PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU
1. Keluar
Sesuatu Dari Dua Jalan
Keluar
sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air kecil, buang air
besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika
seseorang merasakan nikmat.
Pendapat
dari empat mazhab yaitu
1. Haanafiyah
berpendapat apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu, baik
yang biasa maupun yang tidak biasa.
2. Malikiyah
berpendapat bahwa mani yang biasa keluar tampa rasa nikmat tidak diwajibkan
mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil, ulat, cacing darah dan
nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan
ketentuan.
3. Syafi’i
berpendapat keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya rasa
nikmat atau tidak namun, wajib mandi.
4. Hambali
bependapat bahwa apabila seseorang terus menerus berhadas , seperti air kencing
terus menerus menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap sholat melakukan
wudhu.
2. Tidur
1. Hanafiyah
berpendapat bahwa tidur tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat
membatalkan wudhu dalam tiga hal.
a. tidur
dengan berbaring miring
b. tidur
telentang diatass punggungnya
c. tidur
diatas salah satu pahanya
2. malikiya
berpendapat tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur nyenyak,
baik sebentar maupun lama maupun sebentar, baik tidur dalam keadaan berbaring
atau sujud atau duduk.
3. Syafi’i
berpendapat tidur dapat membatalkan pendapat apabila orang yang yang tidur itu
tidak duduk mantap diatas tempatnya.
4. Hanbali
berpendapat bahwa wudhu seseorang dapat batal dalam keadaan bagaimanapun juga,
kecuali apabila tidurnya itu sebentar menurut ukuran urf, sedanngkan orang itu
dalam keadaan duduk atau berdiri.
3. Bersentuhan
Laki-laki dan perempuan
1. Hanafiyah
berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan tidak
membatalkan wudhu.
2. Malikiyah
berpendapat bahwa seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan
anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
a. Sudah
baligh
b. Merasakan
kenikmatan/rangsangan sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak
3. syafi’i
berpendapat kulit lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu secara
mutlak.
PERBEDAAN PEDAPAT TENTANG
KEWAJIBAN MEMBACA AL-FATIHAH DALAH SHOLAT
Membaca Al-fatihah merupakan
rukun disetiap rakaat dalah sholat, telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau
membacanya disetiap rakaat dan ketika beliau mengajari orang yang tidak pas
dalam sholat maka beliau memerintahkan untuk membaca Al-fatihah, sebagaimana
sabda beliau yang artinya “Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca
Al-fatihah” (Muttafuq Alaihi).
Para imam mazhab berpendapat
bahwa membaca surat fatihah adalah wajib bagi imam dan bagi orang yang sholat
sendirian (munfarid) pada duaa rakaat subuh dan pada rakaat pertama dan kedua
sholat yang lain.
Berikut
ini adalah pendapat dari 4 imam mazhab yakni sebagai berikut:
1. IMAM
HANAFI
Membaca
surat Al-fatihah dalam sholat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa
saja dari Al-Qur’an itu boleh. Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Muzammil ayat 26.
Artinya:
“...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-Muzzammil: 20).
Membaca
Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat
ketiga pada sholat magrib, dan pada dua rakaat terakhir pada sholat isya’ dan
ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau diam.
Boleh
meninggalkan bassmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak
disunahkan membaca dengan keras atau pelan (sir). Orang yang sholat sendiri
ialah boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca ddengan perlahan) atau
mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras) dan bila suka dibaca secara
sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam sholat itu tidak ada qunut kecuali
pada sholat witir. Sedangkan menyilangkan dngan dua tangan adalah sunnah bukan
wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama meletakkan telapak tangannnya yang kanan diatas
belakang telapak tangan yang kiri dibawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang
lebih utama adalah meletakan dua tangannya diatas dadanya.
Jadi,
menurut mazhab imam hanafi tentang membaca surat Al-fatihah adalah:Imam
Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum dibelakang imam adalah
makruh dan bisa berdosa baik dalam sholat berjamaah Sirriyyah (zhuhur dan
ashar)ataupun jahriyah(subuh, magrib dan isya) karena banyaknya hadits-hadist
yang diriwayatkan mengenai pengalaman pelarangan membaca apapun bagi makmum
yang berjamaah”.
2. IMAM
SYAFI’I
Mazhab
As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam sholat jama’ah untuk membaca surat
Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang dikeraskan bacaan
imamnya). Tidak cukup hanya mendengaran bacaan imam saja. Hal ini didasarkan
pada.
Artinya:
“Tidak ada yang namanya sholat tampa adanya bacaan surat al-kita (Al-fatihah)”.
(HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi, 247).
Kemudian
juga didasarkan pada hadits dia berkata: Rasulullah saw bersabda: dari Abu
hurairah.
Artinya: “Barang
siap yang tidak membaca Al-fatihah maka sholatnya kurang, tidak sempurna. (HR.
Muslim no. 359).
Karena
itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-fatihah, makmum baru
mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca
sendiri-sendiri surat Al-fatihah secara sirr (tidak terdengar). Hal ini
didasarkan dengan surat Al-araaf: 204).
Artinya; “dan apabila dibacakan
Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu mendapat rahmat (Q.S Al-araf: 204).
Namun
dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-fatihah gugur dalam
kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku’. Maka
saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat
satu rakaat.
Membaca
Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua
rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun
sholat sunnah.
