Tuesday, 23 September 2014

Perbedaan Pendapat 4 Imam Madzhab dalam berbagai permasalahan fiqih


PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU

1.        Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan
            Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat.
            Pendapat dari empat mazhab yaitu
1.      Haanafiyah berpendapat apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa.
2.      Malikiyah berpendapat bahwa mani yang biasa keluar tampa rasa nikmat tidak diwajibkan mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil, ulat, cacing darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan ketentuan.
3.      Syafi’i berpendapat keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya rasa nikmat atau tidak namun, wajib mandi.
4.      Hambali bependapat bahwa apabila seseorang terus menerus berhadas , seperti air kencing terus menerus menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap sholat melakukan wudhu.

2.        Tidur
1.      Hanafiyah berpendapat bahwa tidur tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat membatalkan wudhu dalam tiga hal.
a.       tidur dengan berbaring miring
b.      tidur telentang diatass punggungnya
c.       tidur diatas salah satu pahanya
2.      malikiya berpendapat tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur nyenyak, baik sebentar maupun lama maupun sebentar, baik tidur dalam keadaan berbaring atau sujud atau duduk.
3.      Syafi’i berpendapat tidur dapat membatalkan pendapat apabila orang yang yang tidur itu tidak duduk mantap diatas tempatnya.
4.      Hanbali berpendapat bahwa wudhu seseorang dapat batal dalam keadaan bagaimanapun juga, kecuali apabila tidurnya itu sebentar menurut ukuran urf, sedanngkan orang itu dalam keadaan duduk atau berdiri.
3.    Bersentuhan Laki-laki dan perempuan
1.      Hanafiyah berpendapat  bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
2.      Malikiyah berpendapat bahwa seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
a.       Sudah baligh
b.      Merasakan kenikmatan/rangsangan sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak
3.      syafi’i berpendapat kulit lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak.









PERBEDAAN PEDAPAT TENTANG KEWAJIBAN MEMBACA AL-FATIHAH DALAH SHOLAT

Membaca Al-fatihah merupakan rukun disetiap rakaat dalah sholat, telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau membacanya disetiap rakaat dan ketika beliau mengajari orang yang tidak pas dalam sholat maka beliau memerintahkan untuk membaca Al-fatihah, sebagaimana sabda beliau yang artinya “Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah” (Muttafuq Alaihi).
Para imam mazhab berpendapat bahwa membaca surat fatihah adalah wajib bagi imam dan bagi orang yang sholat sendirian (munfarid) pada duaa rakaat subuh dan pada rakaat pertama dan kedua sholat yang lain.
Berikut ini adalah pendapat dari 4 imam mazhab yakni sebagai berikut:
1.        IMAM HANAFI
Membaca surat Al-fatihah dalam sholat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh. Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Muzammil ayat 26.
Artinya: “...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-Muzzammil: 20).
Membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat ketiga pada sholat magrib, dan pada dua rakaat terakhir pada sholat isya’ dan ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau diam.
Boleh meninggalkan bassmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunahkan membaca dengan keras atau pelan (sir). Orang yang sholat sendiri ialah boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca ddengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras) dan bila suka dibaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam sholat itu tidak ada qunut kecuali pada sholat witir. Sedangkan menyilangkan dngan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama meletakkan telapak tangannnya yang kanan diatas belakang telapak tangan yang kiri dibawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakan dua tangannya diatas dadanya.
Jadi, menurut mazhab imam hanafi tentang membaca surat Al-fatihah adalah:Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam sholat berjamaah Sirriyyah (zhuhur dan ashar)ataupun jahriyah(subuh, magrib dan isya) karena banyaknya hadits-hadist yang diriwayatkan mengenai pengalaman pelarangan membaca apapun bagi makmum yang berjamaah”.
2.        IMAM SYAFI’I
Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam sholat jama’ah untuk membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengaran bacaan imam saja. Hal ini didasarkan pada.
Artinya: “Tidak ada yang namanya sholat tampa adanya bacaan surat al-kita (Al-fatihah)”. (HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi, 247).
Kemudian juga didasarkan pada hadits dia berkata: Rasulullah saw bersabda: dari Abu hurairah.
Artinya: “Barang siap yang tidak membaca Al-fatihah maka sholatnya kurang, tidak sempurna. (HR. Muslim no. 359).
Karena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-fatihah, makmum baru mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-fatihah secara sirr (tidak terdengar). Hal ini didasarkan dengan surat Al-araaf: 204).
Artinya; “dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-araf: 204).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku’. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat.
Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah.
3.        IMAM MALIKI
Imam Malik berpendapat, bahwa makmum wajib membaca fatihah pada sholat sir dan tidak wajib pada shalat jahar.

Artinya dan apabila dibacakan al quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (q.s al-araf: 204).

