Friday, 27 September 2013
Hukum Perdata( PTHI )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tahun 1997
merupakan momentum awal dimulainya era reformasi di negara Republik Indonesia.
Era reformasi menuntut perubahan yang lebih baik dalam segal aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ada tiga aspek yang menuntut perubahan yang lebih
cepat, yaitu aspek politik, ekonomi, dan hukum. Dalam bidang hukum, diarahkan
kepada pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (Law of enforcement). Tujuan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan peraturan lama
yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti dengan peraturan yang
bru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa keadilan, dan budaya
hukum masyarakat Indonesia.
Undang-undang yang dihasilkan dalam
era reformasi ini kebanyakan UU atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan
hukum yang bersifat dasar belum mendapat perhatian. Hal ini tampak dari
kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum tata negara, dan lainnya.
Oleh karena UU yang mengatur tentang
hukum perdata secara khusus di Indonesia belum ada, maka yang menjadi acuan di
dalam pengkajian dan penelaahan buku Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) ini
adalah kepada KUH Perdata, yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena itu diharapkan pada masa yang akan datang, hukum perdata yang
berlaku di Indonesia adalah gabungan dari berbagai peraturan perundang-undangan
yang bersumber dari KUH Perdata, hukum Islam, hukum adat, dan lain-lain.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini yaitu:
1.
Apa
pengertian Hukum Perdata?
2.
Bagaimanakah
keadaan Hukum Perdata di Indonesia saat ini?
3.
Apakah isi
yang ada dalam Hukum Perdata?
4.
Bagaimanakah
asas-asas yang ada dalam Hukum Perdata?
1.3 Tujuan Pembahasan
Adapun
tujuan dari pembahasan kami yaitu untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam
makalah kami, yaitu:
1.
Mengetahui pengertian hukum perdata
2.
Mengetahui keadaan hukum perdata di
Indonesia
3.
Mengetahui isi hukum perdata
4.
Mengetahui asas-asas hukum perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Hukum Perdata
Pada dasarnya hukum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata).[1]
Hukum publik merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan
umum, sedangkan hukum perdata pertama diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno
sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht pada
masa pendudukan Jepang.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata,
seperti berikut ini. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad
ke-19 adalah:
“Suatu
peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan
hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”.[2]
Definisi lain tentang pengertian
hukum perdata dikemukakan H.F.A. Vollmar dan Sudikno Mertokusumo. Vollmar
berpendapat bahwa hukum perdata adalah Aturan-aturan atau norma-norma yang
memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas.”
Pandangan Vollmar ini mempunyai
kesamaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Sudikno
Mertokusumo mengartikan hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang
mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di
dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya
diserahkan pada masing-masing pihak”.[3]
Kedua definisi yang yang terakhir ini, yaitu definisi
yang dikemukakan oleh Vollmar dan Sudikno Mertokusumo, keduanya menjadi
definisi hukum perdata dari aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya.
Perlindungan hukum itu berkaitan dengan perlindungan perorangan yang satu
dengan perorangan yang lain, sedangkan ruang lingkupnya mengatur hubungan
kekeluargaan dan didalam pergaulan masyarakat.
2.2 Keadaan Hukum
Perdata di Indonesia
Keadaan
Hukum perdata yang ada di indonesia saat ini masih majemuk yaitu beraneka ragam
(pluralistis). Faktor yang mempengaruhinya antara lain:
a.
Faktor
etnis: keanekaragaman adat di Indonesia.
b.
Faktor
historia yuridis yang membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan.
Sehingga
masing-masing golongan penduduk mempunyai hukumnya tersendiri, kecuali
bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi (penyatuan) seperti UUPA No.5
tahun 1960. Keaneka ragaman ini sebenarnya ada sejak jaman pemerintahan hindia
belanda yang menagacu pada pasal 163 indische staatsregeling (I.S), yang mana
penduduk Hindia belanda di bagi menjadi 3 golongan:
1)
Golongan Eropa ialah orang-orang
belanda, eropa, jepang dan juga keturunannya yang mana mereka tunduk pada hukum
keluarga yang azasnya sama dengan hukum keluarga belanda.
2)
Golongan bumi putera yaitu orang
indonesia asli yang tidak beralih ke golongan lain, dan orang dari golongan
lain yang membaur /tercampur/terlebur dirinya dalam golongan bumi putera.
