak menahan dirinya sehingga dibayar maharnya dan tidak
ada kewajiban suatu sebab akad semata. Sesungguhnya ia wajib hanya karena
salah satu dari tiga hal, yaitu kerelaan wanita atau kewajiban dari pengadilan
atau meninggal salah satunya. Karena jika wajib sebab akad, ia mengambil
separuh mahar sebab talak sebelum bercampur seperti mahar yang
disebutkan. Al-Qur’an menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bersenang
(mut’ah), sebab dalam akad mempunyai tuntutan agar dibayar maharnya.
Kondisi kedua, wajib mahar
mitsil sebab bercampur syubhat. Misalnya seorang laki-laki
mendapati seorang wanita lain yang tidur ditempat istrinya, kemudian ia menduga
wanita lain itu adalah istrinya sampai ia mencampurinya, setelah itu ia
menyadari itu adalah bukan istrinya. Atau seorang wanita pindah ketempat
istri, suami menduga istrinya kemudian ia mencampurinya, dan ternyata itu bukan
istrinya. Dalam kondisi ini wajib dibayar mahar mitsil tanpa
member keperawanan jika ia perawan, jika ia janda ia diberi mahar sebagai janda
dan tidak wajib hukuman. Demikian pernikahan yang rusak (fasid), nmisalnya
seseorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi kemudian ia
mencampurinya. Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari akad karena
tidak ada pengahargaan bagi akad yagn rusak.
Sebagai sabda Nabi SAW:
ايما
امراة انكحت نفسِها بغير اذن وليها فنكاحها باطل، فان دخل فلها مهر مثلها
Wanita mana saja yang
menikahkan dirinya tanpa seizing walinya, nikahnya batal, jika ia mencampurinya
maka baginya mahar mitsil.
Kondisi ketiga, wajib mahar
mitsil sebab khulu’. Misalnya, jika seorang wanita
budak khulu’(mengajukan talak kepada suami dengan hadiah) tanpa seizing
tuannya degan memberikan suatu benda, baik milik tuanna atau orang lain. Dalam
kondisi ini, suami berhakmahar mitsil-nya yang dianalogikan dengan khulu’.
Kondisi keempat, wajib mahar
mitsil karena persusuan. Misalnya, jika seorang laki-laki berakad nikah
dengan wanita yang masih bayi seusia persusuan dan memilki istri lain yang
sudah dewasa. Istri dewasa menyusui istri yang masih bayi tanpa seizing
suami sampai lima kali susuan. Bayi tersebut menjadi anaknya suami dalam
persusuan dan haram atasnya, karena akad anak wanita mengharamkan ibunya, ia
menjadi ibu bagi istri yang bayi. Dengan demikian, istri yang masih bayi
mendapatkan separuh mahar yang disebutkan jika penyebutannya benar karena
berpisah sebelum bercampur dan jika penyebutannya rusak, ia mendapatkan separuhmahar
mitsil. Istri dewasa membayar separuh mahar mitsil kepada
suami secara mutlaq, baik penyebutan mahar itu benar maupun rusak, karena ia
meluputkan suami dari kehalalan seks istri yang masih bayi.
Kondisi kelima,wajib mahar
mitsil karena persaksian. Misalnya jika dua orang saksi
laki-laki bersaksi kepada orang lain bahwa suami menalak istri nya dengan
talak ba’in dan talak raj’I dan tidak kembali
sampai masa iddah-nya. Pengadilan mengeluarkan keputusan
memisahkan mereka berdasarkan saksi tersebut. Setelah itu dua orang
saksinya meralat persaksiaannya dan berkata: “sesungguhnya apa yang kami
persaksikan tidak benar”. Dalam kondisi ini dua orang saksi wajib
membayar mahar mitsil kepada suami, karena merekalah yang
meluputkan suami dari kehalalan seks atas istrinya.
2.7
Mahar Tunai dan Kredit
Dalam fiqh Islam mahar dipandang
sebagai hak yang wajib diberikan kepada istri, hanya suami tidak harus segera
menyerahkan mahar istrinya pada saat suksesnya akad pernikahan. Akan
tetapi, boleh menurut kesepakatan, apakah tunai seluruhnya atau diutangkan
seluruhnya atau dibayar sebagian dan utang sebagian (kredit). Baik
penangguhan itu dalam tempo yang dekat atau tempo yang lama, baik penangguhan
itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari dua masa, yaitu meninggal
atau talak, atau dikredit bulanan atau tahunan, semuanya bergantung pada
kesepakatan. Jika mahar disebutkan secara muthlaq dan kedua belah
pihak tidak ada kesepakatan tunai, kredit atau utang, keputusanna kembali
kepada Urf’ pernikahan negeri di itu.