3. IMAM
MALIKI
Imam Malik berpendapat, bahwa makmum
wajib membaca fatihah pada sholat sir dan tidak wajib pada shalat jahar.
Artinya dan apabila dibacakan al
quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat (q.s al-araf: 204).
4. IMAM
HANBALI
Wajib
membaca Al-fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunahkan membaca surat
Al-Qur’an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada sholat subuh, serta dua rakaat
pertama pada sholat magrib dan isya’ disunahkan membacanya ddengan nayring.
Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan
dan tidak boleh dengan keras.Qunut hanya pada sholat witir bukan pada
sholat-sholat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunatkan bagi lelaki
dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan tangannya yang kanan pada
belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan dibawah pusar. (Mughniyah:
2001).
PERBEDAAN PEDAPAT TENTANG
PENENTUAN AWAL PUASA DAN NIAT PUASA
A. PENENTUAN
AWAL PUASA
Puasa Ramadhan adalah puasa yang
telah ditentukan jumlah bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu
bulan penuh. Ada yang berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari.
Perintah puasa pertama kali adalah pada tahun ke-2 Hijriah.
untuk menentukan awal dan akhir
bulan ramadhan dapat dimulai dengan salah satu sebab sebagai berikut:
1. Dengan
cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan
qamariyah dengan mata telanjang.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “maka diantara
kamu sekalian yang menyaksikan akan adanya awal ramadhan haruslah ia puasa”(QS.
AL-Baqarah:185)
Oleh
para ulama masih dipersoalkan tentang Hilal (melihat bulan):
1. Menurut
Imam Hanafi
a. Jika
seandainya langit cerah, wajib yang melihat itu semuanya/orang banyak (melihat
bulan). Dan orang tersebut mengatakan ashadu dan bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah
b. Dan
kalau seandainya cuaca tidak cerah (mendung/berkabut), maka cukup satu orang
yang adil, berakal, baliqh (kesaksian). Dan tidak perlu mengucap ashadu.
2. Menurut
Imam Maliki
a. Yang
melihat hilal itu orang banyak, maka wajib puasa, sekalipun orang yang melihat
hilal itu tidak semuanya adil.
b. Bahwa
yang melihat hilal itu 2 orang yang adil.
c. Kalau
yang melihat hilal hanya 1 orang (laki-laki), maka yang wajib puasa hanya dia
sendiri.
3. Menurut
Imam Syafi’i
a. Melihat
oleh orang yang adil, walaupun hanya 1 orang (baik laki-laki / perempuan) dan
wajib mengucap ashadu.
b. Kalau
yang melihat hilal itu orang yang tidak adil (baik laki-laki / perempuan) maka
puasa wajib hanya bagi dirinya.
4. Menurut
Imam Hambali
Diterima,apabila hilal itu
dilihat (perkadaan) 1 orang mukallaf (laki-laki/perempuan, merdeka/hamba) yang
adil, baik adil secara zhahir maupun secara batin. Baik cuaca cerah /mendung
dan mengucapkam ashadu.
kesimpulan hukum bahwa permulaan
puasa itu harus berdasarkan atas rukyat bila cuaca cerah; dan atas dasar
istikmal (menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya'ban) bila cuaca buruk,
misalnya karena mendung sehingga tidak memungkinkan dilakukan rukyat.
B. WAKTU
NIAT PUASA
Sebagaimana diketahui, bahwa niat
itu adalah salah satu rukun dri puasa, namun bukan saja puasa, tetapi semua
ibadah harus dimulai dengan niat yang ikhlas kepada Allah.
Nabi
bersabda:
اءنماالا
عما ل با لنيا ت ...... (رواه البخارى ومسلم)
“sesungguhnya segala amal itu
hendaklah dengan niat…” (HR.
Bukhari, muslim)
Mengenai waktu niat,
terdapat perbedaan pendapat:
1. Imam
maliki berpendapat, disyaratkan sahnya niat, pada malam hari, dan boleh berniat
pada terbit fajar.
2. Imam
syafi’I dan ahmad bin hambali mengatakan, disyaratkan untuk puasa
ramadhan/puasa yang lain (seperti puasa qadha, nadzar). Maka dia harus
menetapkan niat puasa pada waktu malam hari.
3. Menurut
hanafi, bagi orang yang berpuasa, lebih afdhal berniat pada terbit fajar jika
memungkinkan, atau pada malam harI.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ZAKAT
TANAMAN DAN PANGAN
A. Pengertian
Zakat
Zakat artinya mensucikan dan
membersihkan harta benda.
Menurut istilah syara’ (agama)
zakat adalah mengeluarkan sebagian harta, atau bahan makanan yang utama menurut
ketentuan dan ukuran yang ditentukan oleh syara’.
Seseorang mengeluarkan zakat,
berarti ia telah membersihkan diri, jiwa dan hartanya dari hak orang lain yang
ada dalam harta itu.
B. Landasan
Hukum Mengenai Zakat Tanaman Dan Pangan
Arinya: Hai orang-orang
yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.(Al-Baqarah: 267)
Perintah dalam ayat tersebut
menunjukkan wajib yaitu wajib mengeluarkan zakat dari hasil bumi yang
diperoleh.
Ditegaskan pula dalam ayat itu,
bahwa yang akan dikeluarkan untuk zakatnya adalah yang baik bukan yang buruk.