3)
Golongan timur asing ialah orang
yang bukan golongan eropa dan bumi putera. Contohnya orang-orang tionghoa.[4]
Politik
pemerintah Hindia Belanda itu diatur dan dituangkan dalam pasal 131 I.S.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan
sistem hukum yang diberlakukan kepada mereka. Bagi golongan Eropa dan
dipersamakan dengan itu, serta golongan Timur Asing Tionghoa berlaku
keseluruhan hukum perdata Eropa sebagaimana yang tertuang dalam Stb. 1848 dan
Stb.1919. Sedangkan bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya
masing-masing. Begitu juga golongan Bumiputra berlaku hukum adat yang telah
direseptio dari hukum Islam.[5]
2.3 Isi
Hukum Perdata
Sistematika hukum perdata menurut
pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
1. Buku I :
tentang Orang (van personen).
2.
Buku II : tentang Hukum Benda (van
zaken).
3.
Buku III : tentang Perikatan (van
ferbintenissen).
4.
Buku IV :tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjaring).[6]
Dari ketentuan pembagian hukum
perdata yang tertuang dalam Buku I sampai dengan buku IV, menurut ilmu hukum
modern dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:[7]
a.
Hukum tentang diri seseorang.
Hukum Pribadi mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pribadi sebagai “subjek hukum”. Pribadi sebagai subjek
hukum ialah orang dalam arti hukum. Artinya, memiliki hak dan kewajiban.Hak dan
kewajiban dimiliki oleh setiap orang secara kodrati sejak dilahirkan sampai
meninggal dunia. Bahkan, menurut hukum perdata Eropa yang dinyatakan dalam
pasal 2 KUH Perdata menetapkan bahwa “Anak yang ada dalam kandungan seorang
wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak
menghendakinya. Kematian sewaktu dilahirkannya dianggaplah ia tak pernah ada”.
Maksud dari ketentuan ini walaupun merupakan fiksi hukum bahwa calon bayi sudah
dianggap ada dan memiliki hak untuk kepentingan tertentu yaitu suatu pewarisan.
Ia diperhitungkan memperoleh bagian waris dari ayahnya yang meninggal dunia
sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi kalau ia dilahirkan meninggal dunia,
maka dianggap tidak pernah ada.[8]
Menurut Subekti yang dimaksud “hukum tentang diri seseorang”, ialah
memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.[9]
Kecakapan melakukan tindakan hukum
sendiri akan dapat berwujud jika pribadi itu telah “dewasa”. Dewasa menurut
hukum perdata Eropa ditentukan pada pasal 330 KUH Perdata (Ayat 1). Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa “belum dewasa” adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin terlebih dahulu”. Berarti, usia
dewasa seseorang kalau sudah genap 21 tahun.[10]
b.
Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan. Beserta
hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian dan pengampuan (curatele).[11]
c.
Hukum Kekayaan
Hukum yang mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang.Hukum kekayaan merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai hubungan antara subjek hukum dan objek hukum dalam suatu peristiwa
hukum. Yang dimaksud dengan “objek hukum” yaitu benda yang dapat dikuasai dan
mempunyai nilai uang. Jadi, yang diperhatikan adalah hubungan antar para subjek
hukum dengan membuat suatu ikatan hukum tertentu berkenaan dengan suatu objek
hukum tertentu, sehingga hal yang dikehendaki dapat tercapai untuk memiliki
benda itu sebagai kekayaan mereka. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum
kekayaan terdiri dari hukum benda dan hukum perikatan.[12]
d.
Hukum warisan.
Hukum
waris mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu
benda-benda yang ditinggalkan seseorang.Di referensi lain mengatakan bahwa
hukum waris adalah mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang
jikalau ia meninggal.[13]
2.4 Asas-Asas
Hukum Perdata
Berdasarkan isi
dari hukum perdata yang dimana terdapat buku 1 sampai buku 4, maka dapat
disimpulkan bahwa asas hukum perdata sebagai berikut[14]:
1.
Asas
konsensualisme
Kata
konsesualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.
Sedangkan menurut pasal 1320 (1) KUHPerdata berbunyi:
“untuk
sahnya suatu perjanjian diperlulakan empat syarat:
a.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya (perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tapi cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak)
b.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
c.
Suatu
hal tertentu
d.
