Wednesday, 24 December 2014
Thursday, 2 October 2014
Makalah Hukum Pidana ( Cara Merumuskan perbuatan Pidana, jenis Tindak Pidana dan Subjek Tindak Pidana)
Assalamu’alaikum Wr.
Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT.
Yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq serta inayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang merupakan menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan
Hukum Pidana. Adapun tema yang kami
angkat adalah berkaitan dengan Konsep Dasar Perbuatan Pidana, penulis menyadari
sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam isinya
maupun dalam penyajianya, berkat dorongan dan bimbingan dari semua pihak maka
penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga karya sederhana
ini layak untuk dijadikan sumber rujukan dalam mengkaji Ilmu Hukum khususnya di
bidang Hukum Pidana. Dan memberikan
kontribusi praktis maupun akademik bagi internal civitas akademik UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, utamanya bagi Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Bisnis
Syari’ah. Dan tak dipungkiri bagi semua
golongan. Semua kebenaran dalam makalah adalah semata dari Allah SWT dan
miliknya, sedangkan segala kesalahan kekurangan semata dari keterbatasan kami.
Wassalamu’alaikum Wr.
Wb.
Malang, September 2014
Penyusun,
Contents
A.
Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam
kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman
dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan
masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam
hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan
suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan
pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai
bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya,
seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan
sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka
perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat
dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan
baik individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak
pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar
belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam diri
pelaku yang disebut indeterminisme
maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam
tindak pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?
2. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?
3. Siapa saja subjek tindak pidana ?
C.
Tujuan
1. Untuk memahami cara merumuskan perbuatan pidana;
2. Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana;
3. Untuk mengetahui subjek tindak pidana.
A.
Cara Merumuskan Perbuatan
Pidana
Didalam
KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana
dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu
diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian
hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai
oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang
diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran.[1]
Dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak
pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat
ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci
lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.[2]
Dalam buku
II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan
perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang
dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang
melanggarnya atau tidak menaatinya
diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan
yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap
batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat
dipidana.
Teknik
yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut jonkers (terjemahan
Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya,
misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua ialah
pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur perbuatan
pidana, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan
gelar delik itu, misalnya pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal
362 KUHP), penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang
ketiga ialah pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat,
gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur
delikd diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan
perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige),
pengania (pasal 351 KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti
perbuatan tersebut, menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan
sebagai “ menimbulkan mestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain pada
orang lain.[3]
Dalam KUHP terdapat 3
dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1.
Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan
Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka
dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a.
Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram
Pidana
Cara pertama ini adalah
merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama dalam hal
merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan mencantumkan
unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan),
362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(perusakan).
Dalam hal tindak pidana
yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard diatas, juga ada tindak pidana
lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu,
misalnya 108 (pemberontakan).
Dimaksudkan unsur pokok
atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang membentuk pengertian yuridis dari
tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk
menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan
pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.
b.
Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan
Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling
banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang
menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek
kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya
terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu,
stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305),
pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415).[4]
c.
Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang
dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada
pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian.
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini
dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan
penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni,
penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidala penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2.
Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik
beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara
formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana
materiil).
a.
Dengan Cara Formil
perbuatan
pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil
(formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan
dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi
yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang
melawan hukum tertentu. Apabila dengan selesainya
tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan,
maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul
dari perbuatan yang melawan hukum tersebut.[5]
Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu mengambil
barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun kelakuan
mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang, diperlukan pula keadaan
yang menyertai pengambilan itu “ adanya maksud pengambilan untuk memilikunya
dengan melawan hukum”.
Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur
melawan hukum yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambilan barang itu
diarahkan ke perbuatan melawan hukum, sehingga menjadi unsur objektif bagi para
sarjana hukum yang berpendapat monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan
unsur actus reus, criminal act, perbuatan kriminal bagi
yang perpendapat dualisasi terhadap tindak pidana.[6]
b.
Dengan Cara Materiil
Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidan
materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil
maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan
pidananya tidak menjadi persoalan. Dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang. Misalnya pada pasal 338
(pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa
orang lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu
idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.
Dalam
hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk selesinya perbuatan
pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan, akan tetapi bergantung
pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum.
Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka
perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.[7]
3.
Dari Sudut Pembedaan Tindak
Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang Lebih Ringan
a.
Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Jika
dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara
bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang
lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan
perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau
yeng lebih ringan.
Dalam
hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan
mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan
bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana
itu. Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.
b.
Perumusan Dalam Bentuk Yang
Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih
berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang bersangkutan,
unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali,
melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok
(misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363,
365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau
diperberatnya perbuatan pidana itu.