Diantara kaidah yang ditetapkan
“Bahwa sesuatu yang dikenal secra uruf seperti yang dipersyaratkan dengan suatu
syarat”. Urfmahar di sebagian daerah di Mesir, tunai separuh dan di
utangkan separuh sampai waktu trdekat di antara dua masa (meninggal dan talak).
Sebagian berpendapat bahwa asalnya mahar dibayar tunai, jika tidak menyebutkan
sesuatu berarti seluruhnya tunai atau kontan diserahkan. Mengetahui pembayaran
mahar itu tunai mempunyai dampak bahwa istri mempunyai hak mencegah penyerahan
dirinya kepada suami sehingga mahar segera dibayar seluruhnya. Jika mahar
diutangkan, suami tidak ada hak mencegah karena kehalalan tempo sebelum
penyerahan dirinya, istri tidak memiliki hak mencegah.[9]
2.8
Kekuatan dan Pengaruh Mahar
Maksud kekuatan mahar adalah
hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh pengguguran dan
pengurangan. Ulama fiqh sepakat bahwa mahar menjadi kuat posisinya dengan salah
satu dari tiga perkara berikut.
1. bercampur.
maksud bercampur adalah benar-benar bercampur. Artinya, terjadi hubungan
seksual antara suami dan istrinya dengan memasukkan alat seks suami (dzakar)
atau hanya sebatas perkiraan bagi yang kehilangan alatnya ke dalam vagina atau
jalan belakang milik istri.[10] Dengan
demikian, istri telah melaksanakan kewajiban terhadap suaminya dengan
menyerahkan dirinya dan suami telah memenuhi haknya, yaitu dengan bercanpur.
Hak istri menjadi kuat dalam menerima mahar secara sempurna, baik percampuran
terjadi pada saat bersuci atau ditengah-tengah menstruasi dan atau
ditengah-tengah ihramnya istri. Jika bercampur syubhat mewajibkan mahar maka
bercampur dalam pernikahan lebih utama kekuatannya, percampurannya tidak disyaratkan
berkali-kali tetapi sudah kuat dengan sekali bercampur. Bercampur yang
benar-benar memperkuat mahar, baik mahar mitsil atau mahar
yang disebutkan, baik baik disebutkan waktu akad atau setelahnya.
Jika keperawanannya dihilangkan
dengan jari-jari tidak akan memperkuat mahar. Asy-Syairazi berkata: “Mahar
menjadi kuat sebab bercampur pada faraj (vagina) wanita”
sebagaimana firman Allah SWT. :
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم
مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Bagaimana kamu akan kembali,
padahal sebagian kamutelah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami
istri. Dan mereka (suami-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat”. (QS. An-Nisa’ (4): 21)
2. salah
satu dari pasangan suami istri meninggal dunia. Jika salah satu dari pasangan
suami istri meninggal dunia sebelum bercampur, posisi mahar tetap kuat. Istri
atau warisnyatetap berhak menerimanya, baik meninggalnya wajar atau dibunuh
suami atau dibinuh orang lain dan atau bunuh diri berdasarkan ijma’ para
sahabat. Nikah tidak batal sebab kematian berdasarkan adanya hubungan waris.
Kematian hanya akhir pernikahan dan akhir akad adalah terpenuhinya apa yang
diakadkan.[11]
Jika istri membunuh suami, mahar
gugur seluruhnya dan ia tidak berhak sesuatu apapun. Karena ia terhalang
sebagai ahli waris apalagi mahar. Pembunuhan itu kriminal dan kriminal tidak
dapat memperkuat mahar, bahkan melenyapkannya. Al-Khathib Asy-Syarbini
berkata:”Jika wanita membunuh suaminya sebelum bercampur, mahar tidak
berlebihan”.
Jika istri membunuh dirinya,
mahar tidak bias gugur tetapi diberikan kepada ahli warisnya. Demikian menurut
ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah kecuali Imam Zufar
menurutnya, sebab dalam kondisi ini mahar menjadi gugur.
