الأُمُورُ بِمَقَا صِدِهَا
“setiap perkara bergantung pada tujuan (niatnya”
Maksud dari kaidah
ini bahwa setiap mukhallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam
ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya bergantung pada niatnya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa, niat
dan motif yang terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu
perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia
lakukan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di
hati, bukan di lisan, hal itu berdasarkan kesepakatan para
ulama’. Ini berlaku untuk
semua ibadah, baik itu thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan
budak, jihad maupun lainnya. Oleh karena itu kalau ada seseorang yang
melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda
dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah
apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang
melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama
sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’,
karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.
Dasar Hukum : Firman Allah (Al-Bayyinah :5)
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Artinya :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.
Hadits Rasulullah
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ
امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
(رواه البخارى و مسلم و غيرهما)
Artinya: "Sesungguhnya amal
itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang
diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka
hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu."
Cabang-Cabang الأُمُورُ بِمَقَا صِدِهَا
1)
مَلاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَتَفْصِيلاً اِذَا
عَيَّنَهُ وَاَخْطَاَلَمْ يَضُرُّ
“Suatu
amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau
terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak
membahayakan (tidak membatalkan)”.
Maksud
:
Kaedah
ini menunjukkan bahwa sebuah niat
ibadah yang tidak menuntut untuk disinggung secara terperinci maupun global,
ketika disebutkan secara
keliru, maka kesalahan tersebut tidak berpengaruh terhadap keabsahan ibadah. Misalnya: menyebut tempat shalat secara
keliru tidak membatalkan shalat.
2)
وَمَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعَرُّضُ فالخَطَاُ فِيهِ مُبْطِلٌ
“Suatu amal
yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatannya
tersebut.”
Maksud :
Akan
tetapi niat ibadah itu diharuskan untuk disebutkan secara jelas, maka keliru
dalam meniatkannya mengakibatkan batalnya ibadah tersebut. Sehingga mengerjakan shalat
dengan niat puasa dinilai tidak sah.
3)
وَمَا يَحجِبُ
التّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلَيُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْضِيْلًا اِذَا
عَيَّنَهُ فَاَخْطَاَضَرٌّ
“Suatu amal
yang harus dijelaskan secara global dan tidak dijelaskan secara terperinci,
karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka
kesalahannya membahayakan.”
maksud :
Maksud
kaedah ini terkait dengan niat
yang mengharuskan untuk disebutkan secara global saja. Ketika niat
ibadah tersebut disebutkan secara lebih detail dan ternyata keliru, maka
kesalahan itu mengakibatkan rusaknya ibadah. Seseorang yang melakukan shalat jenazah dengan niat dan
anggapan mayit laki-laki dan ternyata mayit tersebut wanita, maka shalat
janazah yang ia kerjakan dinilai tidak sah.
contoh :
- Niat mengikut Ali ketika sembahyang dan tidak isyaratkan kepada Ali sedangkan yang diikuti Zaid tidak sah.
- Niat sembahyang jenazah ke atas zaid sedangkan umar atau ke atas lelaki sedangkan perempuan tak sah. Kedua dua masalah ini jika tidak diisyaratkan keatas simati.
- Tidak disyarat taayin bilangan rakaat zohor, asar, jika diniatkan bilangan zohor lima atau tiga tak sah.
- Niat sembahyang ke atas jenazah seramai 10 orang sedangkan yang mati 11 orang tak sah solat dan wajib diulangi ke atas semua.Kerana ada diantara jenazah tersebut yang tidak disembahyangkan.Jika sekiranya diniatkan sepuluh orang yang meninggal 9 orang sah.
- Niat qadha zohor hari isnin sedangkan hari selasa tak sah.
4)
النّيَةُ فِى اليَمِينِ تُخَصِّصُ الّفْظَ العَامِ وَلاَ
تَعُّمُّالخَصَّ
“niat dalam
sumpah mengkhususkan lafadz umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz
yang khusus.”
maksud
:
maksud dari kaidah ini adalah niat dengan lafal umum kepada sesuatu
dalam hal sumpah, dapat menghususkan lafal tersebut, dan tidak berlaku untuk
sebaliknya.
contoh
: orang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang tetapi yang
dimaksud ialah orang tertentu yakni Vasco, maka sumpahnya hanya belaku pada
Vasco.
5)
مَقَاصُالَّفْظِ عَلَى نِيَةِ اللاَّفِظِ اِلاَّ فِى مَوْضِعٍ وَاحِدٍ
وَهُوَ اليَمِيْنُ عِنْدَ القَاضِ فَاِنَّهَا غَلَى نِيَةِ القَا ضِى
“ maksud dari suatu lafadz adalah
menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yatiu
dalam sumpah di hadapan hakim.dalam keadaan demikian maksud lafadz menurut niat
hakim.”
maksud :
untuk menetukan maksud
sebuah ungkapan yang menerima multi tafsir, harus dikembalikan kepada niat
orang yang mengucapkannya. Tetapi kaedah
ini tidak berlaku dalam pengambilan sumpah di pengadilan. Maksud dan kandungan
sumpah ditetapkan oleh hakim, bukan kepada niat orang yang disumpah. Seseorang yang mengucapkan lafad
talak sebanyak tiga kali tanpa huruf ‘ataf; jika disertai niat isti’naf, maka
jatuh talak tiga. Dan jika ia hanya bermaksud taukid, maka jatuh talak satu.
6)
العِبْرَةُ فِى الُعُقُوْدِ المَقَاصِدُ وَالمَعَانِى لاَ لِلأَ
وَالمَعَانِى
“ Yang dimaksud
dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk-bentuk perkataan.”
maksud
:
Dalam suatu akad, bila terjadi perbedaan antara maksud (niat) si
pembuat dengan lafal yang diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat/
maksudnya, selama yang demikian itu masih diketahui. misalnya ada dua orang mengadakan transaksi
dengan lafal memberi
barang dengan syarat
adanya pembayaran harga
barang itu, maka transaksi ini dipandang sebagai transaksi jual beli, karena transaksi
inilah yang dimaksud atas makna
dari si pembuat transaks, bukan transaksi
pemberian sebagaimana yang dikehendaki oleh lafal.
0 comments:
Post a Comment