Cara yang demikian
dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan
pidana prinsip penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap
harus dipegang teguh.[8]
B. Jenis-Jenis Tindak
Pidana
Tindak
pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar
tertentu, yaitu:
1.
Menurut sistem KUHP
Di
dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga
jenis peristiwa pidana yaitu,
a.
Kejahatan (crims)
b.
Perbuatan buruk (delict)
c.
Pelanggaran (contravenrions)
Menurut
KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu
“misdrijf” ( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). KUHP
tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan
pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang terdapat dalam buku II adalah
kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelangaran.[9]
2.
Menurut cara merumuskannya: Tindak
pidana dibedakan anatara tindak pidana formil (formeel delicten) dan
tindak pidana materiil (materieel delicten)
Tindak pidana formil itu adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada
perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya
perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal :
penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian,
permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di
Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu
(pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada
akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki
itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338
KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3.
Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan
antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak
sengaja (culpose delicten)[10]
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana
yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau ada unsur kesengajaan.
Sementara itu tindak pidana tidak sengaja (culpose
delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur
kealpaan yang unsur
kesalahannya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.
Contohnya:
Delik
kesengajaan: 362 (maksud), 338 (sengaja), 480 (yang diketahui) dll
Delik culpa: 334
(karena kealpaannya), 359 (karna kesalahannya).
Gabungan
(ganda): 418, 480 dll
4.
Berdasarkan macam perbuatannya: Dapat
dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana
komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut
juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)
Tindak pidana aktif (delicta commisionis) adalah tindak
pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif
(disebut perbuatan materiil) adalah perbuatan
yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara
formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP
adalah tindak pidana aktif.
Berbeda dengan tindak pidana pasif,
dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang
mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang
apabila tidak dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggara kewajiban
hukumnya. Di
sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat disebut
juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban hukum. Misalnya pada pembunuhan 338
(sebenarnya tindak pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu di sebabkan
karna seseorang tidak berbuat sesuai kewajiban hukumnya harus ia perbuat dan
karenanya menimbulkan kematian, seperti seorang ibu tidak mnyusui anaknya agar
mati, peruatan ini melanggar pasal 338 dengan seccara perbuatan pasif.
Contohnya:
Delik Aktif:
338, 351, 353, 362 dll.
Delik Pasif: 224, 304, 338 (pada ibu
menyusui), 522.
5.
Berdasarkan saat dan jangka waktu
terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan
tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.[11]
Tindak pidana yang terjadi dalam waktu yang seketika disebut
juga dengan aflopende delicten. Misalnya
pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi
selesai secara sempurna.
Sebaliknya, tindak pidana yang terjadinya berlangsung lama
disebut juga dengan voortderende
delicten. Seperti pasal (333), perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama,
bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
Contohnya:
Delik
terjadi seketika: 362,338 dll.
Delik
berlangsung terus: 329, 330, 331, 333 dll.
6.
Berdasarkan sumbernya: Dapat
dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak
pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap
orang sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh tindak
pidana khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II KUHP :
kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
Contohnya:
Delik umum: KUHP.
Delik khusus: UU No. 31
th 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika,
dll.
7.
Dilihat dari sudut subjek
hukumnya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia)
yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana
propia) dapat dilakukan hanya oleh orang
yang memiliki kualitas pribadi tertentu.[12]
Jika dilihat dari sudut subjek
hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh semua orang (delictacommunia
) dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas
tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang.
Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contohnya:
Delik
communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll.
Delik
propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan
pelayaran) dll.
8.
Berdasarkan perlu tidaknya
pengaduan dalam hal penuntutan: maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone
delicten) dan tindak pidana aduan ( klacht delicten).[13]
Tindak
pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana
tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan delik aduan adalah
tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Contohnya:
Delik biasa: pembunuhan (338) dll.
Delik aduan: pencemaran (310), fitnah
(311), dll.
9.
Berdasarkan berat dan ringannya
pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok
(eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde
delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)
Tindak
pidana yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat
atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari
dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan
dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik
ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan
(pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
10. Berdasarkan
kepentingan
hukum yang dilindungi: Maka tindak pidana terbatas macamnya bergantung dari kepentingan
hukum yang dilindungi
seperti
tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana
pemalsusan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya
11. Dari
sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara
tindak pidana tunggal (enklevoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten)
Tindak
pidana tunggal adalah tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya
dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP (Penadahan). Sedangkan yang
dimaksud dengan tindak pidana bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa
perbuatan. Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan
barang-barang curian, contoh ini juga disebut gewoonte delicten (delik
kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.[14]
C. Subjek Tindak
Pidana
Terkait dengan subjek
tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi.
Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab,
sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana.[15] Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming).
Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk
mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep
pertanggung jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek)
tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat
lima bentuk yang merupakan subjek tindak
pidana, yaitu sebagai berikut.
1.
Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau
lebih yang melakukan tindak pidana.
2.
Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk
menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu
tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
3.
Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah
seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka
sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang
diinginkan.
4.
Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau
dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan melakukan orang lain melakukan
perbuatan dengan cara memberikan/ menjanjikan sesuatu, dengan ancaman
kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta
pemberian kesempatan,sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
5.
Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan
pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia
bantu.[16]
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat
melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumusan
delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain selain dari pada “orang”.
2. Dalam
pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1) pidana
pokok :
a) pidana
mati
b) pidana
penjara
c) pidana
kurungan
d) pidana
denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
2) pidana
tambahan :
a) pencabutan
hak-hak tertentu
b) perampasan
barang-barang tertentu
c) dimumkannya
keputusan hakim
Sifat
dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat
dikenakan pada manusia.
3.
Dalam pemeriksaan perkara
dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada
terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah
manusia.
4.
Pengertian kesalahan yang dapat berupa
kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.
Menurut asas-asas hukum
pidana Indonesia, badan hukum tidak dapat mewujudkan tindak pidana. Hoofgerechtshof
van N.I. dahulu di dalam arrestnya tanggal 5 Agustus 1925 (jonkers.
1946: 11) menegaskan dengan alasan bahwa hukum pidana Indonesia dibentuk
berdasarkan ajaran kesalahan Individual. Sistem hukum pidana Indonesia tidak
memungkinkan penjatuhan pidana denda kepada koorporasi, oleh karena pihak yang
dijatuhi pidana denda diberikan pilihan untuk menggantinya dengan pidana
kurungan atau pengganti dengan denda (pasal 30 (1), (2), (3) dan (4) KUHP).[17]
A. Studi Kasus
LAMPUNG,
Pada hari Kamis tanggal 19 Januari 2012 sekitar pukul 11.45
Wib di jalan Ratu Dibalu gang melati tanjung seneng Bandar Lampung, telah
terjadi pencurian dengan kekerasan terhadap korban An. RITA JAHARA (36 tahun)
yang dilakukan oleh enam orang tidak dikenal.
Awalnya pelaku CS menggunakan sepeda
motor mendatangi rumah korban kemudian masuk dan mengikat korban sambil
menodongkan senjata api selanjutnya pelaku CS mengambil barang-barang milik
korban, kerugian korban berupa :
1.
1 HP merk Blackbery
2.
2 HP merk Nokia
3.
1 HP Nexian
4.
1 HP merk Cross
5.
1 unit Ipad
6.
1 unit Laptop merk Asus,
7.
1 unit kamera digital merk linux
8.
Emas 35 gram
9.
Uang tunai Rp.
5.000.000 (lima juta rupiah)
Kerugian
materil yang dialami korban ditaksir Rp.35.000.000,- (tiga puluh lima juta
rupiah) dan saat ini kasus tersebut sedang ditangani Polresta Bandar Lampung
Polda Lampung.
B.
Analisis Kasus
Pada
kasus di atas, pelaku berjumlah enam orang telah melakukan tindak pidana
pencurian dengan cara mengambil barang-barang milik Rita Jahara yang disertai
dengan tindak kekerasan di rumah korban jalan Ratu
Dibalu gang melati tanjung seneng Bandar Lampung.
Dalam
kasus ini, pelaku dapat dijerat dengan pasal 362 KUHP yaitu mengenai
pencurian yang berbunyi “Barangsiapa
mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Sembilan ribu rupiah”[18]
Tindak
pidana ini masuk dalam golongan “pencurian biasa(Pokok)” Unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Tindakan yang dilakukan ialah
“mengambil”;
2. Yang diambil ialah “barang”;
3. Status barang itu “sebagian atau
seluruhnya menjadi milik orang lain”;
4. Tujuan perbuatan itu ialah dengan maksud
untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).
Unsur-unsur tersebut dapat digolongkan
menjadi unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif
Unsur
– Unsur Objektifnya berupa :
- Unsur
perbuatan mengambil. Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil
ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil.
- Unsur
benda. Semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan
sebagainya termasuk pula binatag dan benda yang tak berwujud seperti
aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta gas yang disalurkan
melalui pipa, dan semua benda-benda yang memiliki nilai.
- Unsur
sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu
seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian
milik pelaku itu sendiri.
Unsur
– Unsur Subjektifnya berupa :
- Maksud
untuk memiliki. Maksud untuk memiliki berarti sebelum melakukan
perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (niat)
terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
- Melawan hukum. Maksud memiliki
dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan
hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil
benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar ingin memiliki benda orang lain
(dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.