3. Bersunyian
yang sah. Maksudnya suami dan istri sebelum bercampurbersunyian di satu tempat
yang aman dari penglihatan orang dan tidak ada seorang pun yang masuk, kedua
pasang suami istri dapat melihat rahasia berdua dan tidak ada yang mencegah
persanggamaan pada istri, baik secara hakiki, syar’I dan alami. Kemudian dating
suatu pertanyaan, apakah dapat memperkuat mahar dengan bersunyian yang sah ?
Jawabnya, fuqaha’ dalam
hal ini berbeda menjadi dua. Pendapat :
Pertama, bersunyian
belaka tanpa bergaul intim tidak dapat memperkuat mahar bagi istri, ia hanya
mendapatkan separuh mahar yang wajib diberikan sebab akad dan tidak ada
pengaruh bersunyian dalam kewajiban mahar. Ini pendapat Asy-Syafi’I dalam qaul
jaded-nya (fatwa di Mesir) dan Ulama Malikiyah, seperti yang dikemukakan
Syuraih, Asy-Sya’bi, Thawus dan Ibnu Sirin dan diceritakan dari Ibnu Mas’ud dan
Ibnu Abbas.[12]
Dalil yang dijadikan dasar oleh
mereka banyak, diantaranya firman Allah SWT. :
وَإِن
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ
تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
إِنَّ اللّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ -٢٣٧
Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari yang telah kamu tentukan
itu. (QS. Al-Baqarah: 237)
Dalam ayat ini Allah SWT
mewajibkan bagi wanita tercerai sebelum disentuh maksudnya sebelum dicampuri,
sepuluh mahar yang disebutkan dan tidak rinci antara istri yang bersunyian
dengan suami atau tidak. Ayat tersebut hanya member pengertian bahwa kewajiban
separuh mahar dalam kondisi suami istri bersunyian maupun tidak. Separuh mahar
ini diwajibkan sebab akad semata. Barang siapa yang mewajibkan seluruh mahar
yang disebutkan dalam kondisi bersunyian pasangan suami istri berarti menyalahi
teks Alquran.
Diantara ayat Alquran yang
dijadikan dalil adalah firman AllahSWT. :
لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ
تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى
الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ -٢٣٦-
Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaknya kamu berikan suatu
mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). (QS. Al-Baqarah: 236)
Allah mewajibkan mut’ah (diberi
kesenangan hadiah) bagi wanita yang tercerai yang belum dicampuri dan belum
ditentukan maharnya. Allah tidak menjelaskan antara kondisi telah bersunyian
atau tidak. Ini menunjukkan bahwa bersunyian sama dengan tidak bersunyiandalam
kondisi ini tidak menguatkan mahar.
Mereka berkata: “Penguatan mahar
berhenti pada terpenuhinya hak suami dari istri sebab tuntutan akad nikah”. Hak
suami sebab akad nikah adalah pemanfaatan alat seks, pemanfaatannya adalah
bersenggama atau bercampur. Ketika persenggamaan tidak ada, maka keberadaan
mahar tidak kuat.
Kedua, bersunyian yang sah
memperkuat mahar, yaitu pendapat Imam Asy-Syafi’I dalam qaul qadim-nya
(fatwa ketika di Irak) dan ulama Hanafiyah.[13] Alasan
mereka adalah firman Allah SWT. :
وَإِنْ
أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنطَاراً فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً
مُّبِيناً -٢٠- وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً -
Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit
pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?. Dan bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai
suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu.(QS. An-Nisa’(4): 20-21)
Dalam dua ayat diatas Allah SWT
melarang suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istri pada
saat talak dan menjelaskan kepada kita sebab larangan ini yaitu dikarenakan
adanya bersunyian diantara mereka berdua.
Bersunyian yang disebutkan dalam
ayat tersebut yaitu yang dipahami dari firman-Nya: “Waqad afdha ba’dhukum ila
ba’dhin. Al-Farra’ diantara ulama bahasa Arab berkata: arti ifdha adalah
bersunyian, baik bercampur atau tidak. Pengambilan menunjukkan bahwa maksud
ifdha adalah bersunyian yang sah. Kata ifdha diambil dari kata fadha artinya
tempat atau bumi yang tidak ada tumbuhan dan tidak ada dinding yang menghalangi
pandangan. Maksud bersunyian disini, tidak ada penghalang dan pencegah dari
bersenang-senang sesuai dengan tuntutan lafal.