Suatu
sebab yang halal
2.
Asas
Pacta Sunt Servanda (kepastian hukum)
Asas
ini berhubungan dengan akibat perjanian, seperti yang dijelaskan dalam pasal
1338 (1) KUHPerdata: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang” dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda ini memiliki arti
pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan atau
tindakan formalitas lain, nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
3.
Asas
kebebasan berkontrak
Asas ini dapat dianalisis dengan pasal 1338 (1) “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka”
asas ini memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
d. Menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau
lisan)
Selain asas-asas diatas, dalam lokakarya yang
diselenggarakan oleh badan pembina hukum nasional, departemen kehakiman dari
17-19 nopember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan
nasional, yaitu:
4. Asas
Kepercayaan
Yaitu asas yang
mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan
memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari
5. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan
hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh
dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda
warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas
Keseimbangan
Adalah asas yang
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
7. Asas
Perlindungan
Mengandung
pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.
Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak
ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan
dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam
kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai
dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
8. Asas
Kepatutan
Asas ini tertuang
dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi
perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
9. Asas
Moral
Asas ini terikat
dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan
dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada
yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada
kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
10. Asas Kebiasaan
Asas ini
dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut
kebiasaan lazim diikuti.
11. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian
sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari
kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamali,Abdoel. 2008. Pengantar
Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mertokusumo, Sudikno. 2001.Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika.
Najih,Mokhammad. 2012. Pengantar
Hukum Indonesia. Malang: Setara Press.
Prodjodikoro, Wijono. 1979.Asas-asas Hukum Perdata.Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Syahrani,Riduan. 2006. Seluk-beluk
dan asas-asas hukum perdata. Bandung: PT.alumni.
Saifullah. 2011. Wawasan Hukum Perdata di Indonesia.Malang:
Fakultas Syari’ah: UIN Maliki Malang.
[1]Wijono
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1979), hlm. 11
[2]Sudikno
Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis BW(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 5
[4]Riduan
Syahrani, Seluk-beluk dan
asas-asas hukum perdata (Bandung: PT.alumni, 2006), hlm. 12
[5]Sudikno
Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis BW (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), hlm. 9
[6] Mokhammad Najih, Pengantar
Hukum Indonesia(Malang: Setara Press, 2012), hlm. 183
[7]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata(Jakarta:
Intermasa, 1989), hlm. 16
[8]Abdoel Djamali,
Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 151
[9] Subekti, Pokok-pokok
Hukum, hlm. 16
[10] Abdoel, Pengantar Hukum, hlm. 152
[11]Mokhammad, Pengantar Hukum , hlm. 183
[12]Abdoel Djamali,
Pengantar Hukum Indonesia(Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 160
[13]Subekti, Pokok-pokok
Hukum, hlm. 17
[14]Saifullah, Wawasan
Hukum Perdata di Indonesia. (Malang: Fakultas Syari’ah: UIN Maliki Malang.
2011). H. 72-73
Giro syariah dan Tabungan Bank Ssyariah
PRODUK-PRODUK
PENGHIMPUN DANA PADA BANK SYARI’AH
A.
GIRO SYARI’AH
1.
Pengertian
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang memiliki simpanan giro
akan memperoleh nomor rekening. Jadi, giro merupakan dana yang disimpan di bank
pada rekening giro sebagai titipan yang dapat diambil sewaktu-waktu.
Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya kapan saja saat
diperlukan asalkan saldonya cukup, baik untuk pembayaran maupun lainnya.
Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya melalui bank lain, baik bank
syari’ah maupun bank konvensional. Penarikan simpanan giro yang dilakukan
melalui bank lain, disebut dengan kliring. Bank yang menerima setoran
cek dan/atau bilyet giro bank lain akan menagihkan kepada bank yang menerbitkan
cek dan/atau bilyet giro tersebut. Penagihannya dilakukan melalui lembaga
kliring setempat, yaitu Bank Indonesia atau bank yang ditunjuk sebagai lembaga
kliring oleh Bank Indonesia.
Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah
Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/VI/2000 yang menyatakan
bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan
mudharabah.