Tetapi karena pencurian tersebut disertai dengan ancaman
kekerasan pada pemilik rumah, maka pelaku dapat diancam dengan pasal 365 KUHP
ayat (1) dan (2), yang berbunyi:
1) Dengan pidana penjara
selama-lamanya sembilan tahun, dipidana pencurian yang didahului, disertai,
atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada orang, dengan maksud
untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu, atau jika tertangkap tangan,
supaya ada kesempatan bagi dirinya atau bagi yang turut serta melakukan
kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap
tinggal ditangannya.
2) Pidana penjara selama-lamannya dua
belas tahun dijatuhkan:
1.
jika perbuatan dilakukan pada waktu
malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan
umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2.
jika perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang
atau lebih;
3.
jika yang bersalah masuk ke tempat
melakukan kejahatan
itu, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak
kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu;
Ancaman
hukuman untuk pencurian dengan kekeransan ini diperberat, apabila disertai
salah satu hal seperti yang telah dijelaskan pada pasal 365 ayat (2) di atas.
Perumusan
perbuatan pidana yang digunakan untuk kasus pencurian dengan kekerasan ini
adalah dengan cara mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram
Pidana, yang telah diterangkan di atas,sehingga dengan unsur-unsur tersebut
dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan pelaku pencurian ini bersalah
melakukan karena telah melakukan tindak
pidana tersebut dan menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku tindak pindana.
Jika diliah dari pasal yang telah
diterangkan sebelumnya yaitu KUHP pasal 362 dan 365 ayat (1) dan (2), maka perbuatan pelaku tergolong kepada tindak pidana berkualifikasi, karena perbuatan
tersebut memiliki unsur-unsur yang sama dengan tindak pidana dasar atau tindak pidana pokok, tetapi
ditambah dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat dari pada tindak pidana dasar. Sehingga perbuatan pencurian ini dapat diancam dengan
hukuman yang diperberatkan
Perbuatan
Pelaku yang melakukan tindak pidana pencurian yang mengakibatkan pelaku dihukum
selama-lamannya lima tahun kurungan sesuai dengan KUHP Pasal 362. Akan tetapi
perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan kepada pemilik rumah, dengan mengikat
korban dan menodongkan senjatanya, dapat diancam dengan hukuman yang
diperberatkan yang disebutkan dalam KUHP Pasal 365 ayat (1) dan (2) yaitu
dengan hukuman selama-lamanya dua belas
tahun kurungan.
A.
Kesimpulan
menurut kami, kasus pencurian dengan kekerasan ini tergolong pada Tindakn pidana berkualifikasi dan formil, karena tindak pidana ini terjadi
karena adanya pelanggaran pada larangan yang dimuat dalam undang – undang (KUHP
pasal 362 dan 365 ayat
(1) dan (2) ). Pada kasus pencurian
dasar (Pokok), pelaku dapat dituntut maksimal hukuman penjara lima tahun, akan
tetapi pada kasus pencurian ini pelaku melakukan tindakan kekerasan kepada
pemilik rumah sehingga keenam pelaku dapat dijerat pasal 365 KUHP dengan
hukuman penjara maksimal dua belas tahun. Para pelaku pada kasus di atas
dianggap cakap hukum, sadar akan perbuatannya yang melawan hukum dan
bertanggungjawab penuh terhadap perbuatannya, sehingga tidak ada alasan
penghapusan pidana. Hukuman yang tepat diberikan pada mereka, selain merujuk
kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan disesuaikan juga dengan keyakinan hakim
dan yurisprudensi pada kasus ini.
B.
Saran
Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari
masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada
pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Abidin,
Zainal. 2007, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi,
Adami. 2002, Pelajaran Hukum Pidana
bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
C.S.T. Kansil dan Christine. 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Huda
Chairul. 2006, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung
jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT. Kencana.
Prasetyo
Teguh. 2011, Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R.
Soesilo. 1991,
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea.
R. Sugandhi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha
Nasional.
[1]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011), hal. 55-56.
[2] Chairul Huda, Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:
PT. Kencana, 2006), hal. 31.
[3]
Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h. 346-347
[4]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)h. 112-114
[7] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok
Hukum Pidana (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007)h. 40
[8]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)h. 116-117
[9] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok
Hukum Pidana (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007)h. 41
[16] R. Soesilo, KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal( Bogor : Politea, 1991) h. 73-75
[17] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007)h.396
[18]
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1980)h. 376
[19]
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya,
h. 382
Pengumumam Seleksi Administrasi CPNS 2017 (Update 6 September 2017)
Hasil seleksi administrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Mahkamah A...