Lahirnya nash tidak
menggugurkan mahar sedikit pun dalam segala kondisi talak, tetapi menggugurkan
separuh dari mahar dalam kondisi talak sebelum bercampur dan sebelum bersunyian
dalam nikah. Penyebutan mahar didasarkan pada dalil lain, demikian juga
kewajiban memberi mut’ah bagi wanita tercerai sebelum
bercampur dalam nikah, tidak disebutkan karena ada dalil lain. Sedangkan
kondisi talak sesudah bersunyian, menurut lahirnya nash menuntut
kewajiban mahar seluruhnya kepada istri.
Mereka mengambil dalil dari hadis
yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW:
مَنْ كَشَفَ خَمَارَ امْرَأَتِهِ وَنَظرَ إِلَيْهَا
وَجَبَ الصَّدَاقُ دَخَلَ بِهَا أم لَمْ يَدْخُلْ
Barang siapa yang menyingkap kerudung
istrinya dan memandang kepadanya maka wajib mahar, baik telah bercampur atau
belum tercampur.[14]
Imam Ahmad meriwayatkan dari
Zararah bin Abi Adfa, bahwa ia berkata: “Khulafaur Rasyidin memutuskan bahwa
baransiapa yang menutup pintu dan memanjangkan penutupnya, maka wajib mahar dan
wajib iddah”.
Kelompok pendapat kedua ini
mempersyaratkan keabsahan bersunyi dan timbulnya beberapa pengaruh, yaitu
sebagai berikut.
1. Bersunyian
itu setelah akad yang sah, jika bersunyian sesudah akad yang rusak maka
bersunyiannya juga rusak.
2. Tidak
didapatkan penghalang atau pencegah, baik secara hakiki, tabi’I (tabiat), atau
syar’I dari pergaulan intim sebagai suami istri, jikalau tidak, bersunyiannya
rusak juga.
Penghalang hakiki, maksudnya
didapatkan pada istrri sesuatu yang mencegah bercampur dengannya, karena
usianya yang masih kecil atau karena sakit yang mencegah berhubungan seks atau
adanya cacat fisik. Bersunyian dengan orang yang terbukti memiliki sifat dari
beberapa sifat di atas tidak sah karena tidak mungkin bercampur secara hakiki.
Penghalanag tabi’i, yakni ada orang lain yang menyertai pasangan suami
istri, baik dalam keadaan berjaga atau tidur, baik melihat atau buta, baik
sudah dewasa atau masih kecil cerdas. Adanya mereka menurut tabiatnya
menghalangi percampuran pasangan suami istri. Pada orang yang berjaga,
melihat dan dewasa itu jelas. Orang tidur terkadang berpura-pura tidur atau
bangun segera, orang buta mendengar dan dapat merasa, dan anak kecil yang sudah
tahu hubungan seksual hukumnya seperti orang dewasa. Jika anak kecil tidak
mengerti hubungan sekseual secara makna, maka wujudnya tidak menghalangi
keabsahan bersunyian
Penghalang syar’i, kedua pasang suami istri atau salah satunya dalam
kondisi berhalangan secara syara’ untuk melakukan hubungan seksual, seperti
puasa Ramadhan, ihram haji di Baitullah dan istri sedang menstruasi atau nifas.
Berhubungan dalam kondisi perbuatan muslim atas kebaikan, hal-hal di atas
merusak bersunyian.
2.9
Hal-hal yang Mempengaruhi Mahar
Maksudnya, hal-hal yang
menimbulkan wujudnya sesuatu pada mahar, di antaranya pengurangan, penambahan,
dan penggugurannya.Pengaruh-pengaruh dirinci sebagai berikut.
- Pengurangan dan Penambahan Mahar
Jika disepakati mahar tertentu
dan dengan mahar itu menjadi sempurna akadnya, suami boleh menambah mahar
sekehendaknya selama ia seorang ahli derma dengan syarat istri menerima
tambahan tersebut. Sesuai dengan firman Allah:
ولا
جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة
Dan tidaklah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menetapkan mahar
itu. (QS. An-Nisa’ (4): 23)
Sebagaimana pula sang istri yang
dewasa. Berakal, dan memiliki hak pilih, ia boleh mengurangi mahar yang telah
ditentukan jika suami menyetujuinya.