4.        IMAM HANBALI
Wajib membaca Al-fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunahkan membaca surat Al-Qur’an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada sholat subuh, serta dua rakaat pertama pada sholat magrib dan isya’ disunahkan membacanya ddengan nayring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.Qunut hanya pada sholat witir bukan pada sholat-sholat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunatkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan dibawah pusar. (Mughniyah: 2001).


PERBEDAAN PEDAPAT TENTANG PENENTUAN AWAL PUASA DAN NIAT PUASA

A.      PENENTUAN AWAL PUASA
Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari. Perintah puasa pertama kali adalah pada tahun ke-2 Hijriah.
untuk menentukan awal dan akhir bulan ramadhan dapat dimulai dengan salah satu sebab sebagai berikut:
1.      Dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan qamariyah dengan mata telanjang.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “maka diantara kamu sekalian yang menyaksikan akan adanya awal ramadhan haruslah ia puasa”(QS. AL-Baqarah:185)

Oleh para ulama masih dipersoalkan tentang Hilal (melihat bulan):

1.        Menurut Imam Hanafi
a.         Jika seandainya langit cerah, wajib yang melihat itu semuanya/orang banyak (melihat bulan). Dan orang tersebut mengatakan ashadu dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
b.        Dan kalau seandainya cuaca tidak cerah (mendung/berkabut), maka cukup satu orang yang adil, berakal, baliqh (kesaksian). Dan tidak perlu mengucap ashadu.
2.        Menurut Imam Maliki
a.         Yang melihat hilal itu orang banyak, maka wajib puasa, sekalipun orang yang melihat hilal itu tidak semuanya adil.
b.        Bahwa yang melihat hilal itu 2 orang yang adil.
c.         Kalau yang melihat hilal hanya 1 orang (laki-laki), maka yang wajib puasa hanya dia sendiri.
3.        Menurut Imam Syafi’i
a.         Melihat oleh orang yang adil, walaupun hanya 1 orang (baik laki-laki / perempuan) dan wajib mengucap ashadu.
b.        Kalau yang melihat hilal itu orang yang tidak adil (baik laki-laki / perempuan) maka puasa wajib hanya bagi dirinya.
4.        Menurut Imam Hambali
Diterima,apabila hilal itu dilihat (perkadaan) 1 orang mukallaf (laki-laki/perempuan, merdeka/hamba) yang adil, baik adil secara zhahir maupun secara batin. Baik cuaca cerah /mendung dan mengucapkam ashadu.

kesimpulan hukum bahwa permulaan puasa itu harus berdasarkan atas rukyat bila cuaca cerah; dan atas dasar istikmal (menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya'ban) bila cuaca buruk, misalnya karena mendung sehingga tidak memungkinkan dilakukan rukyat.  

B.       WAKTU NIAT PUASA
Sebagaimana diketahui, bahwa niat itu adalah salah satu rukun dri puasa, namun bukan saja puasa, tetapi semua ibadah harus dimulai dengan niat yang ikhlas kepada Allah.
Nabi bersabda:    
اءنماالا عما ل با لنيا ت ...... (رواه البخارى ومسلم)      
sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat…” (HR. Bukhari,       muslim)
Mengenai waktu niat, terdapat perbedaan pendapat:
1.      Imam maliki berpendapat, disyaratkan sahnya niat, pada malam hari, dan boleh berniat pada terbit fajar.
2.      Imam syafi’I dan ahmad bin hambali mengatakan, disyaratkan untuk puasa ramadhan/puasa yang lain (seperti puasa qadha, nadzar). Maka dia harus menetapkan niat puasa pada waktu malam hari.
3.       Menurut hanafi, bagi orang yang berpuasa, lebih afdhal berniat pada terbit fajar jika memungkinkan, atau pada malam harI.


PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ZAKAT TANAMAN DAN PANGAN
A.      Pengertian Zakat
Zakat artinya mensucikan dan membersihkan harta benda.
Menurut istilah syara’ (agama) zakat adalah mengeluarkan sebagian harta, atau bahan makanan yang utama menurut ketentuan dan ukuran yang ditentukan oleh syara’.
Seseorang mengeluarkan zakat, berarti ia telah membersihkan diri, jiwa dan hartanya dari hak orang lain yang ada dalam harta itu.

B.       Landasan Hukum Mengenai Zakat Tanaman Dan Pangan

Arinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(Al-Baqarah: 267)

Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan wajib yaitu wajib mengeluarkan zakat dari hasil bumi yang diperoleh.
Ditegaskan pula dalam ayat itu, bahwa yang akan dikeluarkan untuk zakatnya adalah yang baik bukan yang buruk.

