Monday, 22 September 2014

Perbandingan 4 Imam Madzhab


Menurut bahasa mazhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Menurut istilah para fakih mazhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1.    Pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2.    Kaidah-kaidah istimbath yang dirumuskan oleh seseorang imam mujtahid.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian mazhab adalah hasil ijtihad seseorang imam (mujtahid mutlak mustaqil) tentang hukum suatu maslah atau tentang kaidah-kaidah istimbath.
Dengan demikian, pengertian bermazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seseorang imam tentang hukum suatu maslah atau tentang kaidah-kaidah istimbatnya.
Menurut imam syafi’i perubahan penetapan hukum ada dua hal yaitu:
1.    Imam syafi’i menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah bermukiman dimesir, atau dengan kata lain, beliau meralat pendapat lama (qadim).
2.    Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi.




SEBAB-SEBAB TIMBUL PERBEDAAN PENDAPAT

A.      Pengertian
Secara etimologi fiqiyah, “ikhtilaf” merupakan yang diambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, tidak sepaham, sedangkan secara terminologi fiqiyah, ikhtilaf adalah perselisuhan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.

B.       Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf.
            Ucapan-ucapan Rasulullah Saw, biasa terdiri dari dua jenis, yang satu khusus yang lainya umum. Kadang-kadang seorang lelaki mendengar beliau, tetapi ia tak tahu apa yang di maksud Allah yang maha suci dengannya, atau yang di maksud Nabi dengan itu. Secara isi si pendengar membawanya dan menghafalnya tanpa mengetahui makna dan maksud yang sesungguhnya atau apa sebabnya.

Kalangan sahabat Rasulullah Saw tidak terbiasa mengajukan pertanyaan atau menanyakan maknanya kepada beliau, sebenarnya mereka selalu menginginkan seorang badui atau orang asing datang dan menanyakan kepada beliau supaya mereka pun dapat mendengarkan. Bila mana suatu hal semacam itu terjadi padaku aku bertanya kepada beliau tentang artinya dan memeliharanya. Itulah sebab dan dasar perbedaan di kalangan orang tentang hadist-hadist mereka.

Adapun orang yang meriwayatkan hadist tersebut ialah terbagi menjadi 4 Yaitu :
a.        Kaum Munafiq Pendusta, yaitu orang yang memamerkan keimanan dan mengambil wajah seorang muslim. Ia tidak ragu-ragu berbuat dosa dan tidak menjauh dari kemungkaran. Mereka katakan bahwa ia sahabat Nabi, telah bertemu dengan beliau, mendengar kata-kata beliau dan mendapatkan pengetahuan dari beliau. Tapi semua itu dusta atau bohong.
b.        Orang yang keliru, yaitu orang yang mendengar suatu ucapan dari Rasulullah, tetapi tidak menghafalkan sebagaimana adanya, melainkan menyimpulkan, ia tidak sengaja berdusta. Lalu ia membawa ucapan itu dan meriwayatkannya, mengamalkanya dan mengaku behwa : “ saya mendengarnya dari Rasulullah Saw”. Padahal yang ia bawa itu keliru.
c.         Orang yang tidak tahu, yaitu orang yang mendengar Rasulullah Saw memerintahkan untuk melakukan sesuatu dan kemudian Nabi Saw melarang orang melakukannya tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya.
d.        Orang yang menghafal denga benar, yaitu orang yang tidak berbicar dusta, ia benci akan kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasulullah, serta tidak membuat kekeliruan tetapi merekam (di pikiranya) tepat apa yang di dengarnya, tanpa menambah sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Ia mendengar hadist yang menaskh, ia merekam dan mengamalkannya, ia juga mengerti (tentang hal-hal)yang khusus dan yang umum.
Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf di antaranya adalah sebagai berikut :

1.        Al-masa’il Al-lafdhiyyah.

            Yakni perbedaan pemaknaan pada kata-kata (Al-masa’il Al-lafdhiyyah) terjadi tidak hanya pada Al-qur’an, tetapi lebih-lebih pada hadist. Sudah di sepakati bahwa Al-qur’an di sampaikan kepada kita dalam bentuk kata, sedangkan hadist umunya di sampaikan dalam makna. Dengan perkataan lain, Al-qur’an yang di baca Rasulullah dan para sahabatnya sama dengan Al-qur’an yang kit abaca dari segi kata-katanya. Sedangkan hadist yang kita baca belum tentu sama yang di sampaikan Rasulullah Saw, dalam hal Kata-katanya, di dalam hadist sering kita temukan redaksi yang bermacam-macam untuk makna yang sama, begitu juga sebaliknya.