- Pengaruh Separuh Mahar
Sebagaimana telah disebutkan
bahwa keberadaan mahar tidak menguat kecuali telah terjadi percampuran atau
kematian. Berdasarkan hal tersebut, jika seorang suami menyebutkan mahar
tertentu kepada istri, baik telah diterima atau belum diterima, baik
penyebutannya pada waktu akad atau setelahnya, kemudian ditalak sebelum
bercampur, baik telah terjadi bersunyian maupun tidak maka istri hanya berhak
menerima separuh mahar saja. Berdasarkan firman Allah:
وَإِنطَلَّقْتُمُوهُنَّمِنقَبْلِأَنتَمَسُّوهُنَّوَقَدْفَرَضْتُمْلَهُنَّفَرِيضَةًفَنِصْفُمَافَرَضْتُمْإَلاَّأَنيَعْفُونَأَوْيَعْفُوَالَّذِيبِيَدِ
هِعُقْدَةُالنِّكَاحِوَأَنتَعْفُواْأَقْرَبُلِلتَّقْوَىوَلاَتَنسَوُاْالْفَضْلَبَيْنَكُمْإِنَّاللّهَبِمَاتَعْمَلُونَبَصِيرٌ
-٢٣٧-
Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu memaafkan atau dimaafkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa.Dan
janganlah kau melupakan keutamaan di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2): 237)
Ayat tersebut menjelaskan secara
jelas, kewajiban separuh mahar dari yang telah disebutkan, jika terjadi talak
sebelum bercampur dan dalam ayat tidak dibedakan antara penyebutannya di
tengah-tengah akad atau setelahnya.
Al-Khatib Asy-Syarbini berkata:
“Pembayaran mahar yang sah sebagaimana disebutkan dalam akad dibayar separuh
sebab talak yang terjadi setelah akad dijatuhkan sebelum terjadi persetubuhan,
baik pembayaran dari kedua suami dan istri atau dari hakim.”[15]
Demikian juga wajib separuh mahar
yang dianalogikan dengan hal tersebut di atas, perpisahan dari pihak suami,
baik perpisahan itu karena talak atau fasakh (ada yang merusak). Adapun yang
termasuk fasakh disini adalah perpisahan sebah murtadnya suami dari islam,
adanya larangan suami terhadap istri yang telah masuk islam, cacian suami, dan
penyusuan ibunya terhadap istri yang masih kecil.
- Pengguguran mahar secara sempurna
Mahar digugurkan secara
keseluruhan ketika terjadi pemisahan antara suami istri sebelum berhubungan dan
pemisahan ini berasal dari pihak istri. Misalnya, istri murtad dari islam atau
masuk Islam dengan sendirinya sedangkan ia sudah dewasa dan berakal. Atau
pemisahan bukan dari istri, tapi sebab istri.Misalnya, dijumpai cacat pada
istri yang memberikan hak fasakh bagi suami, seperti vaginanya
buntu tertutup daging atau tertutup tulang dan lain-lain.Semua contoh di atas
menggugurkan mahar, baik disebutkan dalam akad atau dibayar setelah akad
dalam mahar mitsil.
Demikian juga pengguguran mahar
terjadi sebeab pembebasan mahar yang diperintahkan istri yang sudah dewasa dan
berakal kepada suami setelah berhubungan, karena pembebasan adalah pengguguran,
atau istri menghibahkan mahar kepada suami, demikian juga khulu’setelah
bercampur.[16]
Ibnu Qudamah berkata: “Jika istri
membebasakan mahar yang harus dibayar suami atau membabaskan sebagian, atau
istri menghibahkan suami setelah diterima sebagai hadiah harta, hukumnya boleh
dan sah. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan, karena firman Allah: kecuali
istri-istri itu membebaskan.” (QS. Al-Baqarah (2): 237)[17]
Alat-alat Perlengkapan Rumah
Tangga
Fuqoha’ berpendapat bahwa
alat-alat perlengkapan rumah tangga menjadi kewajiban suami, karena segala
beban kehidupan keluarga dipikulkan kepadanya bukan pada istri.Sebagaimana
nafkah istri dibebankan pula kepada suami, diantara nafkah itu adalah
mempersiapkan tempat tinggal yang dilengkapi dengan alat-alat perlengkapannya.