C.      Perbedaan Pendapat Para Ulama Mengenai Zakat Tanaman Dan Pangan

a.         Maliki dan Syafi’i
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang meerupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan seperti gandum, beras, kurma dan anggur.apabila pengairan perlu biaya 5%, sedangkan kalau tidak di airi 10%.
Landasan yang dipakai oleh imam maliki dan syafi’i adalah :
  
Artinya: dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(Al-An’am: 141).

b.         Abu Hanifah
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubab (biji-bijian) Tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran. Beliau melihat umum ayat yakni pada surah Al-An’am 141 dan Al-Baqarah 267.

c.         Imam Ahmad
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian dan buah-buahan itu ada pada tanaman yang dapat disimpan dan ditukar.

d.        Hambali
Berpendapat bahwa semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib dizakatati.

e.         Ibnu Taimiyah
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.

f.       Ibnu Abi Laila Subyah As-Syauhi
Berpendapat bahwa selain kurma, gandum, tepung, dan kismis serta segala macam biji-bijian dan buah-buahan tidak ada zakatnya.

g.      Abu Yusuf dan Muhammad
Berpendapat bahwa tidak wajib zakat kecuali pada biji-bijian dan buah-buahan yang dapat di awetkan.

h.      Daud Ali Az-Zahiri
Berpendapat bahwa semua tanaman yang keluar dari bumi yang merupakan penghasilan wajib di zakati.


D.      Nisab Zakat Pertanian
Nizab biji makanan yang mengenyangkan dan buah-buahan adalah 300 Sa (lebih kurang 930 leter) bersih dari kulitnya, atau 5 wasaq.
Sabda Rasullullah :

Artinya : Tidak ada sedekah (zakat) pada biji dan buah-buahan sehingga mencapai lima wasaq (riwayat muslim).

Artinya: Dari Abu Sa’id, sesungguhnya Nabi saw. Berkata : satu wasaq enam puluh Sa’ (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
E.       Kadar Zakat Hasil Pertanian
Pertama, jika pertanian diari dengan air sungai tampa ada biaya yang dikeluarkan maka dikena zakat sebesar 10%.
Kedua, jika tanaman di airi dengan air yang yang memerlukan biaya untuk pengairan maka zakat nya sebesar 5%.
Dalil yang menuntukkan hal ini adalah hasil dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: Tanaman yang di airi dengan air hujan atau dengan mata air maka dikenakan zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya, maka dikenakan zakat 1/20 (5%).


PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ZAKAT MELALUI BADAN AMIL

A.      Pengertian Amil
Pengertian Amil menurut pendapat empat Mazhab memiliki beberapa perbedaan namun tidak signifikan.

·           Imam Syafi’i mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi Zakat, sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut. Mażhab ini merumuskan ‘Amil sebagai berikut: “Amil zakat yaitu orang-orang yang dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk mengurus zakat. Mereka adalah para karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan kepada yang berhak menerimanya”. Dimasukkannya Amil sebagai Asnaf menunjukkan bahwa Zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara).

·           Hanafi memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.

·           Pendapat Imam Hanbal yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah pekerjaannya (sesuai dengan upah pekerjaanya).

·           Imam Maliki lebih spesifik yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasihat, dsb. Syarat amil harus adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.

B.       Syarat Amil Zakat Profesional
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pengelola Zakat atau ‘Amil zakat menurut Qardhawi adalah:
1.        Muslim.
2.        Mukallaf.
3.        Jujur.
4.        Memahami hukum-hukum zakat.
5.        Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknyaLaki-laki.
6.        Dan yang terakhir, Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka bukan seorang hamba.

C.      Gaji Atau Upah Minimum Yang Bisa Di Terima Oleh Amil
Secara konsep dapat dipahami bahwa dengan semakin tinggi tingkat keprofesionalan Amil akan semakin tinggi tingkat kesejahteraan para Mustahiq, khususnya Amil, mengingat konsep Fikih secara jelas mencanangkan bahwa hak mereka adalah 12,5% atau 1/8 dari harta terkumpul.

Ada juga beberapa Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam memutuskan gaji yang diberikan kepada Amil tersebut.

·           pendapat Mazhab Mâliki dan jumhur ulama’, yang mengatakan bahwa kadar upah atau gaji yang diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. hanya saja,
·           Abû Hanîfah membatasi pemberian gaji atau upah Amil tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul.
·           Imam Syafi’i membolehkan pengambilan upah sebesar 1/8 (seperdelapan) dari total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul. Pelaksanaan zakat melalui amil zakat dari muzakki untuk kemudian disalurkan pada mustahik,menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal kariatif (kedermawaan) , tetapi ia juga suatu kewajiban yang juga bersifat otoriatif (ijibari)