Simpanan giro sebenarnya bukan merupakan suatu simpanan
untuk mendapatkan hasil bunga, melainkan semata-mata dimanfaatkan sebagai
sarana memperlancar transaksi bisnis. Oleh karena itu, pada umumnya pemilik
rekening giro adalah pengusaha atau pemilik kegiatan yang membutuhkan alat
pembayaran berbentuk cek.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan
ketentuan tentang giro wadi’ah, diantaranya:
1)
Bersifat titipan.
Dalam hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban
untuk memelihara dan menjaga barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan
menggunakan dana yang dititipkan, kecuali atas izin pemiliknya.
2)
Titipan bisa diambil kapan saja.
Hal ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat
menarik dananya sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap
mengembalikan dana yang dititipkan.
3)
Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam
bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi
pihak yang menitipkan (nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank,
dan bank tidak berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun
dananya sudah dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan
athaya (bonus) kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau
dituangkan dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah
tidak dapat menuntut untuk diberikan.
2.
Sarana Penarikan
a. Cek
(cheque)
Penarikan rekening giro dengan menggunakan cek, artinya penarikan dana
secara tunai, oleh karena itu cek juga berfungsi sebagai alat pembayaran. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178 menjelaskan tentang cek
sebagai berikut:
·
Pada cek harus tertulis kata “CEK”.
·
Berisi perintah tak bersyarat untuk membayar
sejumlah uang tertentu.
·
Nama bank tertarik (bank yang harus membayar).
·
Disebutkan tanggal dan tempat cek dikeluarkan.
·
Tanda tangan penarik.
Jenis-jenis cek ada 5 jenis, diantaranya:
1)
Cek Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang atau
badan hukum tertentu yang tertulis jelas di dalam cek tersebut. Sebagai contoh
jika didalam cek tertulis perintah bayarlah kepada : Tn. Roy Akase sejumlah Rp
3.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang sejumlah Rp 1.000.000,- maka
cek inilah yang disebut dengan cek atas nama, namun dengan catatan kata
"atau pembawa" dibelakang nama yang diperintahkan dicoret.
2)
Cek Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan dari cek atas nama. Di
dalam cek atas unjuk tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu
jadi siapa saja dapat menguangkan cek atau dengan kata lain cek dapat diuangkan
oleh si pembawa cek. Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah
tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa pun.
3)
Cek Silang
Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang dipojok kiri
atas diberi dua tanda silang. Cek ini sengaja diberi silang, sehingga fungsi
cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai atau sebagai pemindahbukuan.
4)
Cek Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal
sekarang, misalnya hari ini tanggal 01 Mei 2002. Sebagai contoh. Tn. Roy Akase
bermaksud mencairkan selembar cek dan di mana dalam cek tersebut tertulis
tanggal 5 Mei 2002. jenis cek inilah yang disebut dengan cek mundur atau cek
yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena ada kesepakatan antara
si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum memiliki dana pada
saat itu.
5)
Cek Kosong
Cek kosong atau blank cheque merupakan cek yang dananya
tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai contoh nasabah Tn. Rahman Hakim
menarik cek senilai 60 juta rupiah yang tertulis di dalam cek tersebut, akan
tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya ada 50 juta rupiah.
Ini berarti kekurangan dana sebesar 10 juta rupiah, apabila nasabah menariknya.
Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah dana yang
ada.
b. Bilyet
Giro
Bilyet giro digunakan oleh pemilik rekening giro apabila
akan melakukan penarikan secara non tunai atau pemindahbukuan. Syarat-syarat
dan tata cara penggunaan bilyet giro dalam kegiatan bank syari’ah diatur oleh
Bank Indonesia, di antaranya surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
SE BI No. 4/670 UPPB/PbB Tanggal 24 Januari 1972 yang disempurnakan dengan SE
BI No. 28/32/UPG Tanggal 01 Juli 1995.
Di dalam bilyet giro, terdapat masa kadaluarsa, yaitu 70
hari setelah tanggal penerbitannya. Sedangkan dalam bilyet giro, terdapat
tanggal penerbitan dan tanggal efektif. Tanggal efektif merupakan tanggal yang
ditetapkan bahwa bilyet giro mulai efektif dan dapat dipindahbukukan. Bila pemindahbukuan
dilakukan sebelum tanggal efektif, maka bank menolak permohonan pemindahbukuan.
3.
Karakteristik
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik dari giro
wadi’ah, antara lain sebagai berikut:
1)
Harus dikembalikan utuh seperti semula sejumlah barang
yang dititipkan sehingga tidak boleh overdraft (cerukan).
