Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan
bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada
diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi
Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal
dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau,
Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa
pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai
seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik
asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya,
sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah
mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga
yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya,
Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang
tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan
dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya
yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat
peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan
beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di
sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan
sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan
mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau
melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh
azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi
beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap
memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang
hal itu beliau pernah bercerita,“Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi
sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku
dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah
orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang
tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi
Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis
hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota
Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186.
Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir
bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan
oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus
ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai
melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman,
dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu
darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam
Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i
sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan
dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau
mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin
al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata,“Saya
tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku
dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad
bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni
pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun.
Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai
Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau
menjawab, “Bersama
mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut
ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah
keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang
memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau
berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya.
Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua
putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang
terkenal, al-Musnad,
dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak
tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun
kitab tentang tafsir,
tentang an-nasikh dan al-mansukh,
tentang tarikh,
tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban
dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik
ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitabar-Radd
‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan
kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan
kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut,
agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya
dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah
itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah
al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk
menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau
lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang
engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah
atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan
akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara
itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih,
dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti
Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang
bertanya kepadanya, “Dalam
hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang
lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia
seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan
berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada
kami’.” Ahmad bin
Syaiban berkata,“Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun
memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad
bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits
kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti diketahui
bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai
salah seorang imam huffazh.
GURU-GURU IBNU HAMBAL
Gurunya yang pertama ialah Abi Yusuf Yakub Bin Ibrahim
Al-Qadhiy, seorang rekan Abu Hanifah. Beliau mempelajari darinya ilmu fiqh dan
hadist, Abu Yusuf adalah seorang yang dianggap gurunya yang pertama.
Sebagian dari ahli sejarah mengatakan bahwa pengaruh gurunya
(Abu Yusuf) tidak begitu kuat mempengaruhinya sehingga tidak dapat dikatakan
bahwa beliau adalah gurunya yang pertama. Mereka berpendapat bahwa gurunya yang
pertama adalah Husyaim Bin Basyir Bin Abi Khasim Al-Wasiti, karena beliau
adalah guru yang banyak mempengaruhi Ibnu Hambal. Ibnu Hambal mengikutinya
lebih dari 4 tahun, beliau mempelajari hadist-hadist darinya serta beliau
menulis darinya lebih dari 3000 hadist.
Husyaim adalah seorang imam hadist di Baghdad beliau seorang
yang sangat bertakwa lagi wira’i, beliau dari pengikut Tabi’it Tabi’in, seorang
yang banyak mendengar darii imam-imam dan Imam Malik, juga orang-orang lain
banyak meriwayatkan hadist darinya. Beliau adalah orang yang sangat kuat
ingatannya dan dilahirkan pada tahun 104 hijriyah dan meninggal pada tahun 183
hijriyah.
Disamping Ibnu Hambal mempelajari dari Husyaim beliau juga
belajar sama Umair Bin Abdullah, Abur Rahman Bin Mahdi Dan Abi Bakar Bin
Iyasiy.
Imam Syafii adalah salah satu dari seorang guru Imam Ibnu
Hambal, bahkan terdapat disana mereka menganggap Imam Syafii sebagai guru yang
kedua sesudah Hasyim. Ibnu Hambal bertemu dengan Imam Syafii semasa di Hijaz,
sewaktu beliau menunaikan Ibadah haji.
Imam Syafii mengajar di Masjid Al-Haram, Ibnu Hambal ikut belajar bersamanya.
Kemudian mereka bertemu untuk yang kedua kalinya di Baghdad. Imam Syafii
menasehatinya agar mengikutinya ke Mesir. Imam Ibnu Hambal berniat mengikutinya
tetapi niatnya tidak tercapai. Beliau telah mempelajari bagaimana memahami dan
cara mengeluarkan kesimpulan-kesimpulan hukum dari Imam Syafii.
Sebenarnya imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama,
jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri,
seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Akan
tetapi disini kami hanya menyebutkan beberapa saaja.
METODE YANG DIGUNAKAN IMAM IBNU
HAMBAL DALAM MENETAPKAN HUKUM (ISTINBAT)
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal
dalam menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari Al-Qur'an dan Sunnah yang
shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur'an dan
dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah
dengan nash itu.
2. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan
suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur'an maupun dari hadits shahih, maka ia
menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di
kalangan mereka.
3. Apabila terdapat perbedaan di antara
fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih
dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
4. Hadits Mursal dan Hadits Dha'if
Apabila ia tidak menemukan dari
tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits
dha'if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu,
hadits shahih dan hadits dha'if.
5. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal
tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha'if, maka ia
menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam
keadaan dharurat (terpaksa). Mazhab ini juga menerima istihsan, sadd
az-Zari’ah, ’urf, istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum Islam.
KARYA-KARYA TULIS IMAM IBNU HAMBAL
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling
menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi
mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab at-Tarikh
5. Kitab Hadits Syu'bah
6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi
al-Qur`an
7. Kitab Jawabah al-Qur`an
8. Kitab al-Manasik al-Kabir
9. Kitab al-Manasik as-Saghir
Menurut Imam Nadim, kitab berikut
ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1. Kitab al-'Ilal
2. Kitab al-Manasik
3. Kitab az-Zuhd
4. Kitab al-Iman
5. Kitab al-Masa'il
6. Kitab al-Asyribah اﻞ
7. Kitab al-Fadha'il
8. Kitab Tha'ah ar-Rasul
9. Kitab al-Fara'idh
10. Kitab ar-Radd ala
al-Jahmiyyah
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa
kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi
seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad
termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani
Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan
unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka.
Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya,
sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit
demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai
penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania,
Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat
berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum
muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka,
seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara
khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun.
Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk
membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat
yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat
dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa
kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid,
khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan
Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat
itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata,
‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran
itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku,
niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh
seorang pun.’” Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin
menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada
mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah
dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan
pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi
bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak
dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang
hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran,
termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang
hak, bahwa Alquran itu kalamullah,
bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat
memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke
hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus
dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum
sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara
di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218).
Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun,
kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat
wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji
orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya
al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap
sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau.
Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih
keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad
dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan
dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan.
Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali
menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat
menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin
kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad
merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya,
tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat
jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq
meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat,
al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya,
ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234,
dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu.
Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh
sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan
ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya,
sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya,
pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap
kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin
bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar
jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang,
ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu
juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat
banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan
kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan
antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian
yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak
akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau
bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya
itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan
keteguhan Imam Ahmad, “Allah
telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang
ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang
banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada
Yaumul Mihnah.”
0 comments:
Post a Comment