D.      Perbedaan Pendapat Tentang Berzakat Melalui Badan Amil
A.       Dasar Hukum
1.        Ayat Al Qur’an
õ‹è{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y‰|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkŽÏj.t“è?ur$pkÍ5Èe@|¹uröNÎgø‹n=tæ(¨bÎ)y7s?4qn=|¹Ö`s3y™öNçl°;3ª!$#urìì‹ÏJy™íOŠÎ=tæ
Artinya :Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Q.S.At. Taubah 103)
2.        HaditsNabi
عن انس قالاتى رجل من بنى تميم الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالحسبييارسول الله اذا اديت الزكاة الي رسولك فقد برئت منها الي الله ورسولك؟ فقال رسول الله صلي اللهعليه وسلم “نعم” اذا اديتها الي رسولي فقد برئت منها فلك اجرها واثمها علي من بدلها (رواه احمد)
Riwayat dari anas. R.A ia berkata: Datang seseorang dari bani Tamim kepada Rasululllah SAW, seraya berkata: Apakah cukup bagiku ya Rasulullah jika aku tunaikan zakat kepada utusanmu sehingga aku sudah terbebas dari kewajiban zakat Allah dan Raulullah ?. Rasulullah SAW bersabda : Ya, apabila kamu tunaikan zakat kamu kepada utusanku maka kamu sudah terbebas dari kewajiban zakat tersebut, kamu berhak mendapatkan pahalanya, dan dosanya akan kembali kepada orang-orang yang menukar zakat tersebut. (Hadits Riwayat Imam Ahmad)
B.       Pendapat Ulama
1.        Syafi’I, zakat boleh disalurkan melaluli amil zakat yang dibentuk pemerintah (imam), apalagi jika pemerintahan tersebut adil kepada rakyatnya.
2.        Hambali yang paling baik menyalukan zakat dilakukan sendiri oleh muzakki, namun jika tetap ingin melalui badan amil zakat tetap boleh dan sah.
3.        Menurut Hanabillah, di sunnatkan para Muzakki menyerahkan zakatnya sendiri, dengan demikian yakin betul ia, bahwa zakatnya sampai kepada mustahiknya, tetapi sekirnya yang menyerahkannya kepada pememrintah, di perbolehkan juga ( jaiz).
4.        Malikiyah ada mempunyai ketentuan lain, yaitu apabila imam itu adil ( ingat, amil adalah aparat dari pada imam sama dengan pemerintah), di serahkan kepada imam dan sekirnaya tidak adil, dapat di serahkan sendiri kepada mustahiknya.

E.       Tujuan, Hikmah dan faedah zakat
Zakat sebagai salah satu kewajiban bagi seorang mikmin yang telah ditentukan oleh Allah swt tentunya mempunyai tujuan, hikmah dan faedah sepertihalnya kewajiab yang lain.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WALI DALAM NIKAH
A.      Pengertian Wali
Menurut bahasa, Wali adalah orang yang menurut hukum dapat dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengaasuh, memilihara, mengawasi, dan menguasai suatu pesoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Sedangkan menurut istilah, Wali adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang berada dibawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaan.
Perwalian yang berkenaan dengan manusia hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memilihara yang ada dibawah perwaliannyaatau perlindungannya. Maksudnya sesorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi perlindungan. Dengan demikian wali memiliki tanggung jawab yyang besar, karena dikukuhkan oleh hukum (agama) dan apabila dilihat berdasarkan kedudukannya, wali tidak begitu saja melimpahkan wewenangnya kepada orang lain yang tidak berhak, karena itu untuk menjadi wali haarus ada kaitannya dengan struktur keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan syarat dalam melangsungkan pernikahan.

B.       Pendapat Para Jumhur Ulama
a.         Jumhur Ulama 
Jumhur Ulama (selain hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tampa ada wali. Sebagain besar ulama fiqih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya atau orang lain. Jika dia menikah tampa wali maka pernikahannya batal atau tidak sah.
Sebagai dasar yang mereka pergunakan adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 232.
Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurø—r& .........
Artinya: “...Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya...(Q.S Al-Baqarah: 232).

Firman Allah diatas adalah mengenai apabila seseorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis masa iddahnya, si wanita itu boleh menikah dengan bekas suaminya (ada ketentuannya setelah talak tiga)atau laki-laki lain. Para ulama tidak boleh mengahalngi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua calon mempelai, terutama bagi wanita yang masih gadis. Dalam keadaan tertentu, hakim dapat bertindak sebagai wali, karena wali harus ada dalam perkawinan.
Suatu perkawinan tidak dipandang sah, kecuali ada wali sebagaimana dinyatakan dalam hadits H.R Lima orang ahli hadist yang artinya: “Tidak sah nikah, kecuali dengan wali” (H.R Lima orang ahli hadits).
Dari hadits diatas dapat kita pahami, bahwa seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila telah tampa izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah mendpat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh dsb) wali itu tidak dapat menikahkan secara langsung, maka hakim (penghulu) yang menjadi walinya. Kekurangan dan kelebihan dari pendapat jumhur ulama selain hanafiyah (Syafi’i, maliki, dan hambali).
1.        Kelebihannya: adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab perrnikahan merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.
2.        Kekurangannya: adanya diskriminasi terhadapperempuan dimana dia tidak boleh melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita pada drajat yang lebih rendah dari pada kaum pria.

b.        Menurut Imam Hanafiah
Abu hanifah, zufar, sya’bydan zury berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tampa wali, asal saja calon suami-istri itu kufu (setara), dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada masyarakat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan hanafiyah adalah firman Allah yang berbunyi:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù ‘@ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß‰÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys?%¹`÷ry— ¼çnuŽö 3 ...
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain...(Q.S Al-baqarah: 230)

Kelebihan dan kekurangan melaui pendapat Abu hanifah adalah:
1.        Kelebihan; pendapat abu hanifah tentang wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
2.        Kekurangan: jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang menikah seenaknya tampa izin wali yang bersangkutan.