C. Perbedaan
Pendapat Para Ulama Mengenai Zakat Tanaman Dan Pangan
a. Maliki
dan Syafi’i
Berpendapat bahwa zakat hasil
pertanian itu ada pada tanaman yang meerupakan kebutuhan pokok dan dapat
disimpan seperti gandum, beras, kurma dan anggur.apabila pengairan perlu biaya
5%, sedangkan kalau tidak di airi 10%.
Landasan yang dipakai oleh imam
maliki dan syafi’i adalah :
Artinya: dan Dialah yang
menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.(Al-An’am: 141).
b. Abu
Hanifah
Berpendapat bahwa zakat hasil
pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubab (biji-bijian)
Tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran. Beliau melihat umum ayat yakni pada
surah Al-An’am 141 dan Al-Baqarah 267.
c. Imam
Ahmad
Berpendapat bahwa zakat hasil
pertanian dan buah-buahan itu ada pada tanaman yang dapat disimpan dan ditukar.
d. Hambali
Berpendapat bahwa semua tanaman
dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib dizakatati.
e. Ibnu
Taimiyah
Berpendapat bahwa zakat hasil
pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.
f. Ibnu
Abi Laila Subyah As-Syauhi
Berpendapat bahwa selain kurma,
gandum, tepung, dan kismis serta segala macam biji-bijian dan buah-buahan tidak
ada zakatnya.
g. Abu
Yusuf dan Muhammad
Berpendapat bahwa tidak wajib
zakat kecuali pada biji-bijian dan buah-buahan yang dapat di awetkan.
h. Daud
Ali Az-Zahiri
Berpendapat bahwa semua tanaman
yang keluar dari bumi yang merupakan penghasilan wajib di zakati.
D. Nisab
Zakat Pertanian
Nizab biji makanan yang
mengenyangkan dan buah-buahan adalah 300 Sa (lebih kurang 930 leter) bersih
dari kulitnya, atau 5 wasaq.
Sabda Rasullullah :
Artinya : Tidak ada
sedekah (zakat) pada biji dan buah-buahan sehingga mencapai lima wasaq (riwayat
muslim).
Artinya: Dari Abu Sa’id,
sesungguhnya Nabi saw. Berkata : satu wasaq enam puluh Sa’ (Riwayat Ahmad dan
Ibnu Majah).
E. Kadar
Zakat Hasil Pertanian
Pertama, jika pertanian diari
dengan air sungai tampa ada biaya yang dikeluarkan maka dikena zakat sebesar
10%.
Kedua, jika tanaman di airi
dengan air yang yang memerlukan biaya untuk pengairan maka zakat nya sebesar
5%.
Dalil yang menuntukkan hal ini
adalah hasil dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Tanaman yang di airi
dengan air hujan atau dengan mata air maka dikenakan zakat 1/10 (10%).
Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya, maka dikenakan zakat
1/20 (5%).
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ZAKAT
MELALUI BADAN AMIL
A. Pengertian
Amil
Pengertian Amil menurut pendapat
empat Mazhab memiliki beberapa perbedaan namun tidak signifikan.
· Imam
Syafi’i mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi Zakat,
sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut. Mażhab ini
merumuskan ‘Amil sebagai berikut: “Amil zakat yaitu orang-orang yang
dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk mengurus zakat. Mereka adalah para
karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan
kepada yang berhak menerimanya”. Dimasukkannya Amil sebagai Asnaf menunjukkan
bahwa Zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada
seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas
negara).
· Hanafi
memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat untuk mengambil
dan mengurus zakat.
· Pendapat
Imam Hanbal yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah pekerjaannya
(sesuai dengan upah pekerjaanya).
· Imam
Maliki lebih spesifik yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasihat,
dsb. Syarat amil harus adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan
dengan zakat.
B. Syarat
Amil Zakat Profesional
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk menjadi seorang pengelola Zakat atau ‘Amil zakat menurut Qardhawi adalah:
1. Muslim.
2. Mukallaf.
3. Jujur.
4. Memahami
hukum-hukum zakat.
5. Memiliki
kemampuan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknyaLaki-laki.
6. Dan
yang terakhir, Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka bukan seorang
hamba.
C. Gaji
Atau Upah Minimum Yang Bisa Di Terima Oleh Amil
Secara konsep dapat dipahami
bahwa dengan semakin tinggi tingkat keprofesionalan Amil akan semakin tinggi
tingkat kesejahteraan para Mustahiq, khususnya Amil, mengingat konsep Fikih
secara jelas mencanangkan bahwa hak mereka adalah 12,5% atau 1/8 dari harta
terkumpul.
Ada juga beberapa Ahli Fiqh yang
berbeda-beda dalam memutuskan gaji yang diberikan kepada Amil tersebut.
· pendapat Mazhab
Mâliki dan jumhur ulama’, yang mengatakan bahwa kadar upah atau gaji yang
diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang
diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan
itu sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. hanya saja,
· Abû
Hanîfah membatasi pemberian gaji atau upah Amil tersebut jangan sampai
melebihi setengah dari dana yang terkumpul.
· Imam
Syafi’i membolehkan pengambilan upah sebesar 1/8 (seperdelapan) dari
total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk
hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul.