Adapun mahar yang diserahkan
kepada istri merupakan hadiah atau pemberian suami kepada istri.Mahar menjadi
milik istri, tidak ada keharusan mempersiapkan alat-alat perlengkapan rumah
tangga dari padanya dan inilah yang dilakukan pada umumnya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
alat-alat perlengkapan rumah tangga menjadi kewajiban istri yang diambil dari
sebagian mahar yang telah diterima, kecuali jika suami mempersyaratkannya yang
lebih banyak dari mahar atau jika uruf yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat, baik dahulu maupun sekarang bahwa alat-alat
perlengkapan rumah tangga dibebankan pada mahar istri dan ditambah dari istri
atau dari keluarganya.
Sekalipun hal tersebut
diperselisihkan di antara fuqoha’, urufmemberlakukan mahar istri
yang dibebani dengan kewajiban melengkapi alat-alat rumah tangga dan ditambah
bantuan harta dari sebagian keluarganya.Jika alat-alat rumah tangga itu
dipersiapkan istri berarti isi rumah tangga itu milik istri, suami tidak berhak
menggunakannya kecuali dengan izinnya.Jika suami memberi harta kepada istri
untuk keperluan alat-alat rumah tangga secara khusus dan terpisah dari mahar,
maka istri wajib mempersiapkannya. Jika istri tidak menghadirkannya maka suami
berhak menuntut harta yang telah diberikan, karena ia melalaikan kewajiban dan
tidak mempersiapkan alat-alat perlengkapan rumah tangga tersebut.
Jika harta yang diberikan suami
kepada istri untuk mempersiapkan alat-alat rumah tangga sekaligus di dalamnya
juga terdapat mahar, dalam arti melebihi ketentuan mahar, yakni dengan adanya
sejumlah alat-alat rumah tangga kemudian istri tidak melaksanakannya maka suami
tidak wajib membayar mahar yang telah disebutkan, ia hanya wajib membayar mahar
mitsil menurut sebagian fuqaha’. Ketidakwajiban
membayar mahar mitsil dikarenakan suami telah melebihkan untuk
melengkapi alat-alat rumah, namun istri tidak melaksanakannya. Jika tidak wajib
atas mahar yang disebutkan, ia wajib membayar mahar mitsil.
Ulama lain berpendapat bahwa yang
wajib adalah mahar yang disebutkan secara optimal. Kewajiban istri menghadirkan
alat-alat rumah tangga yang diambil dari mahar bukan wewenang suami, karena
mahar sedikit atau banyak setelah disebutkan murni menjadi hak istri.
Persiapan Bapak untuk Putrinya
Pada umumnya bapak atau orang tua
mempersiapkan perkakas rumah tangga untuk putrinya. Jika persiapan ini dari
mahar, maka perkakas rumah tangga itu milik putri tersebut dan jika dari harta
bantuan bapak terhadap putrinya, ia bukan milik bapak kecuali telah diserahkan
kepadanya. Sebagaimana pula seluruh bantuan tidak dimilikinya sebelum
diserahterimakan kepadanya.Demikian itu berlaku jika putri tersebut sempurna
keahliannya. Jika tidak, ia memiliki perkakas tersebut pada wilayah kekuasaan
bapak yang semata membelikannya. Kekuasaan bapak menempati pada kekuasaannya,
karena bapak mempunyai wilayah kekuasaan padanya.Perkakas rumah tangga yang
semata dibelikan bapak sudah diserahterimakan secara hukum.
Putri dewasa dan berakal memiliki
alat-alat perlengkapan rumah tangga dengan diserah terimakan, sedangkan putri
yang berada dalam keadaan tertinggal (sebaliknya) diberikan bapaknya.Bapak dan
ahli waris setelah kematiannya tiak boleh menuntut kepadanya untuk
mengembalikan perkakas yang telah dihadiahkan tersebut.Hadiah kepada kerabat
mahram tidak boleh diminta kembali setelah diserahterimakan secara sempurna.
Yang harus diperhatikan jika bapak
sakit kritis pada saat pemilikan perkakas rumah tangga kepada putrinya baik
dengan diserahterimakan atau dibelikan maka bantuan bapak tersebut menempati
wasiat, tidak boleh dilaksanakan kecuali tidak melebihi sepertiga harta
peninggalan sesuai dengan pengamalan sekarang. Jika bapak meninggal dunia
karena sakitnya itu dan nilai perkakas rumah tangga tidak melebihi sepertiga
dari harta yang ditinggalkan maka ahli waris lain tidak berhak atas perkakas
tersebut. Jika nilainya melebihi sepertiga peniggalan, kelebihannya itu
bergantung pada izin mereka (ahli waris).