C.      Urutan Wali Dan Syarat-Syarat Wali
a.         Urutan Wali
Orang yang sah menjadi wali ialah:
1.        Bapak
2.        Datuk (kakek), bapak dari pabak
3.        Saudara lelaki kandung
4.        Saudara lelaki sebapak
5.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.        Anak laki-laki dari dari sudara laki-laki sebapak
7.        Saudara bapak yang laki-laki (aman)
8.        Anak laki-laki dari paman
9.        Hakim
Menurut jumhur ulama, diantaranya Mlik, As-Tsary, Al-Laits dan syafi’i, bahwa yang berhak menjadi wali adalah “ashabah’ sebagai man yang tersebut diatas, kecuali hakim.
Menurut imam syafi’i, suatu pernikahan baru diaanggap sah, bila dinikahkan oleh yang dekat terlebih dahulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat dari urutannya secara tetib, selanjutnya bila wali yang jauh pun tidak ada, maka hakim yang bertindak sebagai wali.
Berbeda dengan abu hanifah, semua kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah, sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri dan menikahkan orang lain.
Sebagaimana dijelaskan bahwa hakim adalah urutan terakhir dari perwalian.
ü Hakim menjadi wali karena adadua hal yaitu;
1.        Bila terjadi peerselisihan antara sesama wali mengenai jodoh anak wanita itu, atau wali tidak menyetujui pilihan jodohnya, sedangkan si wanita itu tetap masih keras menikah dengan laki-laki pilihannya.
2.    Bila si wani tidak ada mempunyai  wali, baik menurut pemahaman jumhur ulama maupun menurut pemahaman jumhur ulama maupun menurut pemahaman hanifah.
Seluruh mazhab sepakat bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan perempuan yang tidak mempunyai wali dekat maupun jauh.

b.        Syarat Wali
Wali adalah orang yang bertanggung jawab atas sah atau tidak akad nikah. Oleh sebab itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali, tetapi harus memenuhi syarat yaitu:
1.         Islam, orang yang tidak beragam islam tidak sah menjadi wali.
Firman Allah swt Q.S. Al-Maidah; 51

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)...(Q.S. Al-Maidah; 51)
2.        Baligh (berumur lebih dari 15 tahun)
3.        Merdeka
4.        Laki-laki, jika seorang perempuan tidak berhak menjadi wali nikah.
5.        Adil
Pada pasal 19 dinyatakan, bahwa; “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.

Pada pasal 20 disebutkan:
1.        Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat, hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.
2.        Wali nikah terdiri dari dua.
a.       Wali nasab
b.      Wali hakim


PERBEDAAN PENDAPAT KEHADIRAN SAKSI AKAD NIKAH

1.      Kalau menurut jumhur ulama, saksi dari akad nikah adalah termasuk akad nikah.
Fungsi bersaksi
a.       Bisa membantah tuduhan yang tidak-tidak.
b.      Membedakan hal yang halal dan yang haram.
Syarat-syarat saksi yang disepakati oleh ulama ada 2:
a.       Berakal.
b.      Baligh
Syarat saksi yang tidak disepakati oleh ulama:
a.       Menurut jumhur selain hanafi dia harus dua orang saksi laki-laki.
b.      Menurut hanafi boleh satu orang , kalau seandainya ada ayah perempuan, kalau ayah tidak ada, boleh ditambah saksi.
c.       Bilangan jumlah saksi
d.      Laki-laki
e.       Merdeka
f.       Adil
g.      Harus Islam
h.      Harus merdeks

PERBEDAAN PENDAPAT TENTAN KESAKSIAN DALAM TALAK

Syarat adanya saksi dalam perceraian menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian kecil ulama Salaf berpendapat, saksi merupakan syarat sahnya talak. Jika talak itu tidak disaksikan dua orang saksi yang adil, talaknya tidak berlaku. Ini pendapat Ibnu Hazm dan ‘Atha. Pendapat tersebut banyak diterima ulama-ulama zaman modern ini, seperti Ahmad Muhammad Syakir, Syekh Abu Zahrah, Syekh Albani, dan Jadulhaq Ali Jadulhaq ( syekh al-Azhar ) demi untuk menjaga keutuhan keluarga.