2)
Dapat dikenakan
biaya titipan.
3)
Dapat diberikan syarat tertentu untuk keselamatan
barang.
4)
Penarikan giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet
giro sesuai ketentuan yang berlaku.
5)
Jenis dan kelompok rekening sesuai ketentuan yang
berlaku dalam kegiatan usaha bank sepanjang tidak bertentangan dengan dengan
syariah.
6)
Dana wadi’ah hanya dapat digunakan seizin penitip.
Selanjutnya adalah giro mudharabah,
yakni giro yang berdasarkan prinsip mudharabah, diantara beberapa ketentuannya
adalah:
1)
Dalam transaksinya nasabah bertindak sebagai shahibul
maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau sebagai
pengelola dana.
2)
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat
melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3)
Modal harus
dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4)
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk
nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5)
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro
dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6)
Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
B.
TABUNGAN SYARI’AH
1. Pengertian
Tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
Para ahli perbankan tempo dulu memberikan pengertian
tabungan merupakan simpanan sementara, maksudnya simpanan untuk menunggu apakah
investasi (antara lain dalam bentuk deposito), untuk keperluan sehari-hari atau
konsumsi yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam bentuk giro.
Bank syari’ah menerapkan dua akad dalam tabungan, yaitu
wadhi’ah dan mudharabah.
2. Sarana
Penarikan
a.
Buku Tabungan
Buku tabungan merupakan salah satu bukti bahwa nasabah
tersebut adalah nasabah penabung di bank syari’ah. setiap nasabah tabungan akan
diberikan buku tabungan, yaitu merupakan buku yang menggambarkan mutasi
setoran, penarikan, dan saldo atas setiap transaksi yang terjadi.
b.
Slip Penarikan
Slip penarikan merupakan formulir yang disediakan oleh bank
syari’ah untuk kepentingan nasabah yang ingin melakukan penarikan tabungan
melalui kantor bank syari’ah yang menerbitkan tabungan. Di dalam slip
penarikan, nasabah perlu mengisi nama pemilik rekening, nomor rekening, serta
jumlah penarikan, baik angka maupun huruf, kemudian menandatangani slip
penarikan. Setelah menyerahkan slip penarikan dan menyerahkan buku tabungan,
maka bank syari’ah akan membayarnya sebesar jumlah yang tertera dalam slip
tersebut yang telah ditandatangani oleh nasabah dan diserahkan kepada teller.
c.
ATM
ATM merupakan kepanjangan dari Automated Teller Machine atau
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Anjungan Tunai Mandiri adalah
sebuah alat elektronik yang mengizinkan nasabah bank untuk mengambil uang dan
mengecek rekening tabungan nasabah tanpa perlu dilayani oleh seorang “teller”
manusia. ATM sering ditempatkan di lokasi-lokasi strategis, seperti restoran,
pusat perbelanjaan, bandar udara, pasar, dan kantor-kantor bank itu sendiri.
d. Formulir
Transfer
Formulir transfer merupakan sarana lain yang disediakan bank
syari’ah selain sarana-sarana sebelumnya, yakni sarana pemindahbukuan yang
disediakan untuk nasabah dalam melakukan transfer. Fasilitas ini diberikan oleh
bank syari’ah kepada nasabah yang telah dikenal memiliki loyalitas yang tinggi
kepada bank syari’ah.
- Karakteristik
Karakteristik Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah, yaitu:
·
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai
shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau
pengelola dana.
·
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat
melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah
dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
·
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
·
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
·
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional
tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
·
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Sedangkan karakteristik Umum Tabungan berdasarkan Wadi’ah:
1)
Bersifat titipan.
Dalam hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban
untuk memelihara dan menjaga barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan
menggunakan dana yang dititipkan, kecuali atas izin pemiliknya.
2)
Titipan bisa diambil kapan saja.
Hal ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat
menarik dananya sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap
mengembalikan dana yang dititipkan.
1)
Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam
bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi
pihak yang menitipkan (nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank,
dan bank tidak berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun
dananya sudah dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan
athaya (bonus) kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau
dituangkan dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah
tidak dapat menuntut untuk diberikan.
Pengumumam Seleksi Administrasi CPNS 2017 (Update 6 September 2017)
Hasil seleksi administrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Mahkamah A...