Pelaksanaan zakat melalui amil zakat dari muzakki untuk kemudian disalurkan
pada mustahik,menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat
amal kariatif (kedermawaan) , tetapi ia juga suatu kewajiban yang juga bersifat
otoriatif (ijibari)
D. Perbedaan
Pendapat Tentang Berzakat Melalui Badan Amil
A. Dasar
Hukum
1. Ayat
Al Qur’an
õ‹è{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y‰|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkŽÏj.t“è?ur$pkÍ5Èe@|¹uröNÎgø‹n=tæ(¨bÎ)y7s?4qn=|¹Ö`s3y™öNçl°;3ª!$#urìì‹ÏJy™íOŠÎ=tæ
Artinya :Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Q.S.At.
Taubah 103)
2. HaditsNabi
عن انس قال: اتى رجل من بنى تميم الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: حسبييارسول الله اذا اديت الزكاة الي رسولك فقد برئت منها الي الله ورسولك؟ فقال رسول الله صلي اللهعليه وسلم “نعم” اذا اديتها الي رسولي فقد برئت منها فلك اجرها واثمها علي من بدلها (رواه احمد)
Riwayat dari anas. R.A ia
berkata: Datang seseorang dari bani Tamim kepada Rasululllah SAW,
seraya berkata: Apakah cukup bagiku ya Rasulullah jika aku tunaikan zakat
kepada utusanmu sehingga aku sudah terbebas dari kewajiban zakat Allah dan
Raulullah ?. Rasulullah SAW bersabda : Ya, apabila kamu tunaikan zakat kamu
kepada utusanku maka kamu sudah terbebas dari kewajiban zakat tersebut, kamu
berhak mendapatkan pahalanya, dan dosanya akan kembali kepada orang-orang yang
menukar zakat tersebut. (Hadits Riwayat Imam Ahmad)
B. Pendapat
Ulama
1. Syafi’I,
zakat boleh disalurkan melaluli amil zakat yang dibentuk pemerintah (imam),
apalagi jika pemerintahan tersebut adil kepada rakyatnya.
2. Hambali
yang paling baik menyalukan zakat dilakukan sendiri oleh muzakki, namun jika
tetap ingin melalui badan amil zakat tetap boleh dan sah.
3. Menurut
Hanabillah, di sunnatkan para Muzakki menyerahkan zakatnya sendiri, dengan
demikian yakin betul ia, bahwa zakatnya sampai kepada mustahiknya, tetapi
sekirnya yang menyerahkannya kepada pememrintah, di perbolehkan juga ( jaiz).
4. Malikiyah
ada mempunyai ketentuan lain, yaitu apabila imam itu adil ( ingat, amil adalah
aparat dari pada imam sama dengan pemerintah), di serahkan kepada imam dan
sekirnaya tidak adil, dapat di serahkan sendiri kepada mustahiknya.
E. Tujuan,
Hikmah dan faedah zakat
Zakat sebagai salah satu
kewajiban bagi seorang mikmin yang telah ditentukan oleh Allah swt tentunya
mempunyai tujuan, hikmah dan faedah sepertihalnya kewajiab yang lain.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WALI
DALAM NIKAH
A. Pengertian
Wali
Menurut bahasa, Wali adalah orang
yang menurut hukum dapat dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengaasuh,
memilihara, mengawasi, dan menguasai suatu pesoalan. Perwalian disebut juga
wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Sedangkan menurut istilah, Wali
adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap
terhadap orang yang berada dibawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi
seseorang dan harta kekayaan.
Perwalian yang berkenaan dengan
manusia hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang
yang berkuasa mengurus, memilihara yang ada dibawah perwaliannyaatau
perlindungannya. Maksudnya sesorang yang secara hukum mempunyai otoritas
terhadap seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi
perlindungan. Dengan demikian wali memiliki tanggung jawab yyang besar, karena
dikukuhkan oleh hukum (agama) dan apabila dilihat berdasarkan kedudukannya,
wali tidak begitu saja melimpahkan wewenangnya kepada orang lain yang tidak
berhak, karena itu untuk menjadi wali haarus ada kaitannya dengan struktur
keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan syarat
dalam melangsungkan pernikahan.
B. Pendapat
Para Jumhur Ulama
a. Jumhur
Ulama
Jumhur Ulama (selain hanafiyah)
berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tampa ada wali. Sebagain besar
ulama fiqih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya
atau orang lain. Jika dia menikah tampa wali maka pernikahannya batal atau
tidak sah.
Sebagai dasar yang mereka
pergunakan adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 232.
Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurø—r& .........
Artinya: “...Maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya...(Q.S
Al-Baqarah: 232).
Firman Allah diatas adalah
mengenai apabila seseorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis
masa iddahnya, si wanita itu boleh menikah dengan bekas suaminya (ada
ketentuannya setelah talak tiga)atau laki-laki lain. Para ulama tidak boleh
mengahalngi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua calon mempelai,
terutama bagi wanita yang masih gadis. Dalam keadaan tertentu, hakim dapat
bertindak sebagai wali, karena wali harus ada dalam perkawinan.
Suatu perkawinan tidak dipandang
sah, kecuali ada wali sebagaimana dinyatakan dalam hadits H.R Lima orang ahli
hadist yang artinya: “Tidak sah nikah, kecuali dengan wali” (H.R Lima orang
ahli hadits).