Mereka berlandaskan dalil Al-Quran yang memerintahkan mempersaksikan perceraian dan rujuk, serta perintah itu hukum asalnya wajib kecuali ada dalil lain yang mengalihkannya dari sifat wajib itu. “Apabila mereka mendekati akhir idahnya, rujukilah atau lepaskanlah dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. ( QS al-Thalaq [65]: 2 ).
              Imran bin Hushain ditanya tentang seorang lelaki yang menalak istrinya, kemudian ia menggaulinya ( merujuknya ) dalam keadaan tidak mempersaksikan talak dan rujuknya. Imran berkata, “Kamu telah menalak tanpa mengikuti sunah dan rujuk tidak menurut sunah. Persaksikanlah talakmu dan rujukmu (sekarang) dan janganlah kamu ulangi hal itu!“ ( HR Abu Dawud dan Ibnu Majah ). Tetapi, sebagian besar ulama berpendapat, talak atau cerai itu tidak memerlukan saksi.

              Jika seorang suami menyatakan kepada istrinya, “Kamu saya ceraikan!“, jatuhlah talaknya tanpa perlu ada saksi atau keputusan pengadilan. Bahkan, al-Syaukani dalam kitabnya Nayl al-Authar menjelaskan, para ulama telah bersepakat dalam masalah tidak wajib adanya saksi dalam perceraian.

Apabila kata talak atau cerai itu untuk yang pertama kali, berarti itu talak satu yang memungkinkan untuk rujuk kembali selama masih dalam masa idah, yaitu tiga kali masa haid, menurut pendapat yang kuat.

Begitu juga kalau itu untuk yang kedua kali. Tetapi, ketika terjadi talak tiga yang dinamakan dengan talak ba’in bainunah kubra ( talak yang tidak bisa rujuk lagi ) maka tertutup baginya jalan untuk rujuk kembali dengan istrinya, kecuali istrinya menikah lagi dengan orang lain dan terjadi hubungan suami istri dalam pernikahan tersebut.

Jumhur ulama berpendapat, perintah dalam ayat di atas adalah menunjukkan sunah bukan wajib dengan dasar bahwa banyak masalah talak yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad, tetapi tidak pernah beliau menanyakan apakah ada saksi dalam perceraian itu. Dari Abdullah bin Umar bahwasanya ia menalak istrinya pada waktu haid pada zaman Rasulullah. Umar bertanya pada Rasulullah tentang hal itu. Rasul bersabda, “Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya, kemudian biarkan bersamanya hingga suci, kemudian haid lagi, kemudian suci. Lantas, setelah itu terserah kepadanya, ia mempertahankannya jika mau dan ia bisa menalaknya jika mau sebelum berhubungan suami istri dengannya. Itulah idah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.“ ( HR Bukhari dan Muslim, ini lafaz Bukhari ).
Hal itu sama dengan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 282, “Dan, persaksikanlah apabila kamu berjual beli,“ sebagaimana tidak ada kewajiban dalam menghadirkan saksi dalam melakukan jual beli, hanya bersifat sunah untuk menghindari perselisihan pada kemudian hari. Begitu juga dengan ayat yang memerintahkan untuk mempersaksikan talak di atas. Namun, untuk keluar dari perbedaan pendapat para ulama itu dan untuk lebih selamatnya, sebaiknya pengucapan lafaz talak itu hendaknya disaksikan dua orang saksi.

Tujuannya agar tidak terjadi perselisihan pendapat antara suami dan istri atau antara keluarga masing-masing jika salah seorangnya meninggal mengenai jatuhnya talak atau tidak karena menyangkut masalah dan hukum apakah mereka masih sebagai suami istri sehingga saling mewarisi atau sudah putus hubungan pernikahan mereka sehingga mereka tidak lagi saling mewarisi.

Dalam masalah ini, jika sang istri berkeyakinan suaminya telah menjatuhkan talak kepadanya dan tidak pernah rujuk dengannya sampai habis masa idahnya atau suaminya telah menjatuhkan talak tiga kepadanya meskipun suami mengingkari dan mengatakan tidak menalak istrinya atau masih talak kedua, menurut jumhur ulama, berdasarkan keyakinan istri ini, ia telah haram bagi suaminya.







PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ZUL ARHAM


A.   ZUL ARHAM
1.      Pengertian
Zul Arham berasal dari bahasa arab “Arham” bentuk jamak “Rahim” yang berarti rahim atau kandungan. Tegasnya disebut hubungan darah secara syariat Zul Arham adalah hukum karabat yang lain dari pada Dzul Furudh dan ‘Ashabah yaitu anggota keluarga digaris ibu, baik laki-laki maupun perempuan yang ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, anak perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak.
Menurut bahasa Dzul Arham adalah orang yang mempunyai kerabat secara mutlak, baik dia Shahih Furudh atau Ashabah atau bukan. Sedangkan dalam pengertian istilah Dzul Arham adalah segala kerabat yang bukan Shahih Furudh dan bukan pula Ashabah. Jadi, Zul Arham itu berarti orang yang mepunyai hubungan darah dengan si mati.
Dasar hukum yang menjelaskan bahwa Zul Arham berhak mewarisi yaitu dalam surat Al-Nisa’ Ayat 7 :

Artinya : ” Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya...”