2.10
Kerusakan Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi
karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti
tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri,
yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada
dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
a.
Barangnya tidak boleh dimiliki;
b.
Mahar digabungkan dengan jual beli;
c.
Penggabungan mahar dengan pemberian;
d.
Cacat pada mahar; dan
e.
Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh
dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas,
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah
memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat
yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus
dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah
menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
Mengenai penggabungan mahar
dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin
perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian
pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai
mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar,
maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi
Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan
dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat
kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan
pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang
menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat
pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga
pendapat.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya
mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam
Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad
nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila
syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik
ayah.
Mengenai cacat yang terdapat pada
mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad
nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah
harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga
mahar mitsli.
Imam Syafi’i terkadang menetapkan
harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat
menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang
sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta
harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan
bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya mahar, suami
bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian
sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam,
atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan
tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh
walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak
sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur
apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan
padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiriyang
menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.
2.11 Hikmah
Disyariatkan Mahar
Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah adalah sebagai ganti dari
dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya. Di
samping itu pula mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita
dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi haksuami.[18]
Mahar
disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan
bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu,
Allah SWT mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih
mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh
beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan
segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi
manfaatnya kembali kepada suami juga.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk
diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi
penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang
ditimbulkandari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan,
penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai
jaminan wanita ketika ditalak.[19]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari
calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah
minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan
diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan
utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
Fuqaha’ sepakat bahwa
harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas,
perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar
karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka
sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’ tidak
sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mahar musamma yang disebutkan
maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad
maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan
akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan
kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
Maksud mahar mitsil adalah mahar
yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad,
ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari
keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
tunggal bapak, dan seterusnya.
Maksud kekuatan mahar adalah
hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh pengguguran dan pengurangan.
Mahar yang rusak bisa terjadi
karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti
tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri,
yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada
dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok.
Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi
penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh
karena itu, Allah SWT mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita,
karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya
juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan
dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya,
tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.
DAFTAR PUSTAKA
.
Abubakar, Imam Taqiyuddin bin Muhammad Alhusaini. 1992. Kifayatul
Akhyar (Kelengkapan Orang Shalih). Surabaya: Bina Iman
Al-Mashri, Syaikh Mahmud. 2011. Perkawinan Idaman. Jakarta:
Qisthi Press
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemahan Lengkap Bulughu Marsm.
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Al-Fauzan, Saleh.
2006. Fiqh Sehari-hari. Depok: GemaInsan
Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. 1993. Terjemah
Fat-Hul Mu’in. Surabaya: Al-Hidayah
Azzam, Abdul Aziz
Muhammad dan ,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah
Ghozali, Abdul Rahman, M.A. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta:
Kharisma Putra Utama
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:
Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Kamal, Abu Malik. 2007. Fiqh Sunnah Wanita. Jakarta: Pena PundiAksara
[1] Hasyiyah
Asy-Syaerqawi ‘ada Syarh At- Tahrir, juz 2, hlm. 251 dan Mughni
Al-Muhtaj, juz 3, hlm. 220.
[2] Prof.
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.
[4] Prof.
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh
Munakahat. (Jakarta: AMZAH). 177
[13] Lihat Mughni
Al-Muhtaj, juz 3, hlm 225 dan Al-Muhadzdzab, juz 2,
hlm. 57 danBada’I Ash-Shana’I, juz 3, hlm 1457
[14] Hadis
ini diriwayatkan melalui jalan Ibnu Luhai’ah, ia lemah. Ibnu Hazm menyebutnya
melalui jalan Yahya bin Ayyub, ia lemah juga. Lihat: Bada’I
Ash-Shama’I, juz 7, hlm 146, Sunan Ad-Dar Quthni, juz
3, hlm 307 dan Al-Mahalli, juz 9, hlm 486.
[19] Prof.
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh
Munakahat. (Jakarta: AMZAH). 177-178
0 comments:
Post a Comment