Dari hadits diatas dapat kita pahami,
bahwa seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila telah tampa izin dari
walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah
mendpat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh dsb)
wali itu tidak dapat menikahkan secara langsung, maka hakim (penghulu) yang
menjadi walinya. Kekurangan dan kelebihan dari pendapat jumhur ulama selain
hanafiyah (Syafi’i, maliki, dan hambali).
1. Kelebihannya:
adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab perrnikahan
merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan
pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.
2. Kekurangannya:
adanya diskriminasi terhadapperempuan dimana dia tidak boleh melakukan
transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita pada drajat yang lebih rendah
dari pada kaum pria.
b. Menurut
Imam Hanafiah
Abu hanifah, zufar, sya’bydan
zury berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tampa wali,
asal saja calon suami-istri itu kufu (setara), dan maharnya tidak kurang dari
mahar yang berlaku pada masyarakat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan
orang yang tidak sekufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
Sebagai landasan yang dikemukakan
oleh golongan hanafiyah adalah firman Allah yang berbunyi:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù ‘@ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ߉÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys?%¹`÷ry— ¼çnuŽöxî 3 ...
Artinya: “kemudian jika
si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain...(Q.S Al-baqarah: 230)
Kelebihan dan kekurangan melaui
pendapat Abu hanifah adalah:
1. Kelebihan;
pendapat abu hanifah tentang wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri
mengangkat derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman
dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama
dengan laki-laki.
2. Kekurangan:
jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang menikah
seenaknya tampa izin wali yang bersangkutan.
C. Urutan
Wali Dan Syarat-Syarat Wali
a. Urutan
Wali
Orang yang sah menjadi wali
ialah:
1. Bapak
2. Datuk
(kakek), bapak dari pabak
3. Saudara
lelaki kandung
4. Saudara
lelaki sebapak
5. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak
laki-laki dari dari sudara laki-laki sebapak
7. Saudara
bapak yang laki-laki (aman)
8. Anak
laki-laki dari paman
9. Hakim
Menurut jumhur ulama, diantaranya
Mlik, As-Tsary, Al-Laits dan syafi’i, bahwa yang berhak menjadi wali adalah
“ashabah’ sebagai man yang tersebut diatas, kecuali hakim.
Menurut imam syafi’i, suatu
pernikahan baru diaanggap sah, bila dinikahkan oleh yang dekat terlebih dahulu.
Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat dari urutannya secara tetib,
selanjutnya bila wali yang jauh pun tidak ada, maka hakim yang bertindak
sebagai wali.
Berbeda dengan abu hanifah, semua
kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah,
sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa wanita boleh menikahkan dirinya
sendiri dan menikahkan orang lain.
Sebagaimana dijelaskan bahwa
hakim adalah urutan terakhir dari perwalian.
ü Hakim menjadi wali karena
adadua hal yaitu;
1. Bila
terjadi peerselisihan antara sesama wali mengenai jodoh anak wanita itu, atau
wali tidak menyetujui pilihan jodohnya, sedangkan si wanita itu tetap masih
keras menikah dengan laki-laki pilihannya.
2. Bila si
wani tidak ada mempunyai wali, baik menurut pemahaman jumhur ulama
maupun menurut pemahaman jumhur ulama maupun menurut pemahaman hanifah.
Seluruh mazhab sepakat bahwa
hakim yang adil berhak mengawinkan perempuan yang tidak mempunyai wali dekat
maupun jauh.
b. Syarat
Wali
Wali adalah orang yang
bertanggung jawab atas sah atau tidak akad nikah. Oleh sebab itu, tidak semua
orang dapat diterima menjadi wali, tetapi harus memenuhi syarat yaitu:
1. Islam,
orang yang tidak beragam islam tidak sah menjadi wali.
Firman Allah swt Q.S. Al-Maidah;
51
Artinya:”Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu)...(Q.S. Al-Maidah; 51)
2. Baligh
(berumur lebih dari 15 tahun)
3. Merdeka
4. Laki-laki,
jika seorang perempuan tidak berhak menjadi wali nikah.
5. Adil
Pada pasal 19 dinyatakan, bahwa;
“wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.
Pada pasal 20 disebutkan:
1. Yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat,
hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.
2. Wali
nikah terdiri dari dua.
a. Wali
nasab
b. Wali
hakim
PERBEDAAN PENDAPAT KEHADIRAN
SAKSI AKAD NIKAH
1. Kalau
menurut jumhur ulama, saksi dari akad nikah adalah termasuk akad nikah.
Fungsi bersaksi
a. Bisa
membantah tuduhan yang tidak-tidak.
b. Membedakan
hal yang halal dan yang haram.
Syarat-syarat
saksi yang disepakati oleh ulama ada 2:
a. Berakal.
b. Baligh
Syarat
saksi yang tidak disepakati oleh ulama:
a. Menurut
jumhur selain hanafi dia harus dua orang saksi laki-laki.
b. Menurut
hanafi boleh satu orang , kalau seandainya ada ayah perempuan, kalau ayah tidak
ada, boleh ditambah saksi.
c. Bilangan
jumlah saksi
d. Laki-laki
e. Merdeka
f. Adil
g. Harus
Islam
h. Harus
merdeks
PERBEDAAN PENDAPAT TENTAN
KESAKSIAN DALAM TALAK
Syarat adanya saksi dalam
perceraian menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian kecil
ulama Salaf berpendapat, saksi merupakan syarat sahnya talak. Jika talak itu
tidak disaksikan dua orang saksi yang adil, talaknya tidak berlaku. Ini pendapat
Ibnu Hazm dan ‘Atha. Pendapat tersebut banyak diterima ulama-ulama zaman modern
ini, seperti Ahmad Muhammad Syakir, Syekh Abu Zahrah, Syekh Albani, dan
Jadulhaq Ali Jadulhaq ( syekh al-Azhar ) demi untuk menjaga keutuhan keluarga.