Karena tidak ada perbedaan dalam penerimaan Al-qur’an, para ‘Ulama’ menyebutkan dalil – dalil al-qur’an itu sampai kepada kita secara qath’I atau pasti. Tidak ada madzhab yang punya Al-qur’an yang berbeda dengan mazhab-mazhab lainya. Sebagian besar hadist di sampaikan kepada kita secara tidak pasti. Ada perbedaan di antara para ‘Ulama’ dalam menerima dan menolak hadist, dengan menggunakan kriteria ilmu hadist. Semua ayat Al-qur’an shahih, tetapi tidak semua hadist sahih. Dan dari sinilah perbedaan ‘Ulama’ di mulai.

2.        Perbedaan penerimaan hadist.

     Hadist artinya berita yang di nisbatkan kepada Rasulullah Saw, baik tentang ucapan, perbuatan maupun ketentuanya. Para peneliti komunikasi dengan eksperimen sederhana, dapat membuktikan bagaimana informasi mengalami perubahan ketika di edarkan pada beberapa orang yang berkumpul pada satu tempat dan satu waktu, hadist beredar dari mulut ke mulut selama hampir 200 tahun di antara perawi hadist yang bertebaran di seluruh penjuru dunia.
Untuk mengatasi pemalsuan hadist telah di kembangkan ‘Ulum Al-hadist. Walaupun begitu ‘Ulum Al-hadist tidak dapat menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan ulama’ hadist dalam banyak hal. Pada tingkat sahabat sja terjadi perselisihan tentang mana sahabat yang dapat di percaya dan mana yang bukan. Orang-orang Syi’ah sangat meragukan hadist-hadist yang di riwayatkan Abu bakar, Umar, A’isah, Amr bin Ash. Dan lain lain. Ahlu sunah tidak mau meriwayatkan hadist melalui para imam ahlu bait. Walaupun mereka mempercayai Ali R.A. pada zaman sahabat saja sudah terjadi perselisihan, apa lagi jaman sekarang yang notabennya sangat jauh dari zaman Nabi Saw.





C.      Penyesuaian Dan Pembinaan Pendapat Yang Berbeda

Didalam kamus bahasa Indonesia (W.J.S Poerwaedarminta) disebutkan, “sesuai” berarti “kena benar” atau “cocok” (keadaannya, ukurannya, rupanya dan sebagainya seperti sepatu dengan kaki, baju dengan badan, anak kunci dengan kunci, perhiasan dengan yang dihiasi). Misalnya kakinya lecet, karena memakai sepatu yang tidak sesuai.

Sesuai berarti pula, “sama (dengan)”, tidak ”tidak bersalahan (bertentangan)”. Misalnya, oleh hakim dijatuhkan hukuman lima tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa.
Seterusnya “sesuai” berarti “serasi”, baik benar (untuk), misalnya bermacam-macam obat telah diminumnya, tetapi tidak ada yang sesuai.
Apabila sesuai ditambah dengan awalan “me” dan akhiran “kan”, yaitu menyesuaikan artinya mencocokkan, menjaadikan sesuai (didalam berbagai-bagai arti seperti menyelaraskan, menyepadankan, mengukurkan, menyamakan).
Dengan demikian, penyesuaian adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya) menyesuaikan.

Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalah-kan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah Ibadah. Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan pendapat dalam Ibadah ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.

Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan di antara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa.

 Imam Malik pernah berkata :

“Saya ini tidak lain, melainkan manusia biasa. Saya boleh jadi salah dan boleh jadi benar. Maka oleh sebab itu, lihatlah dan pikirlah baik-baik pendapat saya. Apabila sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) dan Sunnah, maka ambillah ia dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah ia.” Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ar-Rabi’:
“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w. padahal bersalahan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena sunnah itulah mazhab yang sebenarnya.”
Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan, apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami Hadis Rasulullah Saw.

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah suatu rahmat.”

            Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapat itu pasti terjadi di antara sesama umat Islam. Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Di sini tampak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justru mempersatukan umat, bukan masalah memecah-belah mereka. Carilah hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu. 

Dan yang paling penting adalah “dahulukan Ahlak, di atas Fikih”.

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com

Pengumumam Seleksi Administrasi CPNS 2017 (Update 6 September 2017)

Hasil seleksi administrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)  dan Mahkamah A...