Hal ini sesuai dengan surat Al-Anfal ayat 75.
  
Artinya : “orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

2.      Perbedaan Pendapat Ulama Terhadap Zul Arham.
Berikut perbedaan pendapat ulama dalam memberikan pengertian tentang zul Arham ini, yaitu sebagai berikut :
a)    Pendapat / Mahzab Ahl Al-Qarabah
       Pendapat ini dikembangkan oleh ahli hukum islam mazhab syafiyah seperti al-Baqawy dan al-Mutawally (pada awalnya pendapat ini didasarkan kepada ijtihad Alibin Abi Thalib). Pendapat ini intinya mengemukakan bahwa diantara para ahli waris terdapat kelompok keutamaan yanitu kelompok yang satu lebih utama dari kelompok yang lainnya, mahzab ini mengelompokkannya sebagai berikut :
1)   Kelompok Banuwwah yaitu yang terdiri dari anak-anak, cucu dan seterusnya kebawah.
2)   Kelompok Ubuwwah yaitu terdiri dari kakek dari ibu, nenek dari kakek dan seterusnya ke atas.[1][4]
3)   Kelompok Ukhuwwah yaitu terdiri dari anak-anak saudara atau kemenakan.
4)   Kelompok Umumah yaitu terdiri dari paman, bibi dan anak keturunannya.
Menurut kelompok ini, selama ada kelompok yang terdekat. Maka kelompok yang lainnya tidak menerima warisan, dengan kata lain kelompok yang terdekat lebih utama dari kelompok yang lainnya.
b)                           Pendapat / Mahzab Ahl Al- Tanzil
Mahzab ini dikembangkan dengan Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambali. Menurut pendapai ini untuk menentukan siapa yang lebih berhak diantara Zul Arham untuk memperoleh warisan dari sipewaris adalah dengan cara menempatkan mereka pada kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka kepada sipewaris, selanjutnya mereka diturunkan satu persatu.
Misalnya : cucu perempuan dari garis perempuan didudukan sebagai anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki didudukan sebagai sudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan didudukkan sebagai ayah, saudara perempuan ibu didudukan sebagai ibu dan seterusnya.[2][5]
c)                            Pendapat / Mazhab Ahl al-Rahim
Tokoh penting mazhab ini adalah hasan Ibn Zirah, menurut ungkapan Fathur Rahman pendapat / mazhab ini tidak berkembang, sebab pendapat ini tidak mudah di terima. Karena prinsip mazhab ini semua Keluarga yang statusnya Zul-arham mempunyai kedudukan yang sama tanpa melihat dari kelompok mana mereka berasal, dengan istilah lain seluruh Zul-arham disamarkan kedudukannya terhadap harta warisan tersebut.
Selain yang diatas ada pula perbedaan para ulama tentang apakah mereka dapat menerima warisan atau tidak, jika tidak kepada siapa harta warisan itu diserahkan, sementara tidak ada ahli waris yang akan mewarisinyayaitu sebagaia berikut :
1)   Imam Malik, Syafi’i, Zaid Ibn Zabit dan mayoritas ulama Amsar berpendapat bahwa ahli waris Zul-Arham tidak dapat menerima warisan.” Dari kalangan sahabat-sahabat tabi’i berpendapat yang demikian adalah ibnu Abbas, Said Ibnu al-Musayyab, Sa’ad Ibn Zubair, Sofyan al-sauri, Al-Auza’i, dan ikuti oleh Ibnu Hazm, bahwa harta peninggalan simati diserahkan kebait Al-Mal.
2)   Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman, Ali, Ibnu ‘Abbas dalam satu pendapatnya yang Mashur , Ibnu Mas’ud dan Mu’az Ibnu  Jabal  mengatakan bahwa “ ahli waris zul Arham dapat menerima warisan, apabila simati tidak mempunyai ahli waris ashabah dan al-furud.

B.  PENYELESAIAN DALAM PEMBAGIAN HAKNYA
            Ahli waris yang termasuk zul Arham dikelompokkan oleh kalangan syafiyah kepada :
1.      Anak dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan).
2.      Anak dari saudara perempuan, baik kandung, seayah maupun seibu.
3.      Anak perempuan saudara laki-laki.
4.      Anak perempuan paman.
5.      Paman seibu.
6.      Anak paman seibu.
7.      Saudara laki-laki ibu.
8.      Saudara perempuan ibu.
9.      Saudara perempuan ayah.
10.  Anak saudara seibu.
11.  Bapak dari ibu.



Cara penyelesaian dalam pembagian harta warisan dikalangan ahli waris Zul-Arham ada 2 cara yang dikemukakan oleh ualama yaitu :
1.    Secara Penggantian
Ahli waris Zul Arham menerima hak kewarisan menurut yang diterima oleh ahli waris terdekat yang menghubungkannya kepada pewaris. Contoh ahli waris terdiri dari : ayah dari ibu, anak dari perempuan. Maka ayah dari ibu mendapat 1/6 menggantikan ibu dan anak dari anak perempuan mendapat ½ menggantikan anak perempuan.
2.    Secara Kedekatan
          Ahli waris Zul Arham menerima warisan berdasarkan kedekatannya kepada pewaris, artinya membagi harta warisan kepada ahli waris sebagaimana yang berlaku pada kewarisan ashabah. Alasannya yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut cara ini adalah bahwa ahli waris Zul Arham ini pada akikatnya adalah ashabah. Ashabah yang hakiki di tempati oleh pihak laki-laki, sedangkan ashabah dalam bentuk ini adalah perempuan atau laki-laki melalui perempuan misalnya : ahli waris terdiri dari ayah dari ibu dan anak saudara ibu, maka harta warisan akan di warisi oleh kakek, karena kakek lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan anak saudara ibu.
Hadis Nabi :


Artinya : Dari Amir Bian Muslim dari Thawas dari ‘Aisyah berkata : Rasul SAW bersabda : saudara laki-laki Ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya. (HR. At - Tarmizi)
Undang-undang waris mesir juga mengemukakan cara pembagian warisan kepada ahli waris zawu al arham ini, sebagaimana yang terkuat dalam pasal 31 sampai 38, cara pewarisannya sebagai berikut :
·      Pasal 31
Jika tidak didapatkan seseorang asabah nasab dan tidak juga dari seorang zawu furud nasabiyah, maka harta peninggalan atau sisanya adalah untuk Zawu Al-Arham.
·      Pasal 32
Kelompok pertama dari zawul arham yang paling utama untuk mendapatkan warisan adalah yang paling dekat derajatnya kepada simayat. Jika mereka bersamaan derajatnya maka anak laki-laki dari ashabul al-furud itu lebih utama dari anak laki-laki zawu arham. Jika bersamaan derajadnya diantara mereka tidak terdapat anak laki-laki ashabul furud atau mereka semuanya sampai kepada shahibul fardh, maka mereka sama-sama memperoleh warisan.
·      Pasal 33
Kelompok kedua dari zawu al arham yang paling utama untuk mendapatkan harta warisan adalah yang paling dekat derajatnya kepada simayat. Jika mereka bersamaan derajatnya, maka di dahulukan orang yang sampai pada ash-habul furudh, jika mereka bersamaan derajatnya dan tidak diantara yang sampai pada ash-habul firudh atau untuk semua hanya sampai kepada ash-habul alfurudh. Maka apabila mereka sama dalam kekerabatannya, mereka sama banyak mendapatkan warisan. Apabila mereka beda dari segi kekerabatan , maka dua pertiga untuk kerabat ayah dan sepertiganya untuk kerabat ibu.


·      Pasal 34
Kelompok ketiga dari Zawul Arham yang paling utama mendapatkan warisan adalah yang paling dekat derajatnya dengan simayat. Bila mereka bersamaan derajatnya, sedangkan diantara mereka terdapat anak laki-laki dari ahli waris ashabah. Maka lebih utama mendapatkan warisan dari pada anak laki-laki dzawul arham. Jika diantara mereka tidak terdapat anak laki-laki dari ahli waris ashabah maka didahulukan siapa yang paling kuat kekerabatnnya dengan simayat. Barang siapa ashal(leluhur yang menurunkan)nya seibu-seayah maka dia lebih utama dari pada yamg ashalnya se-ibu. Jika mereka bersamaan drajat dan kekuatan kekerabatannya maka mereka sama-sama berhak untuk mewarisi.
·      Pasal 35
Apabila yang ada hanya kelompok ayah, yaitu paman-paman amayat yang se-ibu dan bibi-bibinya, atau kelompok ibu yaitu paman-paman dan bibinya. Maka yang palaing didahulukan adalah yang paling kuat kekerabatannya. Maka oleh karena itu barang siapa yang seayah seibu tentu yang paling utama dari yang seayah saja. Barang siapa yang seayah maka dia lebih utama dari yang seibu. Jika mereka bersamaan derajatnya, maka ia sama-sama berhak untuk mewarisi.
·      Pasal 36
Apabila mereka anak laki-laki dari ahli waris ashabah atau anak laki-laki dari ahli waris Zawil Arham , jika keadaan mereka berbeda maka anak laki-laki ahli waris ashabah yang didahulukan.
·      Pasal 37
Tidak dibenarkan banyaknya segi kekerabatan bagi seoarang ahli waris dari Zauwul Arham, kecuali jika terdapat Iktilaf dalam segi itu.

4 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com
Unknown said...

alhamdullillah...ilmu yang bagus...

Unknown said...

siipp (y)

Unknown said...

buku sumbernya apa yah kalo boleh tau?

Unknown said...

terimakasih....

Pengumumam Seleksi Administrasi CPNS 2017 (Update 6 September 2017)

Hasil seleksi administrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)  dan Mahkamah A...