Mereka berlandaskan dalil
Al-Quran yang memerintahkan mempersaksikan perceraian dan rujuk, serta perintah
itu hukum asalnya wajib kecuali ada dalil lain yang mengalihkannya dari sifat
wajib itu. “Apabila mereka mendekati akhir idahnya, rujukilah atau lepaskanlah
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. ( QS
al-Thalaq [65]: 2 ).
Imran
bin Hushain ditanya tentang seorang lelaki yang menalak istrinya, kemudian ia
menggaulinya ( merujuknya ) dalam keadaan tidak mempersaksikan talak dan
rujuknya. Imran berkata, “Kamu telah menalak tanpa mengikuti sunah dan rujuk
tidak menurut sunah. Persaksikanlah talakmu dan rujukmu (sekarang) dan
janganlah kamu ulangi hal itu!“ ( HR Abu Dawud dan Ibnu Majah ). Tetapi,
sebagian besar ulama berpendapat, talak atau cerai itu tidak memerlukan saksi.
Jika
seorang suami menyatakan kepada istrinya, “Kamu saya ceraikan!“, jatuhlah
talaknya tanpa perlu ada saksi atau keputusan pengadilan. Bahkan, al-Syaukani
dalam kitabnya Nayl al-Authar menjelaskan, para ulama telah
bersepakat dalam masalah tidak wajib adanya saksi dalam perceraian.
Apabila kata talak atau cerai itu
untuk yang pertama kali, berarti itu talak satu yang memungkinkan untuk rujuk
kembali selama masih dalam masa idah, yaitu tiga kali masa haid, menurut
pendapat yang kuat.
Begitu juga kalau itu untuk yang
kedua kali. Tetapi, ketika terjadi talak tiga yang dinamakan dengan talak ba’in
bainunah kubra ( talak yang tidak bisa rujuk lagi ) maka tertutup
baginya jalan untuk rujuk kembali dengan istrinya, kecuali istrinya menikah
lagi dengan orang lain dan terjadi hubungan suami istri dalam pernikahan
tersebut.
Jumhur ulama berpendapat,
perintah dalam ayat di atas adalah menunjukkan sunah bukan wajib dengan dasar
bahwa banyak masalah talak yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad, tetapi tidak
pernah beliau menanyakan apakah ada saksi dalam perceraian itu. Dari Abdullah
bin Umar bahwasanya ia menalak istrinya pada waktu haid pada zaman Rasulullah.
Umar bertanya pada Rasulullah tentang hal itu. Rasul bersabda, “Perintahkan
kepadanya agar merujuk istrinya, kemudian biarkan bersamanya hingga suci, kemudian
haid lagi, kemudian suci. Lantas, setelah itu terserah kepadanya, ia
mempertahankannya jika mau dan ia bisa menalaknya jika mau sebelum berhubungan
suami istri dengannya. Itulah idah yang Allah perintahkan agar para istri
ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.“ ( HR Bukhari dan
Muslim, ini lafaz Bukhari ).
Hal itu sama dengan ayat dalam
surah al-Baqarah ayat 282, “Dan, persaksikanlah apabila kamu berjual beli,“
sebagaimana tidak ada kewajiban dalam menghadirkan saksi dalam melakukan jual beli,
hanya bersifat sunah untuk menghindari perselisihan pada kemudian hari. Begitu
juga dengan ayat yang memerintahkan untuk mempersaksikan talak di atas. Namun,
untuk keluar dari perbedaan pendapat para ulama itu dan untuk lebih selamatnya,
sebaiknya pengucapan lafaz talak itu hendaknya disaksikan dua orang saksi.
Tujuannya agar tidak terjadi
perselisihan pendapat antara suami dan istri atau antara keluarga masing-masing
jika salah seorangnya meninggal mengenai jatuhnya talak atau tidak karena
menyangkut masalah dan hukum apakah mereka masih sebagai suami istri sehingga
saling mewarisi atau sudah putus hubungan pernikahan mereka sehingga mereka
tidak lagi saling mewarisi.
Dalam masalah ini, jika sang
istri berkeyakinan suaminya telah menjatuhkan talak kepadanya dan tidak pernah
rujuk dengannya sampai habis masa idahnya atau suaminya telah menjatuhkan talak
tiga kepadanya meskipun suami mengingkari dan mengatakan tidak menalak istrinya
atau masih talak kedua, menurut jumhur ulama, berdasarkan keyakinan istri ini,
ia telah haram bagi suaminya.
PERBEDAAN PENDAPAT
TENTANG ZUL ARHAM
A. ZUL ARHAM
1. Pengertian
Zul Arham berasal dari bahasa
arab “Arham” bentuk jamak “Rahim” yang berarti rahim atau kandungan. Tegasnya
disebut hubungan darah secara syariat Zul Arham adalah hukum karabat yang lain
dari pada Dzul Furudh dan ‘Ashabah yaitu anggota keluarga digaris ibu, baik
laki-laki maupun perempuan yang ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an yaitu anak
perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, anak perempuan kandung dan
saudara perempuan sebapak.
Menurut bahasa Dzul Arham adalah
orang yang mempunyai kerabat secara mutlak, baik dia Shahih Furudh atau Ashabah
atau bukan. Sedangkan dalam pengertian istilah Dzul Arham adalah segala kerabat
yang bukan Shahih Furudh dan bukan pula Ashabah. Jadi, Zul Arham itu berarti
orang yang mepunyai hubungan darah dengan si mati.
Dasar hukum yang menjelaskan
bahwa Zul Arham berhak mewarisi yaitu dalam surat Al-Nisa’ Ayat 7 :
Artinya : ” Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya...”
Hal ini sesuai dengan surat
Al-Anfal ayat 75.
Artinya : “orang-orang
yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”
2. Perbedaan
Pendapat Ulama Terhadap Zul Arham.
Berikut perbedaan pendapat ulama
dalam memberikan pengertian tentang zul Arham ini, yaitu sebagai berikut :
a) Pendapat
/ Mahzab Ahl Al-Qarabah
Pendapat
ini dikembangkan oleh ahli hukum islam mazhab syafiyah seperti al-Baqawy dan
al-Mutawally (pada awalnya pendapat ini didasarkan kepada ijtihad Alibin Abi
Thalib). Pendapat ini intinya mengemukakan bahwa diantara para ahli waris
terdapat kelompok keutamaan yanitu kelompok yang satu lebih utama dari kelompok
yang lainnya, mahzab ini mengelompokkannya sebagai berikut :
1) Kelompok
Banuwwah yaitu yang terdiri dari anak-anak, cucu dan seterusnya kebawah.
2) Kelompok
Ubuwwah yaitu terdiri dari kakek dari ibu, nenek dari kakek dan seterusnya ke
atas.[1][4]
3) Kelompok
Ukhuwwah yaitu terdiri dari anak-anak saudara atau kemenakan.
4) Kelompok
Umumah yaitu terdiri dari paman, bibi dan anak keturunannya.
Menurut kelompok ini, selama ada
kelompok yang terdekat. Maka kelompok yang lainnya tidak menerima warisan,
dengan kata lain kelompok yang terdekat lebih utama dari kelompok yang lainnya.
b) Pendapat
/ Mahzab Ahl Al- Tanzil
Mahzab ini dikembangkan dengan
Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambali. Menurut pendapai ini untuk
menentukan siapa yang lebih berhak diantara Zul Arham untuk memperoleh warisan
dari sipewaris adalah dengan cara menempatkan mereka pada kedudukan ahli waris yang
menghubungkan mereka kepada sipewaris, selanjutnya mereka diturunkan satu
persatu.
Misalnya : cucu perempuan dari
garis perempuan didudukan sebagai anak perempuan, anak perempuan dari saudara
laki-laki didudukan sebagai sudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan
didudukkan sebagai ayah, saudara perempuan ibu didudukan sebagai ibu dan
seterusnya.[2][5]
c) Pendapat
/ Mazhab Ahl al-Rahim
Tokoh penting mazhab ini adalah
hasan Ibn Zirah, menurut ungkapan Fathur Rahman pendapat / mazhab ini tidak
berkembang, sebab pendapat ini tidak mudah di terima. Karena prinsip mazhab ini
semua Keluarga yang statusnya Zul-arham mempunyai kedudukan yang sama tanpa
melihat dari kelompok mana mereka berasal, dengan istilah lain seluruh
Zul-arham disamarkan kedudukannya terhadap harta warisan tersebut.
Selain yang diatas ada pula
perbedaan para ulama tentang apakah mereka dapat menerima warisan atau tidak,
jika tidak kepada siapa harta warisan itu diserahkan, sementara tidak ada ahli
waris yang akan mewarisinyayaitu sebagaia berikut :
1) Imam Malik,
Syafi’i, Zaid Ibn Zabit dan mayoritas ulama Amsar berpendapat bahwa ahli waris
Zul-Arham tidak dapat menerima warisan.” Dari kalangan sahabat-sahabat
tabi’i berpendapat yang demikian adalah ibnu Abbas, Said Ibnu al-Musayyab,
Sa’ad Ibn Zubair, Sofyan al-sauri, Al-Auza’i, dan ikuti oleh Ibnu Hazm, bahwa
harta peninggalan simati diserahkan kebait Al-Mal.
2) Abu Bakar,
Umar Bin Khatab, Usman, Ali, Ibnu ‘Abbas dalam satu pendapatnya yang Mashur ,
Ibnu Mas’ud dan Mu’az Ibnu Jabal mengatakan bahwa “ ahli
waris zul Arham dapat menerima warisan, apabila simati tidak mempunyai ahli
waris ashabah dan al-furud.
B. PENYELESAIAN DALAM
PEMBAGIAN HAKNYA
Ahli
waris yang termasuk zul Arham dikelompokkan oleh kalangan syafiyah kepada :
1. Anak
dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan).
2. Anak
dari saudara perempuan, baik kandung, seayah maupun seibu.
3. Anak
perempuan saudara laki-laki.
4. Anak
perempuan paman.
5. Paman
seibu.
6. Anak
paman seibu.
7. Saudara
laki-laki ibu.
8. Saudara
perempuan ibu.
9. Saudara
perempuan ayah.
10. Anak saudara
seibu.
11. Bapak dari ibu.
Cara penyelesaian dalam pembagian
harta warisan dikalangan ahli waris Zul-Arham ada 2 cara yang dikemukakan oleh
ualama yaitu :
1. Secara
Penggantian
Ahli waris Zul Arham menerima hak
kewarisan menurut yang diterima oleh ahli waris terdekat yang menghubungkannya
kepada pewaris. Contoh ahli waris terdiri dari : ayah dari ibu, anak dari
perempuan. Maka ayah dari ibu mendapat 1/6 menggantikan ibu dan anak dari anak
perempuan mendapat ½ menggantikan anak perempuan.
2. Secara
Kedekatan
Ahli
waris Zul Arham menerima warisan berdasarkan kedekatannya kepada pewaris,
artinya membagi harta warisan kepada ahli waris sebagaimana yang berlaku pada
kewarisan ashabah. Alasannya yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut cara
ini adalah bahwa ahli waris Zul Arham ini pada akikatnya adalah ashabah.
Ashabah yang hakiki di tempati oleh pihak laki-laki, sedangkan ashabah dalam
bentuk ini adalah perempuan atau laki-laki melalui perempuan misalnya : ahli
waris terdiri dari ayah dari ibu dan anak saudara ibu, maka harta warisan akan
di warisi oleh kakek, karena kakek lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan
anak saudara ibu.
Hadis Nabi :
Artinya : Dari Amir Bian
Muslim dari Thawas dari ‘Aisyah berkata : Rasul SAW bersabda : saudara
laki-laki Ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya. (HR. At -
Tarmizi)
Undang-undang waris mesir juga
mengemukakan cara pembagian warisan kepada ahli waris zawu al arham ini,
sebagaimana yang terkuat dalam pasal 31 sampai 38, cara pewarisannya sebagai
berikut :
· Pasal
31
Jika tidak didapatkan seseorang
asabah nasab dan tidak juga dari seorang zawu furud nasabiyah, maka harta
peninggalan atau sisanya adalah untuk Zawu Al-Arham.
· Pasal
32
Kelompok pertama dari zawul arham
yang paling utama untuk mendapatkan warisan adalah yang paling dekat derajatnya
kepada simayat. Jika mereka bersamaan derajatnya maka anak laki-laki dari
ashabul al-furud itu lebih utama dari anak laki-laki zawu arham. Jika bersamaan
derajadnya diantara mereka tidak terdapat anak laki-laki ashabul furud atau
mereka semuanya sampai kepada shahibul fardh, maka mereka sama-sama memperoleh
warisan.
· Pasal
33
Kelompok kedua dari zawu al arham
yang paling utama untuk mendapatkan harta warisan adalah yang paling dekat
derajatnya kepada simayat. Jika mereka bersamaan derajatnya, maka di dahulukan
orang yang sampai pada ash-habul furudh, jika mereka bersamaan derajatnya dan
tidak diantara yang sampai pada ash-habul firudh atau untuk semua hanya sampai
kepada ash-habul alfurudh. Maka apabila mereka sama dalam kekerabatannya,
mereka sama banyak mendapatkan warisan. Apabila mereka beda dari segi
kekerabatan , maka dua pertiga untuk kerabat ayah dan sepertiganya untuk
kerabat ibu.
· Pasal
34
Kelompok ketiga dari Zawul Arham
yang paling utama mendapatkan warisan adalah yang paling dekat derajatnya
dengan simayat. Bila mereka bersamaan derajatnya, sedangkan diantara mereka
terdapat anak laki-laki dari ahli waris ashabah. Maka lebih utama mendapatkan
warisan dari pada anak laki-laki dzawul arham. Jika diantara mereka tidak
terdapat anak laki-laki dari ahli waris ashabah maka didahulukan siapa yang
paling kuat kekerabatnnya dengan simayat. Barang siapa ashal(leluhur yang
menurunkan)nya seibu-seayah maka dia lebih utama dari pada yamg ashalnya
se-ibu. Jika mereka bersamaan drajat dan kekuatan kekerabatannya maka mereka
sama-sama berhak untuk mewarisi.
· Pasal
35
Apabila yang ada hanya kelompok
ayah, yaitu paman-paman amayat yang se-ibu dan bibi-bibinya, atau kelompok ibu
yaitu paman-paman dan bibinya. Maka yang palaing didahulukan adalah yang paling
kuat kekerabatannya. Maka oleh karena itu barang siapa yang seayah seibu tentu
yang paling utama dari yang seayah saja. Barang siapa yang seayah maka dia
lebih utama dari yang seibu. Jika mereka bersamaan derajatnya, maka ia
sama-sama berhak untuk mewarisi.
· Pasal
36
Apabila mereka anak laki-laki
dari ahli waris ashabah atau anak laki-laki dari ahli waris Zawil Arham , jika
keadaan mereka berbeda maka anak laki-laki ahli waris ashabah yang didahulukan.
· Pasal
37
Tidak dibenarkan banyaknya segi
kekerabatan bagi seoarang ahli waris dari Zauwul Arham, kecuali jika terdapat
Iktilaf dalam segi itu.
4 comments:
alhamdullillah...ilmu yang bagus...
siipp (y)
buku sumbernya apa yah kalo boleh tau?
terimakasih....